Minggu, 26 Januari 2014

Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (3-habis) Mau Dinikah, Asalkan Bu Fat Tetap First Lady

                                                       Hartini bersama Bung Karno (ft: rep)


Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (3-habis)
Mau Dinikah, Asalkan Bu Fat Tetap First Lady
SEPUCUK surat cinta yang sederhana dan singkat itu ternyata punya arti yang sangat besar bagi perjalanan hidup Hartini. Surat cinta dari Bung Karno tersebut telah merubah perjalanan hidupnya. Semenjak menerima surat cinta itu, hubungan Hartini dengan Bung Karno pun menjadi semakin dekat, dan kian sulit terpisahkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun terjadi dalam berbagai kesempatan. Innisiatif pertemuan-pertemuan itu biasanya datang dari Bung Karno. Bila ingin bertemu, lewat berbagai jalur Bung Karno terlebih dulu mengontak ke Hartini.
Misalnya, ketika Bung Karno berada di Semarang, Hartini pun berangkat ke Semarang untuk menemuinya. Selain itu ia juga beberapa kali berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan Bung Karno. Setelah beberapa kali pertemuan itu, Hartini memang tidak bisa lagi membantah kata hatinya yang memang benar-benar telah jatuh hati kepada Sang Presiden. Sehingga ketika Bung Karno mengutarakan keinginan untuk menikahinya, Hartini tak mampu menolak.
Cinta adalah sesuatu yang sangat mendapat tempat berharga di hati Bung Karno. Atas dasar cinta itu pula Bung Karno kemudian menikahi Hartini di tahun 1953. Dan, atas nama cinta pula, Hartini menyatakan kesediaannya untuk menjadi isteri Bung Karno.  Pernikahan itu berlangsung secara sederhana di Istana Cipanas, Bogor, pada 7 Juli 1953. Keputusan Hartini yang bersedia menikah dengan Bung Karno yang sudah beristeri itu bukanlah diambil tanpa pertimbangan dan syarat-syarat tertentu. Sebelum mengatakan setuju dengan ‘lamaran’ Bung Karno, Hartini sudah terlebih dulu memikirkannya berhari-hari, disamping meminta pertimbangan dan restu dari orangtuanya.
Hartini sadar sepenuhnya, bahwa disamping Bung Karno sudah ada seorang first lady, seorang ibu negara, yakni Ibu Fatmawati. Atas pertimbangan itu, Hartini pun telah mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh Bung Karno bila tetap ingin menikahinya. Syaratnya, ia bersedia dinikahi asalkan Bung Karno tidak menceraikan isterinya, Fatmawati. “Biarkan Bu Fatmawati tetap menjadi first lady,” pinta Hartini kepada Bung Karno.  Permintaan itu disanggupi Bung Karno. Sekalipun Fatmawati kecewa dengan perkawinan itu dan kemudian meninggalkan istana, namun kedudukannya sebagai first lady tetap terjaga.
Langkah Hartini untuk menjadi isteri seorang Presiden dan menghuni istana kepresidenan di Bogor tidaklah mudah. Pernikahannya dengan Bung Karno telah disambut dengan protes dan demonstrasi oleh banyak organisasi kaum perempuan waktu itu. Banyak organisasi kaum perempuan yang mencela keputusan Bung Karno menikahi Hartini tersebut. Bahkan Ibu Fatmawati meninggalkan istana sebagai ungkapan rasa kekecewaannya dengan pernikahan itu. Media-media pers oposisi menjadikan pernikahan Hartini dengan Bung Karno  itu sebagai obyek pemberitaan yang tendensius dan menyudutkan. Tapi Bung Karno tidak menyurutkan langkah. Cintanya yang begitu besar kepada Hartini telah dijadikannya sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi segala kecaman dan cacimaki yang tertuju kepadanya.
“Kalau sekiranya demonstrasi ini menentang kebijaksanaan negara, aku segera mengambil tindakan. Akan tetapi ini ditujukan kepadaku pribadi. Sekali pun menyakitkan hati dan menyebabkan kemarahanku, aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak menyuruh mereka supaya tutup mulut, bahkan aku berusaha menahan perasaan supaya tidak melukai hati mereka di hari-hari selanjutnya,” ujar Bung Karno menanggapi aksi protes itu.
Ingin tahu apa alasan Bung Karno menikahi Hartini?
“Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan pokok yang telah berlaku sejak permulaan zaman yang akan tetap berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi; aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal,” jelas Bung Karno seperti dituturkannya dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adams.

Setia sampai Akhir
Sebagai seorang perempuan Jawa yang sejak kecil telah mendapatkan pelajaran dam pemahaman yang dalam tentang tatanilai serta tatakrama Jawa , khususnya yang berhubungan dengan tatacara bagaimana seorang isteri berbakti kepada suaminya,  Hartini benar-benar mampu menempatkan keberadaannya sebagai isteri seorang Presiden. Kelemah-lembutan, kesabaran dan ketelatenan,merupakan tiga hal yang selalu dikedepankan Hartini dalam hari-harinya mendampingi Bung Karno. Dengan kata lain, setiap kali bersama dengan Bung Karno, ia selalu menunjukkan sikap lemah-lembut, penuh kesabaran serta penuh rasa perhatian yang sungguh-sungguh. Pernikahannya dengan Bung Karno itu telah menghadirkan dua orang ‘buah cinta’ yakni Bayu Soekarnoputra dan Taufan Soekarnoputra.
Sebagai seorang lelaki yang romantis, Bung Karno merupakan tipe lelaki yang sangat suka dimanja dan disayang oleh perempuan. Karena itulah, sikap kelemah-lembutan, kesabaran dan ketelatenan yang ditunjukkan Hartini itu menjadi begitu berkesan di dalam hati Bung Karno. Dan, semua itu semakin mempertebal cinta serta kasih sayang Bung Karno kepada Hartini. Bahkan kepintaran Hartini dalam bergaul dengan siapa saja, telah menyebabkan ia selalu diperkenalkan Bung Karno kepada tamu-tamunya, atau tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana Bogor, tempat Hartini tinggal.
Mencintai dan menjadi isteri seorang Presiden yang tampan dan pengagum keindahan serta kecantikan perempuan bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjalani hari-hari disamping seorang tokoh seperti Bung Karno, tidak saja dibutuhkan sikap kesabaran yang tinggi, dan keikhlasan yang dalam, juga diperlukan ketegaran jiwa yang besar.  Semua itu dilakukan Hartini dengan jiwa yang ikhlas dan kesetiaan cinta yang besar. Kesetiaan serta perhatian yang besar dari Hartini kepada Bung Karno tak pernah surut barang sejengkal pun.
Hartini tetap mempertahankan kesetiaan cintanya kepada Bung Karno, baik di masa-masa jaya maupun di masa-masa suram. Di masa-masa sulit, di masa-masa Bung Karno mulai ‘diasingkan’ dari percaturan politik, Hartini masih tetap setia bersama Bung Karno. Dan, ia masih tetap setia mencintai Bung Karno, sampai Sang Proklamator itu menghadap ke Al-Khalik pada 21 Juni 1970 setelah menderita sakit beberapa saat.  Cinta dan kesetiaannya kepada Bung Karno itu pun dibawa Hartini sampai akhir hayatnya pada 12 Maret 2002 lalu. (Sutirman Eka Ardhana/ dari berbagai sumber)

Rabu, 22 Januari 2014

Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (2) Pertemuan Kedua Terjadi di Candi Prambanan

                                                                      Hartini (ft: rep)


Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (2)
Pertemuan Kedua Terjadi di Candi Prambanan

HARAPAN Hartini ternyata tidak sia-sia. Keinginannya untuk bertemu lagi dengan Bung Karno terwujud. Tak berapa lama kemudian, tepatnya di tahun 1953, pertemuan kedua pun terjadi. Ketika itu Bung Karno, dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, meresmikan pembukaan panggung terbuka Ramayana di Candi Prambanan, Yogyakarta. Hartini saat itu juga berada di tengah-tengah antusiasnya warga sekitar menyaksikan peresmian panggung Ramayana tersebut.
Kembali dada Hartini bergetar ketika berjabatan-tangan untuk kedua kalinya dengan Bung Karno. Seperti pertemuan yang pertama di Salatiga tahun 1952, Bung Karno tersenyum ramah, dan penuh kesantunan saat menjabat tangannya. Dan, pada pertemuan kedua itu, Bung Karno tak lagi menanyakan namanya. Kali ini, Bung Karno bertanya dengan penuh perhatian tentang kabar dan keadaannya. Dengan tersipu dan penuh hormat, Hartini mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan Bung Karno itu dengan apa adanya.
Tidak seperti pertemuan pertama, pada pertemuan kedua di Candi Prambanan keduanya terlibat pembicaraan yang agak sedikit leluasa. Bung Karno tak hanya bertanya, tapi juga bercerita banyak hal kepada Hartini. Bagi Hartini, pertemuan dan perbincangannya dengan Bung Karno saat itu sungguh sangat berkesan. Ia benar-benar merasa tersanjung, karena sebagai rakyat biasa, ia merasa telah diperhatikan oleh seorang Presiden yang dihormati, dipuja dan dikagumi rakyat. Tidak semua prempuan punya kesempatan seperti ini, pikirnya. Kesempatan untuk bertemu-muka, berjabattangan dan berbincang-bincang agak lama dengan seorang Presiden.
Sepulang dari Candi Prambanan, Hartini seakan tak pernah berhenti mengingat pertemuan keduanya dengan Bung Karno itu. Pertemuan itu sungguh berkesan dalam hatinya. Pertemuan itu sangat menyenangkan. Entah mengapa, setelah pertemuan itu, semangat dan gairah kehidupannya terasa begitu menyala-nyala. Senyum dan tatapan Bung Karno itu telah menggairahkan jiwa dan semangat hidupnya. Meski pun begitu terbersit juga perasaan ragu dan khawatir di dalam hatinya. Apakah Bung Karno juga mengingat-ingat pertemuan kedua di Candi Prambanan itu? Apakah dadanya juga bergetar saat bertemu dan berjabattangan lagi? Apakah ia juga mengharapkan pertemuan-pertemuan berikutnya? Beruntun tanya muncul di antara gelisah hatinya.
Sejak pertemuan kedua itu, Hartini memang tidak bisa mengingkari perasaan hatinya bahwa bahwa ia menjadi sering memikirkan Bung Karno. Bahkan ia pun sering  melamun sendiri, membayangkan wajah Bung Karno, membayangkan senyumnya yang penuh pesona, anggun dan berwibawa. Membayangkan tatap matanya yang menggetarkan dada. Tatap mata seorang lelaki tampan dan dewasa. Lelaki yang tahu betul bagaimana caranya menghormati dan menghargai seorang perempuan. Serta membayangkan bagaimana hangatnya pertemuan serta percakapan saat itu. Tetapi Hartini tetap sadar, bahwa lelaki yang dikaguminya itu, lelaki yang sering muncul dalam lamunannya dan meresahkan hatinya itu bukanlah lelaki sembarangan. Lelaki itu adalah seorang Presiden, seorang Kepala. Seseorang yang sangag dihormati dan disegani. Terlebih dari itu semua, lelaki itu juga sudah beristeri.
Menyadari dirinya hanyalah seorang perempuan biasa yang berstatus janda, dan tinggal  di kota kecil Salatiga, jauh dari keramaian ibukota Jakarta, Hartini sempat berpikir untuk tak lagi memikirkan dan mengkhayalkan Bung Karno. Ia khawatir telah melakukan sesuatu yang sia-sia, memikirkan seseorang yang ‘jauh dari jangkauan tangan’. Tetapi, setiap kali ia berusaha untuk melupakan , setiap kali itu pula senyum dan tatap muka Bung Karno kian membayanginya. Seakan senyum dan tatap mata Bung Karno itu hadir  di setiap desah dan detak langkahnya.
Berulangkali Hartini bertanya dalam hati, apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam dirinya? Apakah ia sedang terbakar gelora cinta? Apakah ia sedang jatuih cinta? Jatuh cinta dengan seorang lelaki terhormat dan terpandang? Apakah ini bukan hanya mimpi? Bukan hanya angan-angan dan khayalan dari seorang perempuan biasa? Berhari-hari Hartini mencoba mencari jawaban dari beruntun tanya yang ada dalam hatinya itu. Namun berhari-hari pula ia dicekam rasa takut untuk mengetahui jawaban itu. Karena sesungguhnya, jawaban itu sudah ada di dalam hati kecilnya. Ya, di dalam hati kecilnya sudah ada jawaban itu. Ia memang sedang jatuh cinta. Jatuh cinta kepada seorang Presiden. Jawaban ini menakutkannya. Merisaukan hatinya. Karena ia sadar, jawaban itu rasanya sulit untuk diwujudkan. Jawaban itu hanya sekadar mimpi dan angan-angan belaka. 

 Terima Sepucuk Surat
         Akan tetapi kegalauan hatinya tak berlangsung lama. Suatu hari ia dikejutkan dengan kedatangan seorang temannya. Sesungguhnya bukan kedatangan temannya itu yang mengejutkan, melainkan sesuatu yang dibawa oleh temannya itu yang telah membuat ia terkejut dan tergetar. Temannya itu membawa sesuatu, titipan dari seseorang yang terhormat dan terpandang di negeri ini.
“Terhormat dan terpandang di negeri ini? Siapa?” Hartini bertanya dengan dada berdebar.
“Dari Bung Karno. Dari Presiden kita.”
Debaran di dada Hartini semakin mengencang mendengar jawaban itu.
“Apa titipannya?”Hartini tak sabar lagi untuk mengetahui apa yang dititipkan Bung Karno lewat temannya itu.
“Sepucuk surat.”
“Surat?! Surat dari Bung Karno?!” Hartini seperti tak percaya mendengar apa yang dikatakan temannya itu.
Tanpa sempat lagi berpikir, bagaimana caranya sampai surat itu dititipkan Bung Karno lewat temannya, Hartini segera meminta titipan surat itu karena sudah tak sabar lagi untuk segera mengetahui isinya. Tapi, apa isinya?
Dengan dada berdebar dan tangan tergetar, Hartini membaca surat dari Bung Karno itu. Kata-kata yang tertera di dalam surat itu tak banyak. Hanya dua kalimat saja.
-Ketika aku melihatmu untuk kali pertama, hatiku bergetar. Mungkin kau pun mempunyai perasaan yang sama..—
Di bawah kata-kata itu tidak tertulis nama Sukarno atau Bung Karno. Melainkan tertulis nama Srihana. Srihana, inilah nama samaran yang digunakan Bung Karno ketika menulis surat pertamanya itu kepada Hartini. Semula, Hartini memang sempat ragu dengan kebenaran surat itu. Tetapi setelah diberi p[enjelasan dan diyakinkan oleh temannya itu, barulah ia meyakininya. Dijelaskan oleh temannya, Bung Karno memang terpaksa menggunakan nama samaran Srihana itu, demi menjaga kewibawaannya sebagai seorang Presiden.
Betapa leganya, betapa bahagianya hati Hartini menerima surat yang pertama dari Bung Karno itu. Surat dari seorang lelaki tampan dan terhormat, yang selama beberapa waktu selalu membayangi tidurnya. Kata-kata di dalam surat itu bagaikan taburan berjuta-juta mutiara, dan berjuta warna-warni bunga yang memenuhi ke seluruh hamparan hatinya. Surat itu sekaligus sebagai jawaban atas beruntun tanya dan keragiuan serta kegelisahannya selama ini. Ternyata ia tidak hanya berkhyalan sendiri. Tidak hanya berangan-angan sendiri. Tidak hanya berdebar dan tergetar sendiri. Perasaan itu juga dirasakan oleh Bung Karno. Presiden itu juga berdebar dan tergetar, di saat bertemu, bertatap muka dan berjabattangan.
Tanpa sadar, air mata gembira dan keharuan menetes di kelopak matanya. Ya, perempuan mana yang tak tersanjung dan terharu menerima sepucuk surat bersisi kata-kata cinta yang menggetarkan dari seorang Presiden iitu.  (Sutirman Eka Ardhana)

Minggu, 19 Januari 2014

Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (1): Berawal dari Pertanyaan “Siapa Namamu?”

                                               Ny. Hartini bersama Bung Karno. (ft: rep)


            Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (1):
         Berawal dari Pertanyaan “Siapa Namamu?”
SUKARNO, proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik Indonesia yang populer dengan panggilan Bung Karno itu, tidak hanya seorang Bapak Bangsa dan negarawan sejati, tapi juga dikenal sebagai seorang “pecinta agung”. Bung Karno adalah seorang pengagum dan pecinta keindahan.  Karena itulah barangkali, kisah-kisah cinta yang menarik selalu mewarnai sepanjang perjalanan hidup Bung Karno. Salah satu kisah cintanya yang menarik dan penuh kesan, adalah kisah cintanya dengan Hartini.
Siapakah gerangan Hartini, perempuan yang berhasil menarik hati Bung Karno itu? Sesungguhnya, tidak ada catatan yang istimewa bagi diri seorang Hartini kecil. Ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Osan, seorang pegawai biasa pada Departemen Kehutanan. Masa kecilnya dihabiskan di Malang. Setamat Sekolah Rakyat (sekarang SD), ia diangkat menjadi anak angkat oleh keluarga Oesman yang tinggal di Bandung.
Di Bandung, Hartini melanjutkan sekolahnya di Sekolah Kepandaian Puteri (SKP). Sejak menjadi siswi SKP, kecantikan Hartini mulai tampak nyata. Apalagi ia selalu tampak luwes bila berdandan dan mengenakan pakaian apa pun. Satu hal lagi, gadis yang selalu murah senyum ini tergolong pintar dalam bergaul. Ia tak pernah memilih-milih dalam berkawan atau bergaul. Karena itulah, ia termasuk gadis yang menonjol di antara sesama kawan-kawan sekolahnya.
Tapi kemudian, pada suatu hari kawan-kawan sebayanya dikejutkan dengan berita Hartini menikah. Banyak teman-temannya yang tak percaya dengan berita itu. Padahal usianya waktu itu masih sangat muda. Apalagi, Hartini tak pernah bercerita tentang lelaki yang menjadi tunangannya, atau lelaki yang dicintai maupun yang dipilih untuk menjadi suaminya itu. Bagi teman-temannya, nama lelaki yang menjadi suami Hartini itu terasa asing. Dan, lelaki yang menikahinya itu bernama Suwondo.
Ia pun kemudian tinggal bersama suaminya di Salatiga. Demikianlah, sejak itu hari-hari Hartini selalu berkutat dengan kesibukan rumahtangganya. Namun, beberapa tahun kemudian, setelah pernikahan itu membuahkan lima orang anak, badai pun melanda keutuhan rumahtangganya. Entah apa penyebabnya. Badai itu ternyata terlalu kencang, hingga perkawinannya dengan Suwondo tak dapat dipertahankan lagi. Mereka bercerai.
Ketika perceraian itu terjadi, usia Hartini masih terbilang muda, 28 tahun. Sekalipun berstatus janda, tapi pesona kecantikannya masih tetap bercahaya. Bahkan, dalam penampilannya sehari-hari, Hartini tak hanya terlihat cantik dan luwes, tapi anggun serta matang. Pesona itu membuat banyak lelaki menaruh perhatian dan kagum kepadanya. Tidak sedikit lelaki yang mencoba mengambil hatinya, tapi Hartini masih tetap bertahan dengan kesendiriannya.
Sampai kemudian, suatu hari ia bertemu dengan seorang lelaki yang terhormat dan terpandang, lelaki yang dikagumi segenap rakyat Indonesia. Lelaki yang kemudian merubah perjalanan hidupnya, dari seorang perempuan biasa menjadi perempuan terpandang, dihormati dan isteri seorang presiden. Lelaki itu bernama Sukarno, Presiden Republik Indonesia.

            Jumpa di Salatiga
Pertemuan pertamanya dengan Bung Karno terjadi pada tahun 1952. Ketika itu, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada, Bung Karno terlebih dulu singgah di Salatiga. Meskipun hanya singgah sebentar, pemerintah dan warga setempat menyambut kedatangan presidennya itu dengan sukacita. Bung Karno dan rombongannya dijamu makan siang. Dan, Hartini termasuk di antara ibu-ibu yang menghindangkan hidangan makan siang untuk Bung Karno tersebut.
Seusai menikmati hidangan makan siang, Bung Karno lalu menyalami semua orang yang hadir. Termasuk para wanita atau ibu-ibu yang menyiapkan hidangan makan siang itu. Kesempatan untuk berjabatan tangan dengan seorang Presiden yang dikaguminya memang sudah lama ditunggu-tunggu. Karenanya, Hartini tidak mensia-siakan kesempatan berharga itu.  Bersama ibu-ibu lainnya, ia pun memanfaatkan kesempatan bertemu dan menjabat tangan Presiden dengan sebaik-baiknya. Dengan gembira dan bahagia mereka, termasuk Hartini, menunggu kesempatan yang berharga itu.
Kegembiraan menggumpal di dada Hartini ketika untuk pertamakalinya ia berjabatan tangan dengan Bung Karno. Berjabatan tangan dengan seorang Presiden yang dihormati dan dikagumi segenap rakyat. Betapa tidak. Kesempatan untuk bertemu, bertatap muka dan bersalaman dengan Presiden bukanlah hal yang mudah. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan yang istimewa seperti itu. 
Dalam kegembiraan itu, dada Hartini pun tiba-tiba tergetar dan berdebar, manakala menerima tatapan dan senyuman dari Bung Karno. Tatapan dan senyuman dari seorang lelaki tampan, berwibawa dan dihormati. Dan, debaran di dadanya semakin mengencang, ketika saat bersalaman itu di luar dugaan tiba-tiba Bung Karno menanyakan namanya. “Siapa namamu?” inilah pertanyaan yang singkat dari Bung Karno, sambil tetap menggenggam tangannya.
“Hartini,” jawabnya terbata-bata dan tersipu.
Kekaguman terlihat jelas di wajah Bung Karno saat mendengar jawaban itu. Bung Karno pun kemudian mengembangkan senyumnya. Senyum yang khas. Senyum yang menebarkan pesona.  
Ada perasaan bahagia, gembira dan bangga di dada Hartini, mendapat pertanyaan seperti itu. Mendapat pertanyaan dari seorang Presiden yang tidak saja dihormati dan dicintai rakyatnya, tapi juga disegani di dunia internasional. Hartini pun merasa bahwa tatapan, senyuman dan pertanyaan Bung Karno kepadanya itu seperti mengandung sejumlah arti, makna dan isyarat. Tetapi, sampai pertemuan itu usai, dan Bung Karno melanjutkan perjalanannya menuju Yogyakarta, ia tidak juga menemukan arti, makna dan isyarat di balik semuanya itu.
Itulah pertemuan pertamanya dengan Bung Karno. Meskipun singkat dan hanya sekilas waktu, tapi cukup mengesankan baginya. Pertemuan pertama itu selalu dikenangnya. Jumpa pertama di Salatiga itu selalu mengusik hatinya. Senyum dan tatapan penuh pesona dari Bung Karno itu seakan tak pernah lepas dari ingatannya. Ia pun selalu berharap agar dapat bertemu lagi dengan Bung Karno, sehingga Presiden yang dikaguminya itu akan bertanya banyak hal lagi pada dirinya, tak hanya sekadar bertanya tentang nama. (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)


Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (1) Dari Desa, Menjadi Penari di Keraton

                       ket. foto: Sumiatun ketika menjadi penari keraton berada di barisan depan. (foto: kartini/istimewa)




             Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (1) 
          Dari Desa, Menjadi Penari di Keraton
KEHIDUPAN di dalam istana raja-raja di Jawa, dari dulu hingga kini, sarat dengan pesona dan penuh beragam cerita atau kisah yang menarik. Termasuk di dalamnya kisah-kisah tentang cinta, ketulusan kasih sayang, serta tentang pengabdian dan kesetiaan cinta. Di Keraton Kasunanan Surakarta (kini berada dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah) misalnya, pernah terukir “kisah cinta yang sejati dan mulia” antara seorang selir bernama Raden Ayu Laksminto Rukmi dengan Sri Susuhunan Paku Buwono X yang berkuasa di Keraton Surakarta pada tahun 1893 sampai 1939.
Kisah cinta yang menarik dan mengesankan ini sesungguhnya pada tahun 1990 sudah pernah dimuat sejumlah media, di antaranya Majalah “Kartini”. Sungguh teramat mengesankan, betapa indah dan romantisnya kisah kesetiaan cinta RAy Laksminto Rukmi terhadap Sri Paku Buwono X. Kisah kesetiaan cinta seperti ini akan tetap abadi dan tak akan lekang sampai kapan pun. Dengan harapan agar kisahnya bisa dijadikan semacam teladan bagi siapa saja yang menghargai kesetiaan dan ketulusan cinta, kisah kesetiaan cinta itu dihadirkan kembali dengan bersumber pada kisah yang pernah ditulis oleh sejumlah media tersebut.
***
Nama kecilnya Sumiatun. Ia lahir sekitar tahun 1900 pada salah satu desa di wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Ayahnya, Raden Mas Partodiharjo, adalah seorang lurah. Sekali pun hanya seorang lurah, tapi ayahnya masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Yosodipuro, pujangga kenamaan di Keraton Surakarta. Pujangga Yosodipuro itu adalah eyangnya. Sedangkan pujangga kenamaan lainnya, Ronggowarsito, termasuk salah seorang pakdenya.
Meski terlahir sebagai anak lurah, tapi Sumiatun tetap seorang anak desa yang lugu dan sederhana. Walaupun lugu dan sederhana, namun sejak kecil kecantikannya tak bisa disembunyikan. Dan, sejak kecil pula, wajahnya sudah memancarkan aura dan pesona tersendiri. Hanya orang-orang yang punya daya penglihatan linuwih, yang mampu membaca arti di balik pancaran aura dan pesona di wajahnya itu.
Salah seorang yang mampu membacanya adalah Mbah Gowang, seorang lelaki keturunan Cina yang berprofesi sebagai pedagang keliling. Ketika ia dilahirkan dan warga desa berkumpul di rumahnya, Mbah Gowang yang sedang berkeliling menawarkan dagangannya ikut pula singgah. Seperti tamu-tamu yang lain, Mbah Gowang pun ikut melihat wajahnya yang baru dilahirkan. Sehabis melihat, Mbah Gowang lalu berkata kepada Raden Mas Partodiharjo, “Mulai sekarang sayangilah bayi ini, jangan sia-siakan dirinya. Kelak kalau anak ini sudah besar, dia akan mendapat jodoh seorang raja.” Inilah ramalan Mbah Gowang atas dirinya.

Menjadi Penari Keraton
Ketika usianya mencapai sepuluh tahun, kecantikan Sumiatun semakin nyata. Pada saat itulah ia dititipkan ayahnya kepada salah seorang saudaranya yang menjadi pepatih keputren di Keraton Surakarta. Saudaranya yang mengurus berbagai kepentingan di Keputren itu adalah KRAy Sedahmirah Tasikwulan.  Ayahnya sengaja menitipkan dirinya agar kelak bisa menjadi penari di keraton. Impian untuk menjadi penari keraton itu memang sejak dirinya masih kecil sudah ditanamkan oleh ayahnya.
          Setelah tinggal di lingkungan keraton, impiannya untuk menjadi penari keraton pun terwujud. Sumiatun memang benar-benar berbakat menjadi penari. Dalam waktu relatif singkat, ia sudah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai beragam bentuk tarian yang ada di dalam keraton. Keterampilannya dalam menari, ternyata diam-diam senantiasa diperhatikan oleh Sri Paku Buwono X. Sehingga dalam usianya yang relatif masih sangat muda, belum 17 tahun, ia sudah sering diikutsertakan Sri Paku Buwono X dalam pentas tarian keraton di kota-kota besar lainnya, misalnya menari di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).
         Ketika ia mengalami menstruasi atau haid yang pertama, perhatian Sri Paku Buwono X kepadanya semakin bertambah. Karena ia tidak muncul saat latihan menari, Sri Susuhunan langsung menanyakannya. Begitu diberitahu bahwa ia sedang haid yang pertama, Susuhunan langsung memerintahkan untuk membuat acara pesta syukuran menyambut datangnya haid pertama Sumiyatun tersebut.
                                                                             (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)

Jumat, 17 Januari 2014

Pasar Beringharjo, Dulu Terindah Di Jawa



Pasar Beringharjo, Dulu Terindah Di Jawa

PEMBANGUNAN Pasar Beringharjo oleh Nederlandcsh Indishe Beton Maatschappij di tahun 1920-an dilakukan secara bertahap. Tahap pertama membangun sebelas bangunan los beton, sebagai los utama. Pembangunan tahap pertama ini selesai pada 25 Maret 1925. Pembangunan tahap kedua dilanjutkan dengan membangun bangunan kios-kios permanen di bagian selatan, yang selesai di bulan Agustus tahun 1925 itu juga. Bangunan sebalah barat termasuk bagian depan pasar dibangun pada pembangunan tahap ketiga yang dimulai September 1925. Pembangunan tahap ketiga ini memerlukan waktu sekitar setengah tahun. Tepatnya sekitar bulan Maret 1926 pembangunannya selesai.
Sebulan setelah pembangunannya selesai, tepatnya di bulan April 1926 pasar baru di areal bekas pasar rakyat yang kemudian populer dengan nama Pasar Gedhe itu mulai ditempati. Hanya saja sejauh ini tidak ada data maupun dokumen yang jelas tentang bagaimana prosedur masuknya para pedagang ke pasar baru yang indah dan megah itu. Sama sekali tidak jelas, apakah para pedagang tradisional atau pedagang kelas rakyat yang semula bertahun-tahun menempati areal pasar rakyat di lapangan itu juga bisa masuk menjadi pedagang di dalam Pasar Gedhe tersebut.

Pasar Termegah
Ketika pembangunan Pasar Beringharjo selesai di tahun 1926, pasar ini oleh penguasa Belanda waktu itu dinyatakan sebagai pasar termegah dan terindah di Jawa. Di kalangan orang-orang Belanda Pasar Beringharjo waktu itu populer dengan sebutan sebagai “Een der mooiste passers op Jawa”. Penilaian sebagai pasar terindah dan termegah, serta termodern pada waktu itu, telah menyebar ke seluruh Jawa, bahkan ke wilayah-wilayah Hindia Belanda lainnya. Oleh karenanya, sejak masa itu Pasar Beringharjo (Pasar Gedhe) telah menjadi tujuan belanja orang-orang Belanda dari kota-kota lain yang datang ke Yogyakarta.
Sejak berubah dari pasar rakyat atau pasar tradisional ke pasar yang lebih representatif, Pasar Gedhe tidak hanya sekadar menjadi tempat belanja dan tempat masyarakat mencari keperluan rumahtangganya sehari-hari, tapi juga telah menjadi semacam “tempat berwisata”. Pasar ini hampir sepanjang hari dipenuhi pengunjung, tidak hanya pengunjung yang memang sengaja datang untuk berbelanja, tapi juga pengunjung yang hanya sekadar datang untuk “berwisata”, melihat-lihat dan menghibur diri. Pengunjungnya pun tidak hanya penduduk yang tinggal di wilayah pusat kerajaan atau Kutonegoro dan Negoro Agung, maupun dari daerah-daerah pinggiran serta pesisiran, tapi juga orang-orang Belanda.
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya Belanda maupun sinyo-sinyo dan noni-noni Belanda selalu datang ke Pasar Gedhe. Barang-barang yang sering mereka cari di pasar ini di antaranya kain-kain batik, kain-kain lurik dan benda-benda kerajinan rakyat, serta makanan-makanan tradisional. Sejak masa itu Pasar Gedhe memang sudah dikenal sebagai pasar yang menyediakan bahan-bahan sandang batik, kerajinan-kerajinan rakyat serta pusat makanan tradisional.
Sejak kapan nama Beringharjo benar-benar melekat di Pasar Gedhe? Nama Pasar Gedhe yang sudah populer sejak tahun 1926 dan dikenal sampai ke kota-kota lain di luar Yogyakarta itu terus digunakan sampai akhir pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Ketika Sri Sultan Hamengku Buwono IX naik tahta menggantikan ayahandanya beberapa tahun menjelang datangnya Balatentara Jepang, nama Pasar Gedhe itu diganti dengan nama baru yakni Pasar Beringharjo.
Pemberian nama Beringharjo sebagai pengganti nama Pasar Gedhe tentu tidak terlepas dari sejarah panjang awal mula berdirinya Keraton Yogyakarta. Sejak Keraton Yogyakarta dibangun di atas tanah hutan Beringan, maka kawasan hutan Beringan pun dalam waktu relatif singkat telah berubah menjadi kawasan pemukiman dan pusat keramaian. Berbagai bangunan penting telah dibangun di arealnya, di antaranya Loji Kebon (Gedung Agung), Benteng Vredeburg, dan kemudian Pasar Gedhe.
Nama Beringharjo memang berkaitan erat dengan nama hutan Beringan. Nama “Bering” diambil dari nama Beringan, sedang nama  “harjo” mempunyai arti kawasana yang indah, nyaman, tenteram dan bersih. Jadi Beringharjo bisa diartikan sebagai suatu wilayah di hutan Beringan yang indah, nyaman, tenteram dan bersih. 
                                                                                     (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)
Foto: jogjalogica

Jumat, 03 Januari 2014

KISI-KISI UAS FOTOGRAFI JURNALISTIK 2013



                  KISI-KISI UAS FOTOGRAFI JURNALISTIK 2013

1.      Di dalam kerja jurnalistik dikenal ada enam sifat foto jurnalistik (foto berita). Keenam sifat yang dimiliki foto jurnalistik itu, meliputi: mudah dibuat, akurat, universal, visual, kompak dan selalu aktual.

2.      Mudah dibuat – Teknologi fotografi yang terus berkembang dari masa ke masa, membuat proses pembuatan foto menjadi sesuatu yang mudah. Terlebih dengan teknologi digital, sebuah karya foto sekarang sudah bisa dibuat hanya dalam hitungan menit.

Akurat – Dalam bentuk aslinya (bukan rekayasa), foto selalu akurat, dan tidak bisa berbohong. Selembar foto merekam suatu peristiwa secara apa adanya.

Universal – Bahasa foto adalah bahasa yang universal. Bahasa yang bisa diterima dan dipahami oleh manusia di belahan dunia mana pun. Secara visual, selembar foto akan menginformasikan suatu berita atau peristiwa, dengan bahasa yang akan dimengerti oleh bangsa atau etnis apa pun.

Visual – Bahasa foto adalah bahasa visual. Bahasa visual, bahasa yang bisa dimengerti dan dipahami oleh siapa pun. Artinya, bahasa visual yang disampaikan selembar foto akan bisa ‘dibaca’, dimengerti dan dipahami oleh orang yang bisa membaca sampai ke orang yang tidak bisa membaca sekali pun.

Kompak – Ketika suatu peristiwa terekam di dalam berbagai lembar foto secara berurutan, urutan foto-foto itu tetap menyampaikan informasinya secara kompak. Informasi yang disampaikan foto-foto secara berurutan itu akan semakin memperjelas pengertian dan pemahaman orang yang melihatnya. Karena informasi itu hadir secara kompak, berurutan dan teratur.

Selalu aktual – Foto memiliki nilai informasi yang selalu aktual. Artinya, nilai informasi dan daya pesona yang dimiliki selembar foto akan senantiasa aktual atau ‘baru’ sampai kapan pun. Berbeda dengan nilai informasi dan daya pesona suatu berita (berita tulis) yang memiliki batas waktu tertentu, nilai informasi dan daya pesona foto memiliki batas waktu yang panjang.

3.      Di dalam kerja jurnalistik selama ini, dikenal ada tujuh jenis atau ragam foto jurnalistik. Ketujuh jenis foto jurnalistik itu meliputi: foto berita (spot news), foto human interest, foto essay,  foto cerita, foto humor, foto feature, dan foto olahraga.

4.      Foto berita (spot news) – Foto berita adalah suatu foto yang menyajikan atau menyampaikan informasi mengenai satu peristiwa yang berdiri sendiri. Misalnya, foto tentang tabrakan di jalan rata atau kecelakaan lalulintas, dengan cepat dipahami bahwa telah terjadi suatu peristiwa tabrakan atau kecelakaan. Informasinya akan menjadi lebih jelas dengan tambahan keterangan pada keterangan gambarnya.

5.   Foto human interest adalah foto yang menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan daya tarik manusiawi, atau foto yang berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Foto human interest adalah foto yang mampu menggugah emosi kemanusiaan kita yang melihatnya.
Foto human interest memiliki daya tarik yang berbeda dengan foto-foto jurnalistik
lainnya.
Daya tariknya meliputi:
1.      Mampu bercerita mengenai keadaan manusia, dengan pesonanya.
2.      Mampu bercerita atau berkisah banyak dibanding berlembar-lembar
      halaman tulisan.
3.       Mampu menggugah emosi atau memiliki kemampuan untuk
4.       mempengaruhi perasaan dan pikiran (mampu mengembangkan imajinasi).

5.      Foto cerita – Foto cerita memiliki kesamaan dengan foto essay. Hanya bedanya, foto cerita yang hadir secara berangkai, tidak menghadirkan suatu informasi yang harus dibahas, dianalisa, dikaji atau diperdebatkan oleh pembaca yang melihatnya. Foto cerita hanya menyampaikan informasi secara apa adanya. Dan, foto cerita harus selalu faktual.

6.      Foto feature – Foto feature adalah foto tunggal yang tidak sekadar memiliki nilai informasi, tapi juga menyampaikan suatu gagasan berharga pada orang yang melihatnya.  Sekalipun hadir tunggal, foto feature bisa menghadirkan beragam penafsiran. Misalnya, foto tentang seseorang yang baru bebas dari menjalani hukuman di LP. Ekspresi orang yang baru bebas dari LP itu bisa dijadikan foto feature yang menarik.

7.      KOMPOSISI adalah penempatan posisi objek pada bidang pemotretan, sehingga menjadi pusat perhatian. Dengan demikian, komposisi menuntun mata kita menuju titik perhatian yang menyatukan objek foto secara keseluruhan.
•    KOMPOSISI secara sederhana dapat diartikan sebagai cara menata elemen-elemen atau unsur-unsur dalam gambar. Elemen-elemen itu meliputi sudut pemotretan, sepertiga bagian, pola, garis, warna, bingkai, latar belakang, dan latar depan.

8.      Sepertiga bagian merupakan salah satu unsur dalam komposisi.
Dalam fotografi, suatu bidang di dalam pandangan kamera dibagi menjadi sembilan bagian yang sama. Komposisi yang baik adalah bila objek ditempatkan pada duapertiga bagian bidang tersebut. Sedang sepertiga bidang lainnya dikosongkan.

9.      Garis juga merupakan salah satu unsur komposisi.
Dalam pemotretan di luar ruangan (alam bebas), garis menjadi pusat perhatian objek foto. Objek pemotretan yang bisa digunakan sebagai elemen garis antara lain pagar, pohon, garis atap rumah, jalanan dan lain-lainnya.
Elemen garis pada komposisi, sebaiknya diletakkan pada sepertiga bagian bidang pemotretan. Dan, elemen garis dapat membuat keseluruhan komposisi menjadi lebih dinamis, seimbang atau mendukung objek foto.

10.  Warna juga merupakan salah satu unsur komposisi.
Warna merupakan kekuatan foto. Melalui warna, mata akan mudah menangkap sesuatu pesan yang disampaikan oleh foto itu. Warna juga menciptakan kesan tertentu.
Warna cerah atau terang, seperti merah dan kuning, akan menarik perhatian orang dan memberikan kesan kegembiraan, semangat dan keberanian. Warna putih mengesankan kelembutan, kesucian dan kasih sayang. Warna-warna muda seperti pink, biru muda dan toska, memberikan kesan kelembutan dan ketenangan.
Untuk menjadi kekuatan foto, maka rencanakan perpaduan warna seluruh unsur-unsur pemotretan, baik objek maupun latar belakang atau latar depan, khususnya dalam pemotretan profil, busana (fashion), properti dan latar belakang.  

                                                               (SEA)

KISI-KISI UAS SINEMATOGRAFI - 2013



              KISI-KISI UAS SINEMATOGRAFI - 2013

                  1. Film cerita mempunyai berbagai jenis atau genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu.
Jenis-jenis film tersebut ada yang disebut jenis film drama, film horror, film perang, film musical, film koboi, film sejarah, film komedi, dan film fiksi ilmiah. Meskipun begitu penggolongan jenis film tidaklah kaku atau ketat. Sebab sebuah film dapat saja dimasukkan ke dalam beberapa jenis.

2.       Film pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam dua jenis atau kategori. Pertama, film cerita (film fiksi). Kedua, film noncerita (film nonfiksi).
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh actor dan aktris.
Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
Sedangkan film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.

3. Seperti halnya film cerita, film noncerita kini juga bias dikategorikan dalam berbagai jenis. Tetapi pada awalnya film noncerita hanya dikenal punya dua jenis, yakni film faktual dan film documenter.
Film faktual adalah suatu jenis film noncerita yang pada umumnya menyajikan fakta. Sekarang film faktual dapat dilihat dalam bentuk film berita (news reel) dan film dokumentasi.
Film berita meletakkan titik berat penyajiannya pada segi pemberitaan suatu peristiwa atau kejadian yang faktual. Contoh film berita dewasa ini dapat kita saksikan di tayangan-tayangan berita dalam siaran televise. Film berita ditayangkan setelah terlebih dulu melalui proses pengolahan.
Sedangkan film dokumentasi adalah film faktual yang hanya merekam suatu peristiwa atau kejadian tanpa melalui proses pengolahan lagi. Film dokumentasi merekam peristiwa dengan apa adanya. Contoh film dokumentasi ini misalnya dokumentasi mengenai kejadian perang, dan dokumentasi upacara kenegaraan.

4.. Film dokumenter adalah film noncerita yang selain mempunyai unsur fakta tetapi juga mengandung unsur subyektifitas pembuatnya. Subyektifitas di dalam film dokumenter merupakan pendapat, pandangan, sikap atau opini terhadap peristiwa yang direkam.
Dengan demikian peran pembuatnya (produser/sutradara) memiliki arti penting bagi keberadaan serta keberhasilan proses pembuatan film dokumenter. Dalam film dokumenter, faktor manusia (pembuat) mempunyai peran yang besar dan penting. Sebab persepsi tentang suatu kenyataan atau realitas yang ada sangat bergantung pada pembuatnya.

5. Film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, sedang film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.

6. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.

7.      Film merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.

8.      Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.

9.      Film mempunyai tiga nilai penting ketika dihadirkan sebagai ‘tontonan’ ke publik atau masyarakat luas. Ketiga nilai itu adalah nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan kepada publik yang menontonnya. Film yang baik tentunya film yang memiliki ketiga nilai penting tersebut. Seandainya ada film yang hanya menampilkan nilai menghibur semata, tapi mengabaikan nilai mendidik dan nilai artistiknya, tentunya film tersebut tidak layak disebut sebagai film yang baik.

10. Nilai hiburan (menghibur) sangat penting. Suatu film bisa dikategorikan sebagai film yang gagal atau tidak berhasil bila sejak awal hingga akhir tayangannya tidak mampu mengikat atau menarik perhatian penonton.
Nilai menghibur suatu film tidak hanya sekadar membuat orang bahagia, senang, tertawa, tegang, bahkan bergairah dalam menikmati sensasi gambar atau adegan demi adegan di dalam film tersebut. Sebab, sesungguhnya hiburan yang lebih dalam tertuju kepada pikiran maupun emosi penontonnya. Film dengan hiburan seperti itu biasanya memberikan semacam renungan kepada penonton.
                                                                                            (SEA)