Rabu, 10 Juli 2013

           Lereng Sunyi Merapi
            Cerpen: Sutirman Eka Ardhana
                                                     
(1)
            MALAM baru saja turun. Tapi kesunyian sudah menelan desa di lereng Merapi itu. Dari ujung desa, dua ekor burung gagak terbang beriringan dan meneriakkan suaranya yang menyibak sunyi malam. Oak! Oak! Oak!
            Dua ekor burung gagak itu kemudian melintas di atas rumah-rumah penduduk sambil terus berteriak-teriak – Oak! Oak! Oak! – lalu hinggap secara bersamaan di sebuah pohon besar di depan rumah. Meski sudah bertengger di sebuah dahan, keduanya masih saja mengepak-ngepakkan sayapnya sambil tetap berteriak – Oak! Oak! Oak! Sepertinya ada yang ingin dikabarkan oleh kedua burung gagak itu kepada warga desa yang sejak petang sudah mengurung diri di dalam rumah.
Sejak malam turun, jalanan desa yang kiri-kanannya dipenuhi rimbun pepohonan itu dipagut sepi. Tidak seorang warga pun ada di jalanan. Entah mengapa, dalam beberapa hari terakhir, semua warga desa seakan sepakat bila sehabis mahgrib tidak lagi berada di jalanan atau di luar rumah. Mereka seakan-akan sedang berjaga-jaga di dalam rumah dengan penuh kecemasan.
            Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak di langit malam. Teriakan nyaringnya mencemaskan empat orang lelaki yang sedang berkumpul di sebuah rumah. Keempat lelaki itu bertetangga. Rumah-rumah mereka saling berdekatan. Dan, keempatnya berkumpul di rumah Parmo, yang paling tua di antara mereka.
            “Burung-burung gagak itu datang lagi. Berteriak-teriak lagi,” kata salah seorang yang bertubuh tinggi dan berkumis.
            “Ya, suara-suara gagak itu membuat aku jadi cemas,” ujar si pemilik rumah, Parmo.
“Jangan-jangan akan ada ……….., ah aku tak bisa meneruskannya. Aku ngeri. Aku takut untuk mengatakannya. Aku khawatir apa yang akan kukatakan itu nanti benar-benar terjadi. Ah, aku tak ingin lagi itu terjadi. Cukuplah …. Ya cukuplah sudah …….,” timpal salah seorang di antaranya yang berbadan kurus.
“Beberapa waktu lalu, ketika ada burung gagak berteriak-teriak seperti itu, sehari kemudian ada dua orang yang terbunuh di desa ini. Mereka adalah para pencuri sapi yang kepergok warga desa. Mereka diamuk, dan tewas,” kata seorang lagi yang berbadan gempal. “Malam ini burung-burung gagak itu datang lagi. Entah kabar buruk apa yang disampaikannya,” tambahnya.
Oak! Oak! Oak! Teriakan burung-burung gagak itu membahana lagi membelah malam. Suaranya semakin nyaring. Semakin keras. Semakin panjang.
“Sepertinya burung-burung itu hinggap di pohon rumah sebelah,” ujar Parmo.
“Rumah Pak Kasan, maksudmu?” tanya yang kurus.
“Ya. Cobalah dengar baik-baik, suara burung-burung gagak itu menjerit-jerit di depan rumah sebelah. Itu pasti di pohon rambutan depan rumah. Suaranya begitu nyaring. Begitu dekat.”
Oak! Oak! Oak! Terdengar pula suara ranting pohon yang jatuh. Sebatang ranting kering yang sudah lama rapuh patah, tak kuat menahan pijakan burung-burung gagak itu.
“Ah, kalau saja aku punya senapan, sudah kutembak burung-burung sial itu,” suara si kurus bernada geram.
“Heh, kenapa pula? Apa salahnya gagak-gagak itu hingga mau kau tembak?” lelaki tinggi dan berkumis terpancing pula untuk bertanya.
“Gagak-gagak itu pembawa bencana. Kalau dia datang dan berteriak-teriak malam-malam seperti ini, pasti akan ada bencana di desa kita. Akan ada jiwa yang melayang. Akan ada yang mati lagi. Besok entah siapa lagi yang mati?”
“Itu bukan salahnya gagak. Justru sebaliknya kita harus berterimakasih kepada gagak-gagak itu. Karena dia sudah memberitahu kita lebih dulu tentang akan adanya bahaya, adanya bencana, atau kematian. Dengan pertanda yang diberikan gagak-gagak itu, kita bisa berjaga-jaga dan bersiap-siap lebih dulu. Jadi, jangan salahkan gagak. Burung-burung itu tak bersalah dan tidak membawa bencana. Pembawa dan penyebab bencana itu biasanya ya manusia sendiri,” kata Parmo serius.
Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak.

(2)
Akan halnya di rumah Pak Kasan, Narti kembali membaca isi pesan singkat di telepon selularnya – Minggu dpn aku akn plang ke yogya. Aku pasti ke rumahmu. Aku ingin sekali mmandang Merapi yang indah itu lagi bsamamu. Tunggu, ya. – Wahyu.
Sejak diterimanya petang hari, setidaknya lebih dari enam kali sms dari Wahyu itu dibacanya. Hatinya berbinar-binar. Gembira. Betapa tidak, minggu depan ia akan bertemu lagi dengan Wahyu, pemuda sedesanya yang merantau ke Jakarta, dan yang selama ini diyakininya dengan sepenuh hati sebagai satu-satunya lelaki pujaan.
Pertemuannya yang terakhir dengan Wahyu terjadi enam bulan lalu. Dan, Narti ingat, sederetan kata-kata Wahyu ketika itu, yang diucapkan ketika mereka berdua duduk di pinggiran sungai, sambil memandang ke puncak Merapi yang mempesona. “Jika aku nanti pulang lagi ke desa, sudah kubulatkan tekad, bahwa aku tak akan ingin berjauhan lagi denganmu. Aku akan selalu berada di dekatmu,” ini kata-kata Wahyu saat itu.
“Maksudmu?” Narti ingat, tanya inilah yang spontan dilontarnya sore itu.
“Ya, maksudnya, kita akan selalu bersama. Berdua. Aku akan melamarmu. Lalu kita menikah. Akan kita jalani kehidupan ini bersama. Pendek kata, aku ingin sehidup dan semati denganmu. Kau bersedia kan, Nar?”
Narti tersenyum sendiri. Lalu, ia pun membayangkan saat-saat mendebarkan itu. Wahyu dan keluarganya datang ke rumahnya melamar, kemudian mereka menikah, duduk berdua di pelaminan, disaksikan sanak keluarga, kawan-kawan, para tetangga dan handai-tolan  lainnya. Ah, kebahagiaan yang tiada tara!
Narti melangkah ke jendela, lalu dibukanya jendela itu sedikit. Dipandangnya malam di luar rumah. Malam seperti dipeluk kelam. Cahaya lampu listrik di depan rumah yang hanya 25 watt tak mampu melawan kegelapan. Tapi dengan cahaya yang tipis itu ia sempat melihat awan hitam seakan bergerombol tebal di pucuk-pucuk pepohonan.

(3)
Wahyu gelisah membaca berita di koran-koran dan menonton tayangan berita di televisi bahwa Gunung Merapi beraksi lagi. Mulai meletus lagi! Dan, melontarkan awan panas! Ia pun sontak teringat desanya di lereng Merapi. Teringat kedua orangtuanya, adik-adiknya dan kerabatnya. Juga, Narti!
Tak ada pilihan lain. Selain secepatnya pulang ke Yogya. Hari itu juga ia minta izin di tempat kerjanya, lalu ke stasiun kereta api, naik kereta api apa pun yang paling awal bisa membawanya pulang ke Yogya.
Wahyu naik kereta api jurusan Jakarta – Surabaya yang berhenti di Yogya. Tengah malam ia sampai di Yogya. Lalu, sepedamotor ojek membawanya menembus dingin malam menuju desanya. Semula pengemudi ojek agak keberatan membawanya ke desa di lereng Merapi itu, tapi setelah disodori ongkos yang berlipat, pengemudi ojek itu pun mengangguk.
Ketika memasuki desa, kedatangannya disambut dengan suara nyaring burung-burung gagak – Oak! Oak! Oak!
(4)
KEESOKAN harinya stasiun-stasiun televisi sibuk memberitakan sebuah desa di lereng Merapi, yang terletak di pinggiran sungai diterjang awan panas yang dimuntahkan Gunung Merapi pada dini hari. Sejumlah warga desa itu ditemukan tewas.  
Keesokan harinya lagi, tim evakuasi yang terdiri para relawan, anggota TNI dan Polri menemukan mayat Parmo tergeletak di depan rumahnya. Di sebelah rumah Parmo, tim evakuasi menemukan mayat seorang gadis tergeletak di depan pintu rumah. Dari dalam dompet di saku celana panjang yang dikenakannya ditemukan KTP atas nama Sunarti, usia 23 tahun. Kemudian di dalam rumah, ditemukan jasad lelaki tua berdampingan dengan perempuann tua. Sementara di depan rumah, tak sampai empat meter dari depan pintu, ditemukan pula seorang lelaki muda tergeletak tak bernyawa.
Desa di lereng Merapi itu sunyi, bagaikan desa mati. Burung gagak pun pergi.
                                                                                 Yogya, November 2010

    (Harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Minggu, 14 November 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar