Selasa, 26 November 2013

Malioboro, ‘Pasar Besar’ Yogyakarta

Malioboro, ‘Pasar Besar’ Yogyakarta
 PEMERINTAH Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta maupun Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri tak mengingkari tentang beragamnya permasalahan yang sekarang ada di Malioboro. Berbagai fasilitas yang tersedia di Kawasan Malioboro telah diakui menyebabkan kawasan ini menjadi salah satu ruang besar yang di dalamnya terdapat beragam jenis kegiatan.

Banyaknya ragam kegiatan yang diwadahi terutama yang berkait dengan usaha perdagangan, baik skala besar maupun kecil, dibandingkan dengan luasan atau lahan yang terbatas, menimbulkan rangkaian permasalahan yang sangat kompleks. Dari pengamatan yang dilakukan, beberapa masalah yang muncul di Kawasan Malioboro antaralain menyangkut aksesibilitas, tata ruang, serta ketertiban pengguna kawasan, yang kemudian menimbulkan ketidaknyamanan . 

Kota memang tidak dapat dipisahkan dari pasar, pertokoan dan pusat perbelanjaan. Bahkan menurut pakar perkotaan, Bintarto (1977), pasar selalu merupakan ‘titik api’ atau fokus point dari sesuatu kota.

Malioboro tidak hanya sebuah jalan dan tak sekadar prasarana transportasi, tapi juga telah menjadi sebuah pasar. Dan, Malioboro sekarang pantas disebut sebagai ‘pasar besar’, karena selain memiliki pasar tradisional (Pasar Beringharjo) juga terhampar barang dagangan pedagang-pedagang kakilima dari utara   sampai ke selatan. Dari selatan Teteg Rel KA sampai kawasan depan Kantor Pos Besar. Disamping itu terdapat pula berderet-deret toko besar dan sedang, pusat-pusat perbelanjaan, serta warung-warung lesehan yang menggelar dagangannya dari sore hingga pagi hari.

Karena itulah, Malioboro memang telah menjadi ‘titik api’ bagi Yogyakarta. Dari ‘titik api’ inilah akan tercermin bagaimana wajah Yogyakarta sesungguhnya serta bagaimana kehiruk-pikukannya dan bagaimana perilaku masyarakatnya.

Masih menurut Bintarto (1977), pada waktu dulu pasar merupakan daerah yang terbuka, dimana para petani dan para pengrajin membawa barang-barangnya, dan melaksanakan perdagangan secara barter atau tukar barang dengan barang. Kemajuan di bidang transportasi dan digunakan sistem uang, maka sistem barter ini menjadi sistem jualbeli. Perkembangan selanjutnya di bidang industri telah membawa perubahan yang besar untuk pasar ini. Sifat pasar berubah dari daerah terbuka menjadi gedung-gedung pusat perdagangan yang sedikit banyak tertutup, yang menjual-belikan hasil bumi dan hasil-hasil industri.

 

Terus Berkembang

Keadaan seperti itulah yang terjadi di Malioboro. Dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, Malioboro terus berkembang. Dari pasar yang sangat tradisional sampai ke ‘pasar besar’ sekarang ini. Kini, Malioboro memang telah berubah menjadi ‘pasar besar’ yang ramai, padat, dan penuh kehiruk-pikukan. Keramaian, kepadatan dan kehiruk-pikukan itu memunculkan rasa ketidaknyamanan.

Sebagai sebuah ‘pasar besar’, berbagai kegiatan niaga dan kegiatan kehidupan lainnya seakan ‘tumpah-ruah’ dan berjejalan di Malioboro. Seperti tak ada lagi ruang kosong di Malioboro yang bisa membuat pegunjung atau pengguna prasarananya bisa bernapas lega.  Hiruk pikuk pengunjung, deru mesin kendaraan bermotor, teriakan kernet-kernet bus kota, ringkik kuda andong, kesibukan pedagang kakilima memburu pembeli, serta suara sumbang nyanyian pengamen, dan beragam keriuhan lainnya seakan bergumpal menjadi satu.

Campur-baurnya berbagai keriuhan dan kesibukan itu mencuatkan kesan bahwa Malioboro bukan lagi kawasan yang nyaman dan menyenangkan, tapi telah berubah menjadi area yang penuh keruwetan serta kesemerawutan.

            (sutirman eka ardhana/bersambung

            Foto: tripholiday.net


Pasar Kembang, Dulu Namanya Balokan







          Pasar Kembang, Dulu Namanya Balokan


PASAR Kembang punya nama lain, yaitu Balokan. Bahkan, jauh sebelum nama Pasar Kembang dikenal, nama Balokan sudah lebih dulu populer. Sebagai nama yang memiliki pengertian khusus, Pasar Kembang memang mempunyai sejarah panjang dalam keberadaannya sebagai sebagai daerah pemukiman yang menghadirkan sisi kelam dan buram di Yogya.
Nama Balokan pertama kali diperkenalkan semasa zaman penjajahan Belanda. Konon, sebutan Balokan itu bermula dari adanya tempat penimbunan kayu-kayu jati atau ‘balok-balok’ di sebelah Utara Kampung Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon.
Sejak kapan sesunggguhnya aktivitas bisnis seks atau pelacuran muncul di kawasan ini, sehingga membuat nama Balokan atau Pasar Kembang selalu disebut-sebut setiap ada yang bertanya di mana geliat serta desah kehidupan hitam dan kelam itu berada.
Pakar-pakar sejarah dan ilmu sosial lainnya, tampaknya tak sempat mencatat secara pasti ihwal riwayat awal mula kemunculan aktivitas jasa pelayanan seks di tengah-tengah kota Yogya itu. Sampai hari ini masih sulit ditemukan keterangan maupun catatan yang jelas mengenai siapa yang pada mulanya dulu menjadi penggagas atau pendahulu, sehingga aktivitas pelacuran bisa berkembang di Pasar Kembang.
Seakan menjadi semacam patokan atau pegangan ‘sejarah’, bahwa tumbuh dan berkembangnya prostitusi di kawasan ini bersamaan dengan hadirnya bisnis penginapan. Seperti halnya prostitusi, usaha-usaha penginapan, baik berupa hotel, losmen, dan penginapan, terus berkembang serta bertahan hingga sekarang.
Secara kebetulan letak kawasan Pasar Kembang memang sangat dekat dengan Stasiun Kereta Api Tugu yang dioperasikan mulai 12 Mei 1887. Tepatnya terletak di sebelah selatan stasiun. Penumpang kereta api yang keluar dari pintu selatan Stasiun Tugu, akan langsung keluar di Jalan Pasar Kembang. Nah, di sisi selatan jalan itu sudah, menjuruk masuk ke dalam kampung, terhampar kawasan Pasar Kembang.
Lokasinya memang sangat strategis. Barangkali dengan pertimbangan lokasinya yang strategis, dekat stasiun kereta api, penguasa Belanda memberi kesempatan dan peluang untuk dibangunnya bisnis penginapan di tempat itu.
Berkembangnya bisnis penginapan telah membawa perkembangan yang lain pula. Perilaku sosial yang baru pun tumbuh serta berkembang di kawasan sekitarnya. Mungkin saat itu, para pemilik tempat penginapan merasakan perlunya tersedia ‘jasa pelayanan khusus’ yang secara langsung maupun tidak langsung diinginkan oleh sebagian tamu. Jasa pelayanan khusus yang dimaksud adalah jasa pelayanan seks. Dengan kata-kata lain, untuk menggairahkan suasana di kawasan penginapan serta menarik tamu-tamu datang menginap, maka diperlukan sejumlah perempuan, tentunya perempuan-perempuan muda, yang menyediakan dirinya sebagai pemberi layanan seks.
Barangkali, sejak saat itulah aktivitas seks ataupun pemberian layanan seks yang dihargai dengan sejumlah uang muncul di kasawan Pasar Kembang atau Balokan. Lantas, dari hari ke hari Balokan semakin memberikan daya tarik bagi para perempuan yang tergoda untuk mendapatkan penghasilan dengan jalan pintas itu. Perempuan-perempuan yang tergoda itupun semakin banyak yang datang. Ada yang datang secara sendiri, maupun lewat bujukan atau pengaruh dari para calo yang keliling keluar masuk desa.
Pada awalnya perempuan-perempuan yang menyediakan dirinya untuk layanan seks itu menumpang atau menyewa di rumah-rumah penduduk sekitarnya. Lambat laun, kawasan Balokan itupun berubah menjadi komunitas prostitusi yang ramai.
Ketika Jepang berkuasa, penimbunan kayu-kayu jati di sebelah Utara Kampung Sosrowijayan itu berangsur-angsur berkurang, hingga akhirnya hilang sama sekali. Bekas lokasi penimbunan balok-balok kayu itupun kemudian berubah menjadi tempat-tempat berjualan.
Lantas, di sebelah selatan jalan, ketika itu terdapat areal kosong. Lahan kosong ini kemudian dimanfaatkan warga sekitar untuk tempat berjualan kembang atau bunga-bunga yang dipergunakan untuk kepentingan ziarah ke makam.
Bisnis penjualan kembang di tempat itu dari hari ke hari menjadi semakin ramai. Lokasi itupun kemudian terkenal dengan sebutan Pasar Kembang. Akan tetapi, usaha penjualan kembang itu tidak mampu bertahan lama, dan tergusur dengan kian berkembangnya bisnis penginapan.
Sekalipun penjual kembang dalam pengertian yang sesungguhnya sudah tidak ada, tetapi sebutan Pasar Kembang hingga sekarang ini masih tetap melekat di tempat itu dan kawasan sekitarnya. Dan di dalamnya memang terdapat bisnis ‘kembang-kembang’ dalam pengertian yang lain.
                                                                                    (sutirman eka ardhana/bersambung
                 Foto: lensaku.net

Kamis, 21 November 2013

Lurahing Pacino Kapitan Tan Jin Sing



Lurahing Pacino
Kapitan Tan Jin Sing

Pertautkan Budaya Jawa dan Budaya Tionghoa


Oleh: Sutirman Eka Ardhana

KAPITAN Tan Jin Sing, sebuah nama yang terpatri hingga hari ini, khususnya di dada sebagian besar masyarakat keturunan Tionghoa di Yogyakarta dan sekitarnya. Nama ini tidak saja sebagai lambang kebanggaan masa lalu, tetapi juga merupakan bukti sejarah dari pengabdian masyarakat Tionghoa dalam sejarah perjalanan Kasultanan Ngayogyakartahadiningrat.
Dan, pengabdian masyarakat keturunan Tionghoa itu ternyata sangat besar artinya. Ini terbukti dengan terdapatnya tiga keturunan Tionghoa di lingkungan Keraton Yogyakarta, masing-masing Trah Secodiningrat, Trah Honggodrono, dan Trah Kartodirjo.
Trah Secodiningrat merupakan trah yang diturunkan oleh KRT Secodiningrat, seorang Bupati Nayoko (setingkat menteri) di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono III atau yang dikenal dengan sebutan Sultan Raja.
Siapakah Kanjeng Raden Temenggung Secodiningrat itu? Nama bangsawan ini tidak dapat dipisahkan dengan nama Kapitan Tan Jin Sing. Karena nama KRT Secodiningrat merupakan nama gelar kebangsawanan Kapitan Tan Jin Sing yang diberikan Sri Sultan Hamengku Buwono III. Dan sebagai Kapitan yang merupakan pimpinan masyarakat Cina (Tionghoa) atau disebut Lurahing Pacino di masa itu, ia merupakan tokoh yang telah mengawali mempertemukan budaya Jawa dengan budaya Tionghoa.

Siapa Dia Sebenarnya?
Karena namanya Tan Jin Sing, banyak yang mengira bahwa ia adalah seorang lelaki gagah, tampan, bermata agak sipit dan berkulit kuning dengan rambut berkucir. Padahal dugaan itu meleset. Tan Jin Sing seorang lelaki tampan, berwibawa, berkulit hitam manis, dan tidak bermata sipit. Sorot matanya tajam dan bersih, seperti bangsawan-bangsawan Jawa lainnya di masa itu.
Tan Jin Sing memang tumbuh dan besar di lingkungan keluarga Oei The Long, seorang kaya dan juragan gadai di Wonosobo (sekarang masuk Jawa Tengah). Meski kulit dan matanya berbeda jauh dengan keluarga Oei The Long atau oleh masyarakat sekitar waktu itu dikenal dengan panggilan Bah Teng Long, namun tidak banyak yang percaya jika Tan Jin Sing sesungguhnya bukan berasal dari darah keturunan Oei The Long. Hingga sekarang, masih ada yang meyakini jika Kapitan Tan Jin Sing yang terkenal dan perkasa itu benar-benar berdarah Tionghoa dan putera kandung dari juragan gadai Oei The Long.
Sesungguhnya Tan Jin Sing keturunan asli bangsawan Jawa. Ia merupakan cicit dari Adipati Danurejo I, patih pada pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I. Bahkan jika ingin menelusurinya lagi ke atas, Tan Jin Sing merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung di Mataram.
Kenapa bisa begitu? Beginilah riwayatnya. Bupati Banyumas Raden Temenggung Yudonegoro III yang merupakan keturunan dari Sunan Amangkurat Agung itu berputera 27 orang dari tiga isteri dan enam orang selir. Anaknya yang ke-16 seorang puteri bernama Raden Ayu Patrawijaya diperisteri Demang Kalibeber, Wonosobo.
Dari perkawinannya dengan Demang Kalibeber, Ray Patrawijaya memperoleh tiga orang putera. Anaknya yang bungsu seorang lelaki, diberi nama Raden Luwar.
Belum lagi Raden Luwar dewasa, ayahnya yang Demang Kalibeber meninggal dunia. Seorang kaya di Wonosobo, teman dekat Demang Kalibeber, yakni juragan gadai Oei The Long menaruh kasihan pada si kecil Raden Luwar yang sudah menjadi yatim itu. Oei The Long lalu meminta kepada RAy Patrawijaya agar diperkenankan memelihara dan membesarkan Raden Luwar.
Permintaan Oei The Long dikabulkan. Raden Luwar pun lalu diangkat sebagai anak angkatnya. Tetapi perkembangan tidak berhenti di situ. Pertautan batin antara seorang ibu dengan anaknya ternyata tak dapat diputuskan begitu saja. Hampir tiap hari RAy Patrawijaya selalu ingin bertemu dengan anaknya. Demikian pula halnya dengan si kecil Raden Luwar, ia selalu bermurung diri dan menangis ingin bersama ibunya.
Perkembangan itu membuahkan situasi yang baru pula. Karena sering bertemu, cinta pun tumbuh di hati Oei The Long dan RAy Patrawijaya. Demi perkembangan jiwa Raden Luwar, akhirnya RAy Patrawijaya menikah dengan Oei The Long secara Islam. Karena secara kebetulan, Oei The Long juga seorang Tionghoa penganut Islam.
Begitu resmi menjadi anak tirinya, Oei The Long yang anak Kapitan Oei Tiong Haw di Semarang itu lalu memberi nama Tionghoa kepada Raden Luar. Nama Tionghoa yang diberikan kepada Raden Luar itu, adalah Tan Jin Sing.

Pindah ke Yogyakarta
Ketika Pangeran Mangkubumi berhasil mendapat sebagian wilayah Mataram sesuai dengan Perjanjian Giyanti dan mendirikan Kasultanan Ngayogyakartahadiningrat di tahun 1757, kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, Bupati Banyumas Yudonegoro III ditarik ke Yogyakarta. Ia lalu diangkat sebagai Patih dan diberi gelar Kanjeng Adipati Danurejo I.
Pengangkatan Yudonegoro III sebagai patih dikarenakan jasanya yang besar terhadap Pangeran Mangkubumi dalam perjuangan untuk mendapatkan haknya di Mataram. Anak Yudonegoro III yang sulung menggantikan kedudukannya sebagai Bupati Banyumas dengan gelar Yudonegoro IV.
Kepindahan Yudonegoro II ke pusat pemerintahan di Yogyakarta dan memangku jabatan baru sebagai Patih, diikuti oleh sejumlah keluarganya bahkan juga juragan Oei The Long yang menjadi menantunya itu. Sejak itulah Raden Luwar yang sudah bernama Tan Jin Sing itu menetap di pusat Kesultanan Yogyakarta.
Setelah dewasa Tan Jing Sing menikah dengan salah seorang puteri Kapitan Yap Sa Ting Ho, Kapitan Cina di Yogyakarta masa itu. Pernikahannya dengan puteri Kapitan Yap Sa Ting Ho inilah yang membawa derajat Tan Jin Sing menjadi naik.
Sebagai menantu seorang Kapitan, Tan Jin Sing cukup disegani oleh masyarakat Tionghoa di Yogyakarta waktu itu. Terlebih lagi ia memang seorang lelaki perkasa dan memiliki kedigdayaan yang cukup tinggi. Sehingga ketika Kapitan Yap Sa Ting Ho meninggal, Tan Jin Sing lalu diangkat sebagai Kapitan atau Lurahing Pacino di Yogyakarta.

Diangkat Bupati Nayoko
Ketika Raffles dengan pemerintahan Inggerisnya berkuasa di Jawa (1813 – 1815) terjadi keguncangan di Kesultanan Yogyakarta. Sri Sultan Hamengku Buwono II menolak tunduk kepada perintah Raffles. Penolakan itu membuat Raffles mengirim pasukannya untuk menghukum Sultan. Pasukan yang dikirim Raffles terdiri dari pasukan India dan Gurkha, yang oleh rakyat di Yogyakarta ketika itu disebut sebagai pasukan Sepehi.
Sementara ketika itu di dalam keraton terjadi perselisihan antara Sri Sultan Hamengku Buwono II dengan putera mahkotanya yang bernama Sultan Raja. Perselisihan itu dimanfaatkan oleh Raffles untuk menyingkirkan Sri Sultan Hamengku Buwono II dari tahta singgasananya. Akibatnya di Yogyakarta waktu itu terjadi peristiwa berdarah yang diebut “Geger Sepehi”.
Perselisihan antara ayah dan anak itu berlanjut dengan kontak senjata antara prajurit-prajurit pengikut Putera Mahkota dengan prajurit-prajurit yang setia kepada Sri Sultan Hamengku Biwono II atau dikenal juga dengan sebutan Sultan Sepuh. Dalam perang saudara itu Kapitan Tan Jin Sing berpihak kepada Sultan Raja dengan memberikan bantuan berupa segala kebutuhan perang sampai kebutuhan bahan makanan.
Ketika Sultan Sepuh berhasil diasingkan Raffles ke Pulau Pinang (Malaysia), Sultan Raja naik tahta dan bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono III. Naiknya Sultan Raja sebagai Sultan, derajat Tan Jin Sing pun terus menaik. Sri Sultan yang merasa berhutang budi kepada Kapitan Tan Jin Sing atas bantuan dan peranannya yang besar, lalu mengangkatnya sebagai seorang Bupati Nayoko di Keraton Yogyakarta dan diberi nama Raden Temenggung Secodiningrat.
Selain mendapat kedudukan sebagai Bupati Nayoko, ia pun mendapat tunjangan dari Sri Sultan sebesar 1000 ringgit setiap bulannya. Dalam keputusan Sri Sultan Hamengku Buwono III saat itu disebutkan bahwa tunjangan jabatan itu diberikan turun temurun, asal yang menjadi raja masih berdarah Sultan Raja.
Sri Sultan juga memberikan hadiah tanah kepada Kapitan Tan Jin Sing. Tanah yang dihadiahkan itu terletak di Desa Padokan, Bantul, di samping wilayah tertentu di dalam pusat kota yang berada di bawah pengawasannya. Wilayah yang berada di bawah pengawasan Kapitan Tan Jin Sing yang sudah bergelar KRT Secodiningrat itu disebut tlatah atau Bumi Secodiningrat. Wilayah pengawasannya meliputi Pajeksan, Pecinan (Malioboro), Gondomanan dan lainnya.
Kemudian setiap anak lelaki dari keturunan KRT Secodiningrat diberi hak untuk mendapatkan gelar Raden, dan bila anak sulung lelaki diharuskan mempergunakan nama kebangsawanan Jawa. Sedang setiap anak perempuan dari keturunannya berhak menggunakan gelar Raden Roro, dan bila menikah dengan seorang bangsawan memperoleh gelar Raden Nganten.

Trah Secodiningrat
Semasa hidupnya KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing (1760-1831) mempunyai tiga isteri, isteri pertama berdarah Tionghoa Peranakan dengan sebutan Nyonya Kapitan. Isteri kedua, perempuan Jawa bergelar Mas Ajeng Secodiningrat Sedang isteri ketiganya juga seorang perempuan yang dipanggil dengan sebutan Raden Nganten Secodiningrat.
Dari kedua orang isteri itulah kemudian keturunan KRT Secodiningrat terus berkembang hingga hari ini. Ketika meninggal dunia, ia dimakamkan di Desa Padokan, Bantul. Kedudukannya sebagai Bupati Nayoko kemudian digantikan oleh putera sulungnya dari isteri anak Kapitan Yap Sa Ting Ho, yang kemudian bergelar KRT Secodiningrat II.
Dikarenakan mempunyai dua orang isteri yang berbeda darah keturunannya, berdarah Tionghoa dan Jawa, hingga hari ini keturunan Secodiningrat yang tersebar di berbagai kota terdiri dari dua kelompok budaya, yakni kelompok budaya Tionghoa dan kelompok budaya Jawa.
Meskipun secara sepintas terlihat adanya perbedaan latar belakang budaya di antara dua kelompok keturunan Secodiningrat ini, namun pada dasarnya mereka tetap satu, yaitu keluarga besar KRT Secodiningrat, dan bersatu di dalam wadah Trah Secodiningrat.
Jumlah anggota Trah Secodiningrat cukup banyak, dan tersebar di berbagai kota, terutama di Jawa. Untuk mengikat tali hubungan satu sama lain, dulu setiap bulan sekali anggota trah ini selalu bertemu. Dan, bila Hari Raya Idul Fitri tiba, sudah dapat dipastikan semua keluarga besar Trah Secodiningrat berkumpul mengadakan syawalan bersama. Pertemuan syawalan bersama itu tidak saja dihadiri oleh anggota trah yang beragama Islam, tetapi juga dihadiri anggota trah yang beragama lainnya, seperti Katholik, Kristen, dan Buddha.
Ini merupakan bukti bahwa keturunan KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jing Sing hingga hari ini masih tetap menjaga warisan yang teramat mahal dan berharga yakni perpaduan budaya Jawa dan budaya Tionghoa, yang sekaligus menjaga kokohnya persatuan dan kesatuan bangsa.
KRT Secodiningrat atau Kapitan Tan Jin Sing meninggal dunia pada 10 Mei 1831, dan dimakamkan secara Islam. Kemudian kedudukannya sebagai Bupati Nayoko dan sekaligus Kapitan Cina digantikan oleh puteranya, Raden Dadang, yang bergelar Raden Temenggung Secodiningrat II.  
Makam Kapitan Tan Jin Sing dan isteri-isterinya terdapat di kompleks makam Ragacala,  kawasan Gunung Sempu, Kasongan, Bantul. ***  
                                             

Selasa, 19 November 2013

Malioboro, Wajah Yogya Sesungguhnya









 Malioboro, Wajah Yogya Sesungguhnya

 SEBAGAI sebuah kota, Yogyakarta pada 7 Oktober tahun ini genap berusia 256 tahun. Sampai Yogyakarta memasuki usianya yang ke-257 tahun, Malioboro masih saja tetap menarik diperbincangkan. Malioboro, inilah nama sebuah jalan atau kawasan yang melegenda di Yogyakarta. Kepopuleran namanya pun tidak kalah dengan nama Yogyakarta itu sendiri.
Banyak yang berpandangan nama Malioboro itu identik dengan kebesaran dan keharuman nama yang disandang Yogyakarta. Bahkan ada yang menyatakan, Malioboro adalah napas dan jantungnya Yogyakarta. Tidak sedikit pula yang berkata, jika ingin mengetahui bagaimana Yogyakarta datanglah ke Malioboro, karena Malioboro merupakan cerminan dari wajah Yogyakarta yang sesungguhnya.
Hingga hari ini, Malioboro tidak pernah berhenti diperbincangkan. Dari sudut pandang manapun, Malioboro tetap saja menarik untuk menjadi bahan perbincangan, perdebatan, maupun diskusi.
Dari sudut budaya misalnya, Malioboro bagaikan sebuah museum yang di dalamnya sarat dengan literatur tentang kebudayaan, reliji, sejarah, filsafat kehidupan, pariwisata, maupun perilaku kehidupan manusia. Dan, ‘literatur-literatur’ itu seakan tak pernah ada habisnya untuk dibaca. Sedang dari sudut niaga atau bisnis, Malioboro ibaratkan pasar tradisional yang luas, lengkap, riuh, padat, ruwet dan semerawut tapi memiliki pesona khas tersendiri.
Hubungan  Malioboro dengan Keraton Yogyakarta pun tidak dapat dipisahkan. Jalan Malioboro (dulu termasuk Jalan Ahmad Yani) yang membentang dari Selatan ke Utara, dan seakan membelah kota Yogyakarta itu, sejak dulu diyakini sebagai garis imajiner. Garis imajiner ini menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Tugu Yogyakarta dan Gunung Merapi. Bahkan bila dihubungkan dengan Panggung Krapyak dan Laut Selatan, maka akan terdapat satu garis lurus dari Selatan (Laut Selatan) sampai ke Utara (Gunung Merapi). Bagi masyarakat Jawa, bentangan garis imajiner itu memiliki arti dan nilai filosofis yang tinggi.
Sekarang ini, di tengah-tengah beragam keriuhannya, Malioboro diakui atau tidak memang memiliki daya tarik tersendiri, tidak saja bagi warganya, tapi juga bagi para wisatawan, baik wisatawan asing maupun wisatawan nusantara atau para pendatang lainnya. Sebab, di kawasan ini, selain terdapat pasar tradisional, toko-toko, pedagang kakilima, juga sejumlah pusat perbelanjaan. Selain itu masih diwarnai pula dengan warung-warung lesehan yang menggelar jualannya dari malam hingga pagi hari.

Tak Pernah Lepas Masalah

Malioboro memang sarat dengan beragam fasilitas kehidupan. Dan semuanya, baik itu warga kota, maupun pendatang dan wisatawan, seakan saling berebut untuk menikmati atau merasakan pelayanan fasilitas tersebut. Sementara para penyedia fasilitas juga seakan saling berebut dan berlomba untuk memberikan pelayanan maupun menarik perhatian para pengunjung.

Karenanya berbagai kepentingan menjadi saling bertarung dan berbenturan. Malioboro dari dulu hingga kini selalu sarat dengan berbagai kepentingan. Pertarungan dan benturan berbagai kepentingan itu mengakibatkan Malioboro dijejali berbagai permasalahan yang seakan sulit dicarikan jalan pemecahannya. Berbagai langkah kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di Malioboro tersebut telah ditempuh oleh Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi, hingga hari ini, Malioboro tetap tak pernah bisa lepas atau terbebas dari permasalahan.  Bahkan, dari tahun ke tahun, Malioboro menjadi semakin ruwet, semakin padat dan semakin semerawut.  

        (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)

             Foto: discover indo-tierranet  

Pasar Kembang, Nama yang Melegenda








Pasar Kembang, Nama yang Melegenda

PASAR Kembang, inilah nama yang populer bila kita bicara perihal bisnis seks atau dunia prostitusi di tengah-tengah “Kota Budaya” Yogyakarta. Sejak puluhan tahun, bahkan lebih, nama Pasar Kembang telah memahatkan kesan ‘hitam kelam’ buat Yogyakarta, kota yang tidak hanya menyandang predikat sebagai Kota Budaya, tapi juga Kota Pelajar itu. Perubahan zaman dan perkembangan kota tidak sedikitpun membuat nama Pasar Kembang bergeming dari predikat yang disandangnya sebagai kawasan kelam.
Letaknya yang berdampingan dengan Malioboro, membuat nama Pasar Kembang tidak kalah populernya dengan Malioboro. Dan di Yogya, siapa yang tak mengenal Malioboro, pusat kota yang menjadi kebanggaan warga kota itu. Tidak hanya warga kota Yogya, tapi siapapun yang pernah datang ke Yogya tentu akan memiliki kesan yang khas dan mendalam terhadap Malioboro.
Disamping Malioboro, siapa pula yang tidak mengenal nama Pasar Kembang? Nama Pasar Kembang seakan sama melegendarisnya dengan Malioboro.
Rasanya tidak berlebihan bila mengatakan, bentuk penyelewengan seks di Yogya sudah muncul bersamaan dengan kemunculan kota ini sekitar duaratus tahun lebih yang lalu. Akan tetapi kemunculan Pasar Kembang sebagai kawasan khusus yang menyediakan wanita-wanita untuk komoditi seks yang ‘pelayanan jasanya’ dihargai dengan nilai uang baru terjadi sekitar seratus tahun lebih lalu. Ada yang menyebut bisnis seks di kawasan ini sudah dimulai sejak 1818. Lalu, kawasan sekitar menjadi ramai dan berkembang seiring dengan berfungsinya Stasiun Kereta Api Tugu (Stasiun Tugu) mulai 12 Mei 1887.
Secara kebetulan jalan di kawasan Pasar Kembang itu juga bernama Pasar Kembang. Akan  tetapi, yang disebut sebagai kawasan Pasar Kembang, yang terletak di sebelah Barat Jl Malioboro atau di tengah-tengah kota Yogya itu merupakan ‘perkampungan’ yang arealnya terdapat di wilayah kampung, menjuruk ke dalam, disi selatan jalan Pasar Kembang itu.
                                                          ***
NORMA-norma dalam masyarakat sudah terlanjur menanamkan pandangan bahwa pelacuran merupakan sisi kehidupan yang paling hitam. Bahkan pelacuran dipandang sebagai penyakit sosial yang membahayakan ketenteraman dan kelangsungan hidup bermasyarakat.
Akan tetapi, kalau kita mau jujur, siapakah yang sebenarnya mampu ‘meluluhlantakkan’ atau menghancurkan pelacuran? Siapakah yang mampu membendung kemiskinan, ketakberdayaan, kekecewaan, kegelisahan dan keluhan yang menyeret perempuan-perempuan tak berdaya itu terjerembab ke dalam kubangan lumpur pelacuran?
            Komplek lokalisasi pelacuran memang bisa ditutup, tapi aktivitas pelacuran tidak akan pernah ada yang mampu menghentikannya.
Persoalan pelacuran memang pelik. Namun bukan berarti hal itu boleh dibiarkan begitu saja. Pemda Kotamadya Yogyakarta (sekarang Pemerintah Kota) bersama DPRD setempat di tahun-tahun tujuhpuluhan sempat mengambil langkah-langkah nyata dalam penanganan pelacuran, khususnya yang ada di kawasan Pasar Kembang.
Dengan alasan demi menjaga citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar, langkah-langkah pun kemudian diambil untuk segera menghapus praktik pelacuran di Pasar Kembang, sehingga diharapkan jantung kota Yogya akan bersih dari aktivitas kelam tersebut.
Menghapus dan menutup pintu-pintu losmen serta kamar-kamar sewaan dari bisnis seks, tentu bukan merupakan jalan keluar yang mampu menyelesaikan permasalahan sosial seperti itu. Untuk itu DPRD dan Pemda Kodya Yogyakarta (sekarang Pemerintah Kota) sepakat mencari jalan pemecahan dengan menyediakan lokasi pengganti yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.
Setelah melalui sejumlah pembicaraan, akhirnya keluarlah Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta bernomor 166/KD/1974 tentang pendirian komplek resosialisasi WTS (Wanita Tuna Susila) yang berlokasi di Mangunan, Mrican, Umbulharjo, Yogyakarta. Lokasi resosialisasi WTS itu kemudian menjadi populer dengan sebutan Resos “Sanggrahan”, karena letaknya yang berdekatan dengan kampung Sanggrahan, Kotagede, Yogyakarta.
                                                                (sutirman eka ardhana/bersambung) 
                 Foto: pesonajogja

Pasar Kembang Pernah Bersih dari Prostitusi

                                                           (Foto: kohleedjocdja)




Pasar Kembang Pernah Bersih dari Prostitusi

UNTUK mencari jalan keluar bagi persoalan prostitusi di Kota Yogya, Pemda Kodya Yogyakarta (sekarang Pemkot Yogyakarta) di tahun 1974 mengeluarkan Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta bernomor 166/KD/1974 tentang pendirian komplek resosialisasi WTS (Wanita Tuna Susila) yang berlokasi di Mangunan, Mrican, Umbulharjo, Yogyakarta. Karena letaknya berdekatan dengan kampung Sanggrahan, Kotagede,  tempat ini kemudian populer dengan sebutan Resos Sanggrahan.  
Seiring dengan pendirian tempat resosialisasi di Mangunan yang diharapkan jadi tempat pembinaan, penggemblengan dan pendidikan bagi perempuan-perempuan ‘malang’ itu, Pemda Kodya Yogyakarta kemudian menutup semua aktivitas pelacuran di kawasan Pasar Kembang.
Seluruh WTS (sekarang populer dengan sebutan Pekerja Seks Komersial atau PSK), mucikari, calo serta pengelola dunia hitam di Pasar Kembang itu kemudian dipindahkan ke komplek resos Mangunan yang di dalamnya dibangun sarana dan prasarana memadai.
Proses perpindahan itu terjadi di sepanjan tahun 1975 dan 1976. Sedikitnya 20-an induk semang atau germo yang selama bertahun-tahun berkubang dalam kehidupan kelam Pasar Kembang bersama ‘anak asuh’nya pindah mempertaruhkan nasib di resos Mangunan.
Sejak itu juga hanya komplek resos Mangunan yang secara hukum dibenarkan sebagai tempat penampungan para pelacur, dengan ketentuan di resos tersebut mereka mempersiapkan diri sebelum akhirnya kembali dalam kehidupan normal di tengah-tengah masyarakat. Sedangkan tempat-tempat lainnya di luar resos Mangunan, seperti Pasar Kembang dilarang digunakan sebagai ajang prostitusi.
Dengan disediakannya komplek resos Mangunan (Sanggrahan), apakah Pasar Kembang yang melegendaris itu kemudian benar-benar bersih dari praktek-praktek prostitusi? Benarkah aktivitas pelacuran yang bertahun-tahun mewarnai detak dan denyut kehidupan di tempat itu lantas tak terdengar lagi gaung dan iramanya? Benarkah kawasan Pasar Kembang akhirnya berubah menjadi tempat yang bersih dan noda dan mesum? Jawabnya terlihat dari apa yang ada dan terjadi di kawasan itu sekarang ini.
Memang, Pasar Kembang semula sempat sepi dari berbagai bentuk pelayanan seks yang dihargai dengan nilai uang. Tetapi kondisi seperti itu tidak berlangsung lama. Pasar Kembang ternyata kembali semarak dengan aktivitas pelacuran. Dan, penduduk atau warga ‘baik-baik’ di pemukiman itu yang sempat menikmati betapa damai dan menyenangkan hidup jauh dari hiruk-pikuk dunia permesuman, kembali menerima kenyataan pahit.
                                                       
Hanya Dua Tahun
Tidak sampai dua tahun sejak secara resmi ditutup Pemda Kodya Yogyakarta, Pasar Kembang kembali ke status asalnya, yakni kawasan bisnis seks. Praktek pelacuran kembali subur. Perempuan-perempuan yang mencoba memburu impian demi mempertahankan hidup layak kembali berdatangan untuk menyediakan tubuhnya bagi kepuasan para lelaki pencari kenikmatan.
Penginapan atau losmen-losmen ‘kuning’ yang menyediakan kamar-kamarnya untuk perbuatan mesum, dan rumah-rumah bordil kembali marak dan bermunculan. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kondisi itu semakin marak, terlebih setelah komplek resos Mangunan secara resmi ditutup oleh Pemda Kodya Yogya di awal era reformasi beberapa tahun lalu.
Di dalam kawasan Pasar Kembang  kini terdapat sedikitnya sekitar seratus lebih PSK, 20-an mucikari dan sekitar 20-an calo. Para PSK atau pelacurnya datang dari berbagai daerah di Jawa.
Warna kehidupan di Pasar Kembang sebagai kawasan hitam tidak hanya terlihat pada malam hari. Siang hari, bahkan sejak pagi, boleh dibilang aktivitas pelacuran juga tampak di sini.
Di kawasan Pasar Kembang ini tidak ada batasan waktu. Tamu-tamu boleh datang sejak mulai matahari terbit sampai larut malam. Tidak ada aturan yang mengikat atau mengekang kebebasan para tamu. Satu-satunya aturan yang mengikat adalah larangan para tamu membuat keributan. Foto: kohleedjocdja  (sutirman eka ardhana/bersambung)



Pertemuan ke-9 MEMPRODUKSI FILM (II)






Pertemuan ke-9

MEMPRODUKSI FILM (II)

Produksi
Tahapan produksi merupakan tahapan yang diisi dengan kegiatan-kegiatan syuting (shooting) atau proses pengambilan (perekaman) gambar adegan demi adegan sesuai skenario film. Aktivitas di dalam tahapan produksi ini merupakan tanggungjawab Departemen Penyutradaraan.
Sebelum kegiatan syuting dilakukan, haruslah terlebih dulu ditetapkan tentang dialog, perlunya musik, dan efek suara. Ketiga hal ini merupakan hal penting bagi tata suara film.
Dialog - Dialog di dalam cerita film haruslah direkam. Proses perekaman dialog dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, rekaman langsung (direct sound). Kedua, rekaman tidak langsung (after recording).
Rekaman langsung adalah rekaman langsung pada saat syuting dilakukan. Dialog-dialog para pemainnya saat memainkan perannya di dalam syuting film tersebut direkam secara langsung.
Rekaman tidak langsung adalah proses perekaman suara atau dialog yang dilakukan di dalam studio. Jadi, dialog-dialog para pemain yang diucapkan saat syuting tidak direkam, karena suara atau dialog-dialog itu nantinya tidak akan digunakan di dalam film. Suara atau dialog yang digunakan adalah yang direkam di studio.
Biasanya suara yang direkam adalah suara pengisi suara.
Musik – Musik punya peran sangat penting bagi keberhasilan sebuah film. Elemen musik dapat memperkuat makna dari suatu adegan di dalam film tersebut. Misalnya, adegan orang yang sedang bersedih atau sebaliknya sedang berbahagia, dapat dengan segera masuk ke emosi penonton berkat bantuan dari elemen musik tersebut.
Musik film terdiri dari dua jenis, yaitu illustrasi musik (music illustration), dan theme song.
Illustrasi musik bias didapatkan dari instrumen musik maupun bukan instrumen musik yang sangat berperan dalam memperkuat dalam memperkuat suasana pada cerita film tersebut.
Sedangkan theme song adalah lagu yang menjadi bagian dari identitas film.
Efek Suara – Efek suara adalah suara yang muncul dari sejumlah aktivitas di dalam film, seperti suara pintu rumah ditutup, suara orang berjalan, suara benda jatuh, dan lainnya.
Hampir semua departemen atau unsur terlibat dalam proses produksi (syuting). Tapi yang dominan adalah departemen penyutradaraan, departemen kamera, departemen artistik, dan departemen suara. Meski semua departemen berperan, departemen penyutradaraan memiliki tugas dan peran paling utama. Semuanya berpusat pada departemen penyutradaraan. Departemen penyutradaraan melalui komando sutradara memberikan berbagai ‘arahan’ kepada departemen-departemen yang terlibat dalam proses syuting.
Kerjasama dan saling keterpaduan merupakan hal paling prinsip dalam proses produksi film. Dalam setiap kali proses syuting, para pekerja di masing-masing departemen yang terlibat harus saling memadukan atau menyamakan langkah, demi tercapainya hasil syuting yang baik sesuai dengan konsep maupun keinginan sutradara. Dan, semuanya mengacu atau berpedoman kepada script breakdown sheet. 
Masing-masing departemen harus melihat pada script breakdown sheet atau lembaran-lembaran yang berisi semua informasi mengenai setiap adegan di dalam film. Misalnya, untuk tanggal 1 Desember, di dalam script breakdown sheet tertera lokasi syuting berada di tengah kebun yang penuh pepohonan rimbun, waktunya siang hari, pemeran yang muncul di adegan itu (ada nomor adegan) adalah tokoh utama lelaki dan tokoh utama perempuan, serta sejumlah keterangan lainnya.
Dengan informasi di dalam script breakdown sheet seperti itu, maka setiap departemen yang berperan harus menyesuaikan tugas-tugasnya sehingga memenuhi hal-hal yang diperlukan sesuai informasi yang ada. Departemen artistik harus menyusun atau menata lingkungan lokasi syuting sesuai dengan kondisi yang diinginkan skenario. Penata busana dan penata rias (yang terlibat di dalam departemen artistik) harus mempersiapkan kostum pemeran dan tata riasnya sesuai dengan kondisi yang tertera di dalam script breakdown sheet.
Meskipun di dalam script breakdown sheet terdapat scene number (scene no) atau nomor adegan, aktivitas syuting tidak harus terpaku dengan urutan nomor adegan tersebut. Jadi, apabila syuting atau pengambilan gambar adegan nomor 15 sudah selesai, kegiatan syuting berikutnya tidak harus untuk adegan nomor 16. Bisa jadi kegiatan syuting berikutnya justru untuk adegan nomor 25, 30, dan lainnya lagi. Artinya, urutan proses syuting atau pengambilan gambar tidak harus mengikuti alur cerita yang ada di dalam naskah skenario, tapi selalu berpedoman kepada kesamaan lokasi.
Demi efektivitas kerja, urutan aktivitas syuting lebih mengutamakan pada kesamaan lokasi. Misalnya, adegan nomor 15, 25, 30, 31, 34, dan 40 berada pada lokasi yang sama atau berdekatan, karenanya aktivitas syuting pun dilakukan untuk nomor-nomor adegan tersebut.
Peralihan syuting dari satu adegan ke adegan lain atau pergantian adegan, selalu ditandai dengan clopper boards yaitu papan berengsel yang diketukkan ketika syuting suatu adegan dan dialog akan dimulai. Sebelum merekam adegan, kamera terlebih dulu terarah pada clopper boards tersebut. Di dalam clopper boards tertera informasi mengenai scene, take, sound, date, ext, dan int. Informasi-informasi itu tertera dalam kolomnya sendiri-sendiri. Jadi, setiap pengambilan adegan akan dimulai, seseorang yang bertanggungjawab terhadap clopper boards harus terlebih dulu mengetukkan clopper boards itu.
Di dalam kolom scene tertera tulisan mengenai nomor adegan sesuai skenario; di kolom take tertulis nomor bagian adegan yang disyuting (diambil gambarnya), misalnya scene 15, take 2; pada kolom sound (sound effects) tertera efek suara yang diperlukan, misalya desau angin, suara kicau burung, dan lainnya; kemudian pada kolom ext dan int tertera sesuai lokasi syuting di luar ruangan atau di dalam ruangan.
Selama proses syuting berlangsung ada petugas-petugas yang secara khusus bertugas membuat laporan harian (sesuai jadwal syuting), seperti script supervisor yang membuat laporan kondisi adegan per-adegan (script continuity report), asisten kamera membuat laporan mengenai shot demi shot yang direkam kamera (camera report), dan sound recordist yang membuat laporan tentang kondisi tata suara (sound sheet report).
Ada beberapa istilah yang sering muncul dalam proses syuting, di antaranya:
Action – Kata-kata ini diteriakkan sutradara sebagai perintah bahwa syuting dan adegan akan dimulai.
Camera right – Perintah sutradara kepada pemain untuk berputar atau bergerak, sesuai dengan sudut pandang kamera.
Cut – Perintah sutradara ketika proses pengambilan gambar selesai. Dengan perintah ini, maka aktivitas kamera dan sound berhenti.
Cut and hold – Perintah sutradara agar akting pemain dihentikan, tetapi pemain tetapmasih ada di posisinya semula. Dengan perintah ini, sutradara ingin terlebih dulu memeriksa kondisinya, apakah semua sudah sesuai atau belum.
Roll (Roll em) – Aba-aba dari asisten sutradara agar kamera dan peralatan lainnya siap, karena sutradara sudah siap.
Wrap – Perintah atau aba-aba bahwa aktivitas syuting di hari itu sudah selesai. 

 Pascaproduksi
Aktivitas penting dalam tahapan pascaproduksi ini adalah melakukan proses editing, seperti mengedit gambar, melakukan mixing, dan lain-lain. Sebelum melakukan proses editing, editor tentu sudah terlebih dulu melakukan pembicaraan (diskusi) dengan sutradara mengenai apa dan bagaimana film tersebut. Untuk mempermudah tugasnya, dalam melakukan kerja editing, editor akan berpegangan pada laporan-laporan seperti script continuity report, camera report, dan sound sheet report.
Setelah semuanya selesai, janganlah lupa buat laporan secara lengkap mengenai proses produksi film, dan laporan keuangan. ***
                                                         (Sutirman Eka Ardhana)

Pertemuan ke-8 MEMPRODUKSI FILM (I)





                                                            Foto: nilam-blog.blogspot.com





Pertemuan ke-8

MEMPRODUKSI FILM (I)

PROSES pembuatan film mempunyai tiga tahapan penting. Ketiga tahapan penting itu meliputi: praproduksi, produksi dan pascaproduksi.  
Untuk kelancaran atau keberhasilan produksi film, maka masing-masing tahapan harus dilalui secara tuntas dan berurutan. Sebelum masuk ke tahapan produksi, tahapan praproduksi harus diselesaikan atau dituntaskan terlebih dulu. Segala hal atau materi yang diperlukan di tahapan awal ini harus diselesaikan, sebelum kemudian melangkah masuk ke tahapan berikutnya. Hal ini sangat penting, sebab keberhasilan kerja di tahapan produksi sangat tergantung dengan keberhasilan kerja di tahapan praproduksi.

Praproduksi
Sebelum aktivitas praproduksi berlangsung, hal penting yang harus disiapkan terlebih adalah naskah cerita atau skenario cerita. Berbagai hal yang berkaitan dengan naskah cerita (skenario) harus tuntas terlebih dulu. Misalnya, tema cerita sudah ditentukan, asal mula naskah juga sudah dipastikan.
Asal mula naskah merupakan suatu hal yang penting untuk diselesaikan terlebih dulu. Asal mula naskah bisa berasal dari novel, cerita bersambung di koran atau majalah, cerpen, dan lainnya. Bila naskah cerita berasal dari novel, cerita bersambung dan cerpen, tentu harus ada kesepakatan terlebih dulu dengan penulis atau pengarangnya, apakah ia setuju jika karyanya itu difilmkan. Jika setuju tentu dilanjutkan dengan kesepakatan-kesepakatan (perjanjian) berikutnya. 
Bila persoalan asal mula naskah sudah selesai, maka tahapan berikutnya tentu proses mengalihkan cerita di naskah itu ke dalam skenario film. Tahapannya adalah mencari siapa penulis skenarionya.
Kemudian sejumlah aktivitas lainnya di tahapan praproduksi ini di antaranya mempersiapkan dan menyusun anggaran, mempersiapkan kru, menyusun tim produksi, mempersiapkan pemeran (pemain), membuat script breakdown, membuat jadwal syuting (shooting), dan lain-lain.
Persiapan utama lainnya yang harus memperoleh prioritas dalam tahapan praproduksi ini adalah menyediakan kantor produksi dengan segala sarananya, menyediakan peralatan syuting seperti kamera dan penunjangnya, serta mempersiapkan lokasi syuting.
Pemilihan lokasi syuting haruslah ditentukan dengan pertimbangan telah tersedianya sejumlah persyaratan yang diperlukan, seperti akses ke lokasi, keamanan, kondisi masyarakat sekitar dan lainnya.
Lantas, apa yang dimaksud dengan script breakdown?
Script breakdown merupakan uraian tiap adegan sesuai naskah skenario. Uraian tiap adegan itu dilengkapi sejumlah informasi yang diperlukan dalam syuting (shooting).
Uraian-uraian dan informasi-informasi itu ditulis atau disusun pada lembaran-lembaran kertas yang disebut script breakdown sheet.
Script breakdown sheet memuat sejumlah informasi yang meliputi – date, script version date, production company, breakdown page no, title/no of episodes, page count, location or set, scene no, int/ext, day/night, description, cast, wardrobe, extras/atmosphere, make up/hair do, extras/silent bits, stunts/stand ins, vehicles/animals, props-set dressing-greenery, sound effects/music, security/teachers, special effects, estimated no. of set ups, estimated production time, special equipment, production notes.
Berikut penjelasan tentang uraian atau informasi yang ada pada lembaran script breakdown sheet:
1.      Date – Di sini, cantumkan tanggal saat script breakdown sheet ini diisi.
2.      Script version date – Di sini tanggal yang dicantumkan adalah tanggal versi skenario yang dipakai untuk menyiapkan shooting.
3.      Production company – Cantumkan nama dan nomor telepon dari rumah produksi (production house) yang memproduksi film.
4.      Breakdown page no – Cantumkan nomor halaman dari lembar breakdown yang dibuat. Biasanya nomor halaman ini sama dengan nomor adegan. Kecuali bila dalam satu adegan dibutuhkan lebih dari satu lembar breakdown.
5.      Title/no of episodes – Di sini tuliskan judul film yang diproduksi. Jika yang diproduksi adalah film seri, film miniseri, atau sinetron, cantumkan juga nomor episode.
6.      Page count – Di sini cantumkan panjang atau porsi dari adegan dalam skenario yang diurai. Biasakan membagi tiap halaman skenario menjadi delapan bagian. Bila adegan yang diurai hanya mempunyai panjang 2/8 halaman, maka tulislah angka 2/8.
7.      Location or set – Di sini cantumkan lokasi sesuai dengan skenario. Hal ini perlu untuk mempermudah identifikasi antara satu adegan dengan adegan lainnya. Tapi perlu juga diingat, bahwa lokasi syuting bias saja berubah dari yang tertera di dalam skenario.
8.      Scene no – Cantumkan nomor adegan sesuai yang tercantum di dalam skenario.
9.      Int/ext – Bagian ini menandakan di mana suatu adegan terjadi. Int adalah untuk interior, artinya adegan dilakukan di dalam ruangan. Sedangkan ext adalah untuk exterior, yaitu adegan yang di luar ruangan.
10.  Day/night – Cantumkan waktu adegan. Day untuk siang hari. Night untuk malam hari.
11.  Description – Gambarkan kejadian spesifik yang ada di dalam adegan untuk mempermudah ingatan. Dengan cara ini tidak perlu lagi membuka-buka skenario untuk mengingat-ingat apa yang terjadi did ala, adegan.
12.  Cast – Tuliskan semua pemeran yang melakukan dialog (speaking parts), termasuk peran pendukung. Semuanya diurut sesuai pentingnya peran.
13.  Wardobe – Bagian ini khusus untuk mencatat pakaian yang dikenakan oleh pemeran adegan. Dan catatan ini diperlukan apabila ada pakaian khusus yang dipakai oleh pemeran, yang penyediaannya perlu biaya dan waktu khusus.
14.  Extras/atmosphere – Cantumkan jumlah orang-orang (crowd) yang dibutuhkan untuk mendukung suasana dalam sebuah adegan. Cantumkan berapa perempuan dewasa, anak perempuan, bayi, laki-laki dewasa, dan sebagainya. Catat juga apakah crowd serupa terdapat pada adegan-adegan lain, sehingga bisa dikelompokkan secara berkelanjutan.
15.  Make up/hair do – Cantumkan catatan khusus tentang tata rias dan tata rambut (hair do) untuk tiap peran dan crowd. Contohnya, - 3: efek penuaan di wajah 20 tahun lebih tua dibandingkan scene # 35. – Artinya, cast nomor 3, harus dirias dan ditata rambutnya sehingga menghasilkan wajah 20 tahun lebih tua disbanding penampilannya di scene 35.
16.  Extras/silent bits – Yang termasuk bagian ini adalah para pemeran yang tidak melakukan dialog yang tidak tergabung dalam crowd. Perlu dicatat adalah usia, penampilan fisik, tinggi badan, perawakan tubuh, dan sebagainya.
17.  Stunts/stand ins – Untuk melakukan beberapa adegan, dibutuhkan pemeran pengganti untuk adegan berbahaya (stunt) atau pemeran pengganti dengan mempertahankan wajah si pemeran utama (stand in).
18.  Vehicles/animals – Apabila ada kendaraan (vehicles) yang nanti tampak dalam gambar (frame), catat segala informasi tentang kendaraan tersebut di bagian ini, termasuk tahun, warna, jumlah, dan posisi kendaraan. Apabila film membutuhkan hewan (animals), pastikan apakah dibutuhkan pula pawang atau pelatih hewan. Jangan lupa siapkan transportasi dan akomodasi untuk pawang maupun pelatih hewan.
19.  Props, set dressing, greenery – Ketiganya merupakan bagian dari pekerjaan Departemen Artistik. Props adalah semua benda yang dipakai atau dibawa oleh cast dan extras. Props diurus oleh props master yang mesti memastikan bahwa props adegan satu dengan lainnya tetap sama. Set dressing merupakan tata lokasi (set) di mana lokasi syuting diatur dan dihias oleh seorang set dresser. Greenery adalah semua tanaman yang dipinjam, disewa atau dibeli karena tidak tersedia di lokasi.
20.  Sound effects/music – Beberapa adegan mungkin membutuhkan efek suara tertentu (sound effects) seperti suara sirene di kejauhan atau gemuruh kereta api yang melintas. Atau adegan di dalam film itu mungkin juga membutuhkan alunan musik, baik sebagai latar belakang maupun untuk dinyanyikan. Catat semuanya di bagian ini.
21.  Security/teachers – Untuk kelancaran syuting di suatu lokasi terkadang dibutuhkan juga bantuan tenaga keamanan (security). Untuk pemeran anak-anak terkadang dibutuhkan juga peran tenaga pengajar (teachers), misalnya untuk mengajari anak-anak tersebut berdialog dan lain-lainnya. Catatkan semuanya itu di bagian ini.
22.  Special effects – Catatkan di bagian ini semua keperluan akan efek khusus, seperti: ledakan, penghancuranj, peledakan, tata rias khusus, dan sebagainya.
23.  Estimated no. of  set ups – Di bagian ini cantumkan perkiraan tentang beberapa sudut pengambilan gambar (set up) untuk sebuah adegan. Untuk menentukan berapa set up yang dibutuhkan maka perlu berkoordinasi dengan sutradara.
24.  Estimated production time – setelah memastikan jumlah set up, perkirakan waktu yang diperlukan untuk menyiapkan set up dan merekam gambar setiap set up. Tuliskan total waktu untuk semua set up di bagian ini.
25.  Special equipment – Catat peralatan syuting khusus yang diperlukan, seperti steadycam, under water camera, car mounting, atau lensa tele.
26.  Production notes – Di sini dicatat semua keperluan yang belum tercatat pada bagian-bagian sebelumnya, serta membutuhkan waktu, tenaga dan biaya khusus.
                          (Lihat – Heru Effendi, Mari Membuat Film – Panduan
                            Menjadi Produser, Panduan)             
                                                   ***
                                                                                  (Sutirman Eka Ardhana)

Senin, 04 November 2013

Satu Suro Cara Sultan Agung Padukan Islam ke Religi Jawa



Satu Suro
            Cara Sultan Agung Padukan Islam ke Religi Jawa

            TAHUN baru Hijriyah (Islam) dan tahun baru Jawa selalu datang bersamaan. Kedatangan tahun baru Hijriyah tentu saja disambut dan dirayakan oleh segenap umat Islam. Sementara masyarakat Jawa yang masih kental dengan budaya dan religi Jawa-nya menyambut dan merayakan kedatangan tahun baru Jawa pada malam tanggal 1 Suro, sebagai awal bulan Jawa.
Tahun baru Jawa yang dikenal dengan sebutan Kalender Sultan Agung, merupakan perubahan dari kalender Jawa sebelumnya, yakni Kalender Saka. Kalender Saka merupakan warisan zaman Hindu-Buddha, yang dimulai pada tahun 78 Masehi. Konon. Tahun Jawa dengan Kalender Saka dimulai dari datangnya seorang tokoh yang bernama Ajisaka di Pulau Jawa. Ajisaka adalah seorang tokoh mitologi Jawa, yang dipercaya sebagai pencipta huruf Jawa: ha na ca ra ka.
Tetapi ketika Sultan Agung Anyakrakusumo bertahta di Kerajaan Mataram, tahun Jawa dengan perhitungan atau Kalender Saka itu digantinya dengan perhitungan tahun Hijriyah (Islam). Sultan Agung memang dikenal sebagai seorang raja yang keyakinannya terhadap Islam begitu kuat dan kental. Ia berkeinginan semua hal yang berhubungan dengan perilaku orang Jawa selalu terikat atau dekat dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Karena itulah, ia kemudian membuat dan menetapkan kalender Jawa yang baru, yang dimulai pada 1 Suro tahun Alip 1555, atau bertepatan persis dengan 1 Muharram 1043 Hijriyah. Penentuan tahun baru Jawa Kalender Sultan Agung itu diberlakukan mulai 8 Juloi 1633 Masehi. Dengan penentuan tahun baru Jawa oleh Sultan Agung itu, maka tahun Jawa Kalender Saka berakhir di tahun 1554.
Tahun baru Jawa yang dimulai pada tanggal 1 Suro 1555 itu merupakan salah satu karya besar Sultan Agung yang masih bertahan hingga hari ini. Bagi sejarah perkembangan Islam di Jawa, tahun baru Jawa Kalender Sultan Agung dipandang sebagai salah satu karya monumental dalam dakwah dan syiar Islam. Kalender Saka yang dijadikan pegangan masyarakat Jawa sebelumnya, mengikuti sistem perjalanan matahari mengitari bumi (Syamsiyah). Sedangkan Kalender Sultan Agung mengikuti sistem perjalanan bulan mengitari bumi (Komariyah)., seperti halnya Kalender Hijriyah.
Langkah Sultan Agung merubah tahun Jawa yang disamakan dengan tahun Hijriyah jelas merupakan salah satu cara dakwahnya sebagai seorang raja di Tanah Jawa dalam menyebarluaskan ajaran Islam. Di samping sebagai upayanya untuk memperkenalkan lebih dalam lagi beragam pengetahuan tentang Islam ke dalam sikap, perilaku, budaya dan religi masyarakat Jawa yang ada di masa itu.
Lebih dari itu, dengan Kalender Jawa yang diawali pada 1 Suro, Sultan Agung ingin memadukan dan mempertemukan tradisi dan religi Jawa dengan nilai-nilai serta prinsip-prinsip ajaran Islam yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Wali Sanga secara luas di Jawa. Maksudnya tentu, sekalipun orang Jawa telah banyak yang meyakini Islam sebagai agamanya, tetapi nilai-nilai ajaran dan budaya Jawa yang adiluhung itu tetap ada di dalam kehidupannya.
Sultan Agung sangat menyadari, selain sebagai raja di Mataram (Jawa), dirinya juga menyandang gelar sebagai Sayidina Panata Gama Kalifatullah ing Tanah Jawi. Dengan gelar itu, selain bertanggungjawab terhadap kelangsungan pemerintahan di Kerajaan Mataram, ia juga bertanggungjawab terhadap penyebaran dan perkembangan agama Islam di Jawa. Kebesaran dan kejayaan Islam di Jawa, juga berada di tangannya. Karena itu ia senantiasa melakukan berbagai cara dalam mengembangkan syiar Islam kepada masyarakat di Jawa, dan salah satu di antaranya dengan merubah tahun baru Jawa menjadi sama dengan tahu Hijriyah. ***
                                            (Sutirman Eka Ardhana)