Selasa, 16 Juli 2013

Waktu di “Langit Biru Bengkalis” Sutirman oleh ADEK ALWI

oleh ADEK ALWI
ENAM belas cerpen Sutirman Eka Ardhana dihimpun dalam “Langit Biru Bengkalis” (Surat Emas Pustaka, Yogya, Desember 2010). Tapi ini tak buku pertama dia. Tahun 1976 terbit kumpulan sajak Sutirman “Risau”, di tahun 1979 kumpulan sajak berdua Mayon Sutrisno “Emas Kawin”, dan sajak-sajaknya terdapat pula di banyak antologi. Novel pertamanya “Barter Pacar” terbit tahun 1978,  disusul sejumlah novel lainnya.
Jadi Sutirman banyak menulis sajak dan novel daripada cerpen, seperti juga diakuinya di pengantar kumpulan cerpen ini: “Sesungguhnya saya bukanlah penulis cerpen yang produktif. Sekalipun saya sudah mulai menulis sejak tahun 70-an, tapi jumlah cerpen yang saya tulis bisa dihitung hanya dengan bilangan jari saja.”
Sutirman memang sudah lama menulis. Lahir di Bengkalis, Riau, 1952, sejak 1972 ia kuliah/mukim di Yogya. Tahun 1969-1972, waktu SLA, ia tinggal di Kebumen. Di Yogya dia aktif di Persada Studi Klab asuhan penyair Umbu Landu Paranggi, seperti banyak anak muda Yogya dan sekitarnya di awal 1970-an; Iman Budi Santosa, Linus Suryadi AG, Emha, Korrie Layun Rampan, Suwarno Pragolapati, Atas Danusubroto, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha dan banyak lagi. Tahun 1974, Sutirman memasuki dunia pers dan belakangan pemimpin redaksi di berbagai surat kabar.
Nama-nama tempat itu saya sebut, pun tahun-tahun yang telah lama lewat, sebab yang amat kuat menonjol pada cerpen-cerpen di “Langit Biru Bengkalis” (buku ini dikirim Sutirman ke alamat kampus tempat saya mengajar dan saya terima 27 Januari 2011), hal-hal yang mengayakan terkait dengan sang Waktu. Juga tempat; daerah asal, serta rantau.
Waktu, kita tahu, lazim dicap penyembuh ajaib, barangkali karena timbunannya yang terus tiba tidak pernah henti kuasa menghadirkan lupa atas luka, mengubah tangis jadi tawa. Tetapi tak selalu begitu. Alam di luar bisa saja berubah ditimbun Waktu, rambut di kepalamu pun menjelma putih-tipis, namun sang Waktu adakalanya bak tak hendak pergi dari ingatan dan hati. Bahkan acap seraya mengiris. Mengapa begitu? Penyebab-penyebab inilah yang merebak dalam cerpen-cerpen Sutirman.
Maka bersualah kita dengan laki-laki yang setelah sekian lama pergi ke kota pacarnya, mendapati pacar telah ke kota besar “luruh duit”, atau cari duit selaku pelacur (cerpen “Luruh Duit”). Atau, laki-laki yang mencari keluarga setelah di bui 16 tahun, dihajar orang babak-belur, diselamatkan pelacur yang tak lain anak yang dia cari-cari (cerpen “Tamu Terakhir”). Ada pula lelaki setelah 30 tahun kembali ke kota tempat sekolah, jumpa kekasih jadi tukang pijat (cerpen “Pertemuan”). Lainnya, ada laki-laki ditemui anak yang hendak mengenalkan calon istrinya, si calon ternyata putri hasil hubungan gelap lelaki itu dengan seorang perempuan 23 tahun lalu (cerpen “Rahasia Lelaki”).
Dalam cerpen-cerpen itu, sang Waktu jangankan pergi atau jadi penyembuh, justru menghajar para lelaki tokoh utamanya. Penyebabnya macam-macam. Di “Luruh Duit” dan “Pertemuan”, karena kemiskinan melilit tokoh-tokoh wanitanya dan tokoh-tokoh lelaki tak kuasa tampil jadi penyelamat.
Kemiskinan pula membuat sang Waktu bak tidak berpihak kepada tokoh utama lelaki di cerpen “Lelaki Rindu Pulang”, yang hanya dapat melamun bertahun-tahun melihat selat dan laut di Bengkalis, ingat keluarga di Pulau Sumbawa, yang tidak terkunjungi. Atau lelaki eks TKI di negeri jiran, terdampar di Bengkalis, bermalam-malam duduk di pelabuhan karena rindu pulang ke Madura tapi tidak punya uang, lalu di suatu pagi ditemukan orang mayatnya mengapung di laut (cerpen “Lelaki di Ujung Pelabuhan”).
Alhasil, kemiskinan memang gawat, bahaya, maka agama pun mengingatkan manusia mewaspadainya. Coba. Di cerpen “Batu-batu di Gunung Parang”, saat tokoh aku pergi ke Kebumen tempat bersekolah belasan tahun silam, ia lihat para penggali batu masih menggali batu seperti dulu, namun mereka telah berubah jadi batu, mengeras, tak acuh pada larangan pemerintah, yang menjadikan tempat itu cagar alam geologi.
Sutirman Eka Ardhana (foto:dok.SEA)
Di cerpen “Tamu Terakhir” tadi Waktu menghajar perasaan tokoh utama karena ironi. Tokoh ini dipenjarakan karena membela harga diri dan keluarga dengan membunuh preman pengganggu istri. Akibatnya: keluarga telantar, anak tercampak ke kompleks pelacuran karena ditinggal 16 tahun. Adalah ironi pula yang disodorkan sang Waktu pada orang tua dan orang kampung (cerpen “Cerita Tentang Badrun”) yang berharap tinggi karena telah mengirim Badrun nyantri ke Jawa 6 tahun, namun si Badrun malah pulang sebagai penjahat yang dicari-cari polisi.
Ironi yang diberikan sang Waktu di kasus Badrun berbeda motifnya dengan kehadiran ironi pada lelaki dalam cerpen “Tamu Terakhir”. Di “Tamu Terakhir”, ironi itu hadir karena si tokoh membunuh (yang tentunya juga keliru) untuk membela keluarga. Pada Badrun, karena ia membuang waktu 6 tahun; bukan nyantri, malah jadi perampok dan pembunuh di rantau, atau akibat perilaku buruk. Dan di cerpen “Rahasia Lelaki”, sang Waktu pun mengiris hati tokoh lelaki dengan menyodorkan buah buruk ulah masa lalu yaitu selingkuh.
Jadi, dalam hidup ini langkah seyogianya ditata agar tak macam si Badrun atau serupa lelaki di “Rahasi Lelaki”. Termasuk, dengan tak murah obral janji, karena sang Waktu rupanya tak pula toleran pada janji yang tidak ditepati, bak dialami tokoh lelaki dalam cerpen “Karangsembung”.
Lelaki di “Karangsembung” itu, setelah 14 tahun, datang lagi ke Karangsembung, lalu di jembatan tempat berjanji jumpa kekasih yang ia tinggalkan. Di rumah sahabat yang mengundangnya datang, ia diberi tahu bahwa sang kekasih sudah mati 7 tahun lalu. Nah, hingga di alam roh pun janji rupanya tak jua pupus, tetap ditagih. Dan di cerpen “Sembilu”, perasaan tokoh aku yang pulang kampung bersama anak-istri dari Yogya, diiris Waktu ketika tahu Hasnah yang 10 tahun sebelumnya ia janjikan akan dikawini, mengamuk di pasar karena kecewa, lalu berubah ingatan.
Begitulah sang Waktu dalam cerpen-cerpen Sutirman Eka Ardhana, tak hadir sebagai penyembuh ajaib, justru bak tidak beranjak dari hati dan ingatan, lantas mengiris-iris perasaan. Malah ketika 30 tahun sudah berlalu, saat dua kekasih lama masing-masing telah bercucu lalu bertemu di sebuah pantai serta dapat bicara disertai senyum (cerpen “Langit Biru Bengkalis”) tetap ada yang mendera hati tokoh lelaki. Yaitu, sanggupkah ia memenuhi undangan perempuan itu datang ke rumah, bertemu suami si perempuan yang tak lain sahabatnya, pada siapa dia dulu pernah berucap tak akan mengecewakan perempuan itu?
Di kumpulan ini ada cerpen yang terkesan mirip, pun nama tokoh, namun itu kiranya lumrah. Karena seperti banyak kumpulan cerpen (pun kumpulan cerpen saya), cerpen-cerpen Sutirman Eka Ardhana dipublikasikan terlebih dulu di media berbeda, sebelum hadir dalam wujud buku; sebuah kumpulan, yang menyiratkan kearifan: bagaimana menyikapi sang Waktu yang dahsyat, ajaib, dan mungkin pula lucu, juga sedap.[]
Adek Alwi, sastrawan dan dosen Politeknik UI, tinggal di Jakarta.
(Dari JournalBali.Com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar