Selasa, 16 Juli 2013

SENYUM DAN SEPOTONG SENJA Cerpen : Sutirman Eka Ardhana

SENYUM DAN SEPOTONG SENJA

Cerpen : Sutirman Eka Ardhana
AKU menunggumu di pinggir jalan. Sendiri. Menunggumu lewat sambil memandang semburat senja yang akan tenggelam di balik kota. Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, kaulewat di jalan ini, ketika senja mulai temaram.
Sudah empat hari aku di kota ini setelah 40 tahun kutinggalkan. Ya, sudah empat hari pula aku menghirup udaranya kembali. Sudah empat hari pula aku berdiri di pinggir jalan ini, setiap senja tiba. Dan, sudah empat kali senja pula aku melihat kaulewat di jalan ini.
Setiap kali lewat, engkau tersenyum. Senyummu itu dahsyat sekali. Aku tergagap. Terkesiap. Betapa tidak. Senyum itu, ya, senyummu itu, seperti lontaran senyum yang datang dari masa lalu. Senyum yang dulu pernah kukenal. Bahkan sangat kukenal. Tapi senyum siapa? Bukankah teramat banyak senyum yang kukenal? Ya, teramat banyak senyum yang hadir dalam perjalanan hidupku.
Sudah tiga malam ini, senyummu itu mengaduk-aduk perasaanku. Mengaduk-aduk kenanganku. Entah mengapa senyummu itu seakan telah membawaku jauh ke lorong kerinduan yang tak bertepi. Ke lorong masa lalu yang samar, tapi pasti.
Hampir dua jam lebih aku menunggu. Tapi kau belum juga datang. Belum juga lewat. Padahal senja sebentar lagi tenggelam. Sebentar lagi cahaya semburatnya yang indah dan mempesona itu hilang ditelan malam. Dan, bila malam telah turun, cahaya lampu listrik di pinggir jalan itu tak akan mampu membantu pandangan mataku untuk melihat senyummu. Melihat senyum yang kutunggu-tunggu itu.
Aku ingat, ketika kaulewat di senja kemarin. Dari jarak yang masih beberapa meter, senyummu sudah tersembul. Senyummu itu sempat membuatku terpana beberapa saat. Kalau saja kau tak bertanya, aku pasti hanyut bermenit-menit dalam keterpanaan itu.
“Mari, Pak. Mau pilih apa? Pisang goreng, ketela goreng atau lainnya? Bakwan dan nogosari juga ada lho, Pak,” rentetan kata dan tanyamu di senja kemarin.
Engkau pun lalu menurunkan keranjang bakul dari gendongan di punggungmu. Di bagian atas keranjang bakul itu terdapat sebuah baskom. Baskom itu berisi penuh makanan yang kau jajakan. Ada pisang goreng, ketela goreng, bakwan, nogosari, kueh lapis, donat dan banyak lainnya lagi.
Andaikan kaulewat, dan tersenyum lagi seperti kemarin, mungkin, ya mungkin saja aku akan dapat mengingat-ingat kembali siapa sebenarnya pemilik senyum itu. Rasanya dulu, aku begitu sangat mengenalnya. Begitu dekat dengannya. Sepertinya senyum itu sudah kukenal sejak empatpuluh tahun lebih yang lalu. Sejak aku masih duduk di bangku SMA, di kota ini.
Apakah itu senyum yang dulu dimiliki Astuti, adik kelasku yang matanya selalu menggoda? Atau senyum Antin? Mirna? Dahlia? Atau jangan-jangan itu senyum miliknya Miyanti? Ya, Miyanti, kembang di kelasku itu. Miyanti yang dulu kucintai habis-habisan. Kucintai sampai babak-belur. Aku ingat, siang itu ketika pulang sekolah bersama Miyanti, empat lelaki muda mencegatku. Tanpa bertanya sepatah kata pun, mereka langsung menghajarku. Tak pelak lagi, akibatnya wajahku biru lebam dan badanku babak-belur.
Tiga hari kemudian baru aku tahu jika empat lelaki yang menghajarku itu adalah suruhan tunangannya Miyanti. Ternyata oleh orangtuanya, Miyanti sudah ditunangkan dengan pemuda tetangganya. Tapi ia tak pernah mengatakannya kepadaku. Tak pernah menceritakan perihal tunangannya itu.
Dan, sehari setelah peristiwa itu, Miyanti tak pernah lagi datang ke sekolah. Beberapa minggu kemudian tersiar kabar di sekolah, bila ia sudah resmi keluar dari sekolah karena dinikahkan oleh orangtuanya dengan pemuda tunangannya itu.
Dalam usiaku yang sekarang ini ternyata bukan persoalan yang mudah juga untuk mencoba membongkar-bongkar kembali semua ingatan atau kenangan tentang senyum-senyum yang dulu pernah kuterima. Terus terang memang teramat banyak senyum yang kuterima. Senyum yang berarti. Senyum yang berkesan dalam hidupku. Dan, salah satu yang berarti serta penuh kesan dalam hidupku itu adalah senyum seperti yang dimiliki Miyanti. Seperti senyum yang ada padamu dan kauberikan kepadaku dalam beberapa kali senja itu.
Tapi kau tak datang juga. Tak kunjung lewat di jalan ini. Itu artinya, senyummu tak akan kutemui. Senja menjadi terasa hambar. Semburat cahayanya menjadi buram, tak seindah senja-senja yang kemarin.
Aku kecewa. Sambil bersandar pada pohon rindang di pinggir jalan, kupandangi senja yang mulai tenggelam dan hilang di balik kota. Pandanganku hampa.
“Sedang menunggu siapa, Pak?” sebuah tanya mengejutkanku.
Seorang lelaki muda telah berdiri di sampingku. Aku ingat, lelaki muda ini adalah pekerja di hotel tempatku menginap, yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari pinggir jalan tempatku menunggumu.
“Sudah beberapa senja ini saya melihat Bapak selalu di sini, seperti sedang menunggu seseorang. Siapa yang ditunggu, Pak?” tanyanya lagi.
“Saya sedang menunggu perempuan penjual makanan yang setiap menjelang senja itu lewat di sini,” jawabku apa adanya.
“Perempuan yang menjual pisang goreng, ketela goreng dan lainnya itu? Yang membawa dagangannya dengan keranjang bakul di gendongannya itu?” lelaki muda itu balik bertanya.
“Ya…, ya itu. Perempuan itu yang saya tunggu,” kataku spontan.
“Ooo…menunggu Bu Miyanti, tho?”
Aku terkesiap.
“Siapa? Miyanti!? Perempuan itu bernama Miyanti? Betul, dia bernama Miyanti!?” tanya beruntun pun tak mampu kutahan.
“Ya betul, Pak. Perempuan penjual makanan itu bernama Bu Miyanti. Saya sangat mengenalnya, karena dia tetangga saya. Tapi…..,” kata-kata lelaki muda itu seperti terputus.
“Tapi .., kenapa?” tanyaku tak sabar.
“Dia tak akan lewat di jalan ini lagi, Pak.”
“Lho, kenapa?” tanyaku terkejut. Ya, aku memang terkejut dengan kata-kata itu.
“Dia sudah meninggal dunia, Pak. Semalam, dalam perjalanan pulang sehabis menjajakan dagangannya, ia tertabrak sepedamotor. Lukanya parah sekali. Beberapa jam di rumah sakit, ia pun meninggal dunia. Dan, siang tadi, jenazahnya telah dimakamkan,” kata lelaki muda itu lagi, seraya kemudian pamit untuk bergegas ke hotel.
Betapa tak berdayanya aku setelah itu. Tubuhku lemas, tersandar di pepohonan. Lunglai. Senja pun menjadi buram.
Yogya, Januari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar