Selasa, 21 Oktober 2014

Sinematografi (5) - NILAI DAN TEMA FILM



NILAI DAN TEMA FILM

Nilai Film
            FILM mempunyai tiga nilai penting ketika dihadirkan sebagai ‘tontonan’ ke publik atau masyarakat luas. Ketiga nilai itu adalah nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan kepada publik yang menontonnya. Film yang baik tentunya film yang memiliki ketiga nilai penting tersebut. Seandainya ada film yang hanya menampilkan nilai menghibur semata, tapi mengabaikan nilai mendidik dan nilai artistiknya, tentunya film tersebut tidak layak disebut sebagai film yang baik.

Nilai Hiburan
Nilai hiburan (menghibur) sangat penting. Suatu film bisa dikategorikan sebagai film yang gagal atau tidak berhasil bila sejak awal hingga akhir tayangannya tidak mampu mengikat atau menarik perhatian penonton.
Nilai menghibur suatu film tidak hanya sekadar membuat orang bahagia, senang, tertawa, tegang, bahkan bergairah dalam menikmati sensasi gambar atau adegan demi adegan di dalam film tersebut. Sebab, sesungguhnya hiburan yang lebih dalam tertuju kepada pikiran maupun emosi penontonnya. Film dengan hiburan seperti itu biasanya memberikan semacam renungan kepada penonton.

Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan suatu film bermakna semacam pesan-pesan moral yang disampaikan kepada penonton. Akan tetapi, pesan-pesan moral yang disampaikan di dalam alur cerita film tersebut tidak sampai menimbulkan kesan yang menggurui. Kebanyakan penonton tidak suka kepada film cerita yang terkesan terlalu menggurui. Karena hal itu akan menyebabkan penonton merasa diposisikan sebagai pihak yang ‘tidak tahu apa-apa’ dan harus diberi pengetahuan.
Hampir semua film telah mengajari atau memberitahu kita tentang sesuatu yang berarti bagi kehidupan manusia. Misalnya, suatu film telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada kita tentang bagaimana bergaul dengan orang lain, bertingkah laku serta berinteraksi dalam kehidupan yang beragam dan plural.
Karena itulah, film yang baik adalah film yang dapat meneguhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Film yang baik adalah juga film yang mampu memberikan pencerahan sekaligus pemahaman kepada publik penontonnya tentang bagaimana pentingnya membangun diri. Pembangunan diri itu misalnya meninggalkan perilaku yang negatif dan menggantikannya dengan perilaku yang positif.

Nilai Artistik
Nilai artistik suatu film akan terwujud apabila keartistikannya dapat ditemukan pada seluruh unsurnya.
Pada dasarnya setiap manusia pasti menyukai hal-hal yang indah, menarik dan mempesona. Kecenderungan sifat manusia yang seperti itu tentu harus selalu diperhatikan oleh para pembuat film, bila ingin film yang diproduksi tersebut mendapat sambutan yang semestinya oleh publik penonton.
Nilai-nilai yang indah, menarik dan mempesona itu tidak hanya diperoleh dari tayangan yang menampilkan lingkungan kehidupan orang-orang kaya dengan rumah mewah, kendaraan mewah, baju-baju yang gemerlap, serta kehidupan yang serba menyenangkan. Nilai-nilai keindahan itu juga tidak hanya ada pada tayangan yang menampilkan suatu pantai indah, gunung yang hijau mempesona, atau pun taman bunga yang dipenuhi bunga warna-warni.
Penata artistik yang profesional tentu bisa menghadirkan keindahan dari beragam sudut kehidupan. Keindahan dapat ditemukan dari tampilan suatu lokasi pemukiman masyarakat miskin, dari lokasi-lokasi kumuh, dari rumah-rumah yang hanya berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu, maupun dari kehidupan di kolong jembatan yang ada di kota-kota besar. Dengan kata lain, keindahan atau nilai artistik bisa dihadirkan di lokasi manapun atau dalam warna kehidupan seperti apapun.
Dan, suatu film sebaiknya memang harus dinilai secara artistik, bukan dinilai secara rasional.
***

Ketiga nilai tersebut sangat penting artinya bagi suatu film dalam berkomunikasi dengan penonton. Terlebih film memang merupakan suatu bentuk media komunikasi. Artinya, pembuat film ditantang untuk mampu menghasilkan suatu karya film yang bisa berkomunikasi dengan publik penonton. Dengan demikian, apabila suatu film yang diproduksi itu tidak mampu berkomunikasi dengan publik penonton, maka film tersebut gagal untuk disebut sebagai film yang baik dan berhasil.
Sebaik-baiknya sebuah film, tetap dapat dipertanyakan apakah film tersebut akan dapat berkomunikasi dengan publik, baik secara terbatas (tertentu) maupun seluas-luasnya.
***


                           Film "Sang Kiai" merupakan film yang tokohnya dijadikan sebagai tema film. (ft: tribunnews.com)


Tema Film
DARI semua hal atau unsur yang ada di dalam film, tema memiliki fungsi sebagai faktor dasar pemersatu sebuah film dalam upaya untuk menghadirkan jalinan komunikasi dengan penonton.
Akan tetapi, bagi penonton yang ingin menjadi pengamat atau penganalisa film, menemukan tema pada sebuah film bukanlah hal yang mudah.
Sesungguhnya, menurut Joseph M. Boggs dalam “The Art of Watchinf Film” (Cara Menilai Sebuah Film – terjemahan Asrul Sani), tema film dapat ditemukan pada plot, efek emosional, tokoh dan ide film.

Plot sebagai tema
Tema dapat kita temukan di dalam plot film. Misalnya, pada jenis film petualangan, detektif, dan lain-lainnya. Di dalam film-film jenis ini, tokoh-tokoh, ide dan efek emosional film ditentukan oleh plot.
Hal terpenting bagi sebuah film adalah hasil akhirnya. Tetapi bagi film-film jenis tersebut, inti atau tema film hanya bisa dirangkum dengan baik dalam sebuah ringkasan pendek dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Efek emosional atau suasana sebagai tema
Sebagian besar film menggunakan suasana (mood) yang sangat khusus sekali atau efek emosional sebagai fokus (landasan structural).
Dalam film-film jenis ini, sekalipun mungkin plot memainkan peran penting, namun rentetan peristiwa-peristiwa itu sendiri ditentukan oleh reaksi emosional yang bisa disebabkan oleh peristiwa-peristiwa itu sendiri.
Hal ini dapat kita temukan pada film-film horror atau misteri.

Tokoh sebagai tema
Tidak sedikit film yang berpusat pada penggambaran suatu tokoh tunggal yang unik melalui akting (laku) dan dialog.
Daya tarik dari tokoh-tokoh ini terkandung dalam keunikan mereka, serta dalam sifat-sifat dan ciri-ciri yang membedakan mereka dari orang-orang biasa.
Tema film-film ini dapat ditemukan dengan baik dalam pembeberan singkat dari tokoh-tokoh dengan memberikan penekanan pada aspek-aspek luar biasa dari kepribadian tokoh tersebut.

Ide sebagai tema
Suatu tema ide tentu saja dapat dikemukakan secara langsung melalui peristiwa-peristiwa tertentu atau tokoh-tokoh tertentu, akan tetapi seringkali tema itu tampil secara tidak langsung setelah kita menemukan penafsirannya.
Identifikasi subyek sebenarnya dari sebuah film adalah langkah yang sangat berarti dalam menganalisa film tersebut.
***
Tetapi kita dapat juga menemukan tema-tema itu dalam hal-hal sebagai berikut:
1.      Tema sebagai sebuah pernyataan moral
Film-film seperti ini terutama dimaksudkan untuk meyakinkan kita tentang kebijaksanaan atau kepraktisan prinsip moral tertentu, dan dengan demikian mengajak kita untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam tingkah laku kita.
2.      Tema sebagai suatu pernyataan tentang hidup
Film-film seperti ini memfokuskan diri pada penunjukan suatu “kebenaran tentang hidup”. Dengan berbuat demikian, film-film menumbuhkan suatu kesadaran realitas yang lebih tajam.
Film seperti ini memberikan komentar tentang fitrah pengalaman manusia atau penilaian tentang keadaan manusia.

3.      Tema sebagai pernyataan tentang sifat manusia
Film-film seperti ini memfokuskan pada diri tokoh-tokoh universal atau representatif. Film-film ini berkembang melampaui batas-batas telaah watak semata, karena tokoh-tokoh yang digambarkan mempunyai arti lebih besar dari diri mereka sendiri.
Karena tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh yang mewakili manusia secara umum, maka mereka digunakan sebagai tumpangan sinematik untuk memberikan illustrasi mengenai beberapa kebenaran tentang sifat-sifat manusia yang diterima secara luas atau secara universal.
4.      Tema sebagai komentar sosial
Film-film seperti ini menaruh perhatian besar pada masalah-masalah sosial. Karenanya di dalam film-film ini ada ungkapan-ungkapan kritik sosial dan keinginan untuk adanya suatu perubahan sosial pada masyarakat.
5.      Tema sebagai teka-teki moral atau falsafi
Film-film seperti ini secara sengaja dibuat dengan tidak ada upaya untuk berkomunikasi secara jelas kepada penontonnya, tetapi hanya berusaha memberi kesan atau memistifikasikan.
Film-film ini lebih cenderung membeberkan atau menghadirkan pertanyaan-pertanyaan atau filsafat dari pada memberikan jawaban-jawabannya.
Film-film jenis ini berkomunikasi melalui lambang-lambang atau citra-citra. Sehingga untuk kepentingan sebuah penafsiran diperlukan analisa yang seksama dari semua unsur-unsurnya.  ***  (Sutirman Eka Ardhana)

Sinematografi (4) - UNSUR-UNSUR DALAM FILM



UNSUR-UNSUR DALAM FILM

            FILM merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.
Biasanya di dalam tim kerja produksi film masing-masing unsur tersebut terbagi dalam departemen-departemen yang disiapkan. Departemen-departemen yang ada di dalam tim kerja film itu meliputi: Departemen Produksi, Departemen Penyutradaraan, Departemen Kamera, Departemen Artistik, Departemen Editing dan Departemen Suara.

Produser
Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film.
Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi film. Dalam kaitan penyediaan naskah, produser bisa mencarinya atau mendapatkan melalui berbagai cara. Misalnya mencari naskah cerita dari penulis, mengambil dari novel, meminta seorang penulis untuk menulisnya, dan sejumlah cara lainnya lagi.
Di dalam tim kerja produksi film, produser biasanya sekaligus memimpin Departemen Produksi.


                     Sutradara Hanung Bramantyo ketika menggarap film Soekarno. (ft:www.tribunnews.com)

Sutradara
Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.

Penulis Skenario
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu.
Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanannya lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya.
Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.
Di dalam menulis naskah skenario, seorang penulis skenario haruslah benar-benar memahami atau menguasai bahasa film. Bahasa film merupakan sarana-sarana yang digunakan dalam menyampaikan pesan cerita atau segala sesuatu yang ada di dalam film itu kepada publik penontonnya. Sarana-sarana yang merupakan bahasa film itu meliputi gambar, space (jangka waktu) dan sound.
Namunpun begitu, kemampuan menguasai bahasa film bukanlah satu-satunya syarat yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Syarat penting lainnya adalah memiliki kemampuan menjadi seorang penulis cerita.
Menurut Prof. Dr. RM. Soelarko, untuk menjadi penulis cerita yang baik diperlukan delapan persyaratan pokok. Ke delapan syarat pokok itu meliputi: penguasaan bahasa; penggunaan bahasa secara efektif; penggunaan logat yang didasarkan atas asal suku bangsa, umur (anak atau orangtua), kelas masyarakat; penggunaan gaya cerita yang mengikat; lukisan tipe dari figur-figur pemerannya; lukisan watak (karakterisasi) dari figure-figur; tingkah laku dan ucapan, yang dilandasi oleh watak pribadi; uraian tentang mood dan emosi figur-figur pemeran (lihat – Eddy D. Iskandar, Panduan Praktis Menulis Skenario, PT Remaja Rosdakarya, 1999).

Penata Kamera (Kameramen)
Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film.
Seperti halnya sutradara, kameramen juga mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu film yang diproduksi.
Film adalah serentetan gambar yang bergerak dengan atau tanpa suara, baik yang terekam pada film, video tape, video disc, atau media lainnya. Sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar.
Jadi, film menyampaikan ceritanya melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lainnya, dari satu emosi ke emosi lain, dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain.
Faktor utama dalam film adalah kemampuan gambar bercerita kepada publik penontonnya. Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera.
Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin Departemen Kamera.

Penata Artistik
Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi.
Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara, segera membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna.
Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tat arias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya.
Tugas penting penata artistik yang tidak bisa diabaikan termasuk menggoda atau menghadirkan khayal penonton ke suatu dunia yang indah, menarik dan fantastis.
Di dalam tim kerja produksi film, penata artistik memimpin Depertemen Artistik.

Penata Musik
Film dan musik merupakan dua hal yang memang seperti tidak bisa dipisahkan. Tidak jarang, film menjadi populer atau terkenal karena illustrasinya musiknya yang menarik.
Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film. Dengan kemampuannya maka ia akan mampu memilih musik yang tepat atau sesuai dengan alur cerita film.
Illustrasi musik akan membuat adegan-adegan atau dialog-dialog di dalam film semakin mampu berkomunikasi dan dihayati oleh penonton. Illustrasi musik akan semakin membuat perasaan penonton menjadi hanyut lebih dalam lagi dengan adegan-adegan film yang ditontonnya.

Editor
Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut.
Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar. Proses pengeditan dilakukan selain untuk membuang adegan-adegan yang tidak perlu, juga untuk menyesuaikan dengan space atau jangka waktu film yang sudah ditetapkan.
Meskipun bertanggungjawab sepenuhnya terhadap proses editing, tetapi dalam melaksanakan tugasnya editor tetap harus selalu menjalin komunikasi atau berkoordinasi dengan sutradara. Karena di benak seorang sutradara sejak awal sudah ada penilaian atau pilihan tentang adegan mana yang perlu dan mana yang tidak terlalu penting. Bagian yang tidak penting itulah yang nantinya akan disingkirkan oleh editor.
Sebelum masuk ke dalam laboratorium untuk proses akhir, film yang diproduksi itu harus terlebih dulu singgah ke meja editing.
Di dalam tim kerja film, editor memimpin Departemen Editing.

Pengisi dan Penata Suara
Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film.
Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film.
Di dalam tim kerja produksi film, penata suara memimpin Departemen Suara.

Bintang Film (Pemeran)
Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang ‘membintangi’ film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut.
Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. *** 
                                                                    (Sutirman Eka Ardhana)

Senin, 20 Oktober 2014

Sinematografi (3) - SEJARAH PERFILMAN INDONESIA



SEJARAH PERFILMAN INDONESIA

     PERJALANAN dan perkembangan dunia perfilman di tanah air kita menarik untuk disimak. Sesungguhnya sejarah pengenalan seni hiburan yang populer disebut film ini di Indonesia tidak berjarak terlalu jauh dengan yang berlangsung di Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan bangsa Indonesia (Hindia Belanda) lebih dulu mengenal dunia pertunjukan film dibandingkan dengan Italia.
Kemunculan atau kelahiran bioskop pertama di dunia terjadi pada 28 Desember 1895 di Paris. Ketika itu tempat yang dijadikan bioskop untuk memutar film tersebut adalah sebuah kafe di salah satu ruang bawah tanah. Budaya menonton film dengan membeli karcis atau tiket masuk diperkenalkan pada waktu yang sama. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop) bermunculan dan berkembang di Amerika Serikat. Kala itu tempat pemutaran film tersebut dikenal dengan sebutan nickelodeon.
 Lantas, kapan negeri kita mulai mengenal pertunjukan hiburan yang kemudian dikenal dengan nama film tersebut?
Di dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan hari Rebo tanggal 5 Desember 1900 terdapat iklan yang menginformasikan tentang adanya “pertoenjoekan besar jang pertama”. Sebagian dari isi iklan yang dipasang De Nederlandsche Bioscope Maatschappij itu menyatakan:
“Ini malem 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA dan
 teroes saban malem di dalem satoe roemah di Tanah Abang  Kebondjae
 (MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE malem.”

Pertunjukan besar yang dimaksudkan dalam iklan pada surat kabar Bintang Betawi itu adalah ‘tontonan gambar-gambar idoep’. Iklan pada surat kabar tersebut edisi Jumat 30 November 1900 antara lain menyatakan akan adanya ‘tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep’. ‘Tontonan gambar-gambar idoep’ itulah yang kini populer dengan sebutan film.
Melihat pada apa yang diinformasikan surat kabar Bintang Betawi edisi 5 Desember 1900 lewat iklan tersebut jelaslah jika tontonan film di negeri kita sudah dimulai pada tanggal 5 Desember 1900. Jadi, rentang waktu keberadaan tontonan film di negeri kita dengan keberadaan bioskop pertama di dunia tahun 1895, hanya berjarak lima tahun saja.
Tempat pemutaran film (bioskop) di Amerika Serikat muncul dan berkembang mulai tahun 1905. Sedang di negeri kita tempat pemutaran film di sebuah bangunan rumah (bioskop) itu sudah ada sejak tahun 1900. Melihat dari data ini, jelaslah Batavia (sekarang Jakarta) telah lebih dulu memperkenalkan tempat pertunjukan film dibandingkan kota-kota di Amerika Serikat.

Pembuatan Film
Sejarah pembuatan film di negeri kita sudah diawali sejak tahun 1910. Tapi film-film yang diproduksi saat itu adalah film-film non-features. Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mendatangkan sejumlah ahli dan pekerja pembuat film dari Negeri Belanda untuk membuat film dokumenter tentang apa dan bagaimana Hindia Belanda. Film-film non-features yang dibuat dimaksudkan untuk mengenalkan keberadaan Hindia Belanda kepada masyarakat di Negeri Belanda.
Enambelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1926, film feature atau film cerita baru diproduksi di Hindia Belanda. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
Di tahun 1927, Kruger membuat perusahaan film sendiri bernama Krugers Filmbedriff. Film-film yang diproduksinya antara lain Eulis Acih, Karnadi Tangkap Bangkong dan Atma de Visser.
Bandung memang merupakan kota kelahiran film-film cerita. Setelah film  Loetoeng Kasaroeng, F.Carli yang tinggal di Bandung juga tergerak untuk ikut membuat film dengan mendirikan Cosmos Film yang kemudian berubah menjadi Kinowerk Carli. Film yang dibuat Carli itu berjudul Karina’s Zelfop-offering (Pengorbanan Karina). Film garapan Carli ini berkisah tentang kisah cinta antara seorang opsir Belanda (asing) dengan seorang gadis keturunan bangsawan di Jawa. Dan, yang menarik sebagian besar syuting film ini berlokasi di Yogyakarta. Film garapan Carli lainnya adalah De Stem des Bloeds (Panggilan Darah).
Berbeda dengan Heuveldorp dan Kruger yang di dalam film Loetoeng Kasaroeng lebih mengutamakan pemain-pemain pribumi, maka film garapan Carli ini menggunakan pemain hampir seluruhnya orang asing atau Indo-Belanda (peranakan Belanda). Salah seorang di antaranya isteri Carli sendiri, Annie Krohn, yang berperan sebagai pemeran utamanya.
Bandung kembali membuat catatan dalam sejarah perkembangan film dengan datangnya Wong Bersaudara dari Shanghai, China, ke kota tersebut pada tahun 1928. Ketika berada di Shanghai, Wong Bersaudara yang terdiri dari Nelson, Joshua dan Othnil memang sudah bergerak di dalam usaha produksi film. Salah satu film yang diproduksi Wong Bersaudara dengan perusahaan filmnya Halimun Film di tahun 1928 itu berjudul Lily van Java. Film yang bercerita tentang kehidupan salah satu keluarga Cina peranakan.
Kedatangan Wong Bersaudara ke Bandung, ternyata telah menggugah minat dua warga Cina perantauan (peranakan), yakni Tan Koen Hian dan The Teng Chun untuk terlibat dalam usaha produksi film. Keduanya lalu membuat perusahaan film di Batavia (sekarang Jakarta). Tan Koen Hian tahun 1929 mendirikan perusahaan film Tan’s Film. Di tahun 1929 itu Tan’s Film memproduksi film berjudul Njai Dasima. Sedangkan The Teng Chun tahun 1931 mendirikan Cino Motion Pictures Corporation.

Film Bicara
Era film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film bisu ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun 1927 yang berjudul Jazz Singer. Film bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan film di Hindia Belanda ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox Follies dan Rainbow Man.
Masuknya film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara. The Teng Chun dengan perusahaan filmnya Cino Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay.
Setelah itu diproduksi pula sejumlah film lainnya seperti film Indonesia Maleise garapan Wong Bersaudara (1931) dan film Terpaksa Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) yang diproduksi tahun 1932. 
Perkembangan berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang Indo-Belanda bernama Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh di Bandung. Balink tidak sendirian, tapi mengajak Wong Bersaudara dan Mannus Franken seorang pembuat film dokumenter dari Belanda. Film Pareh yang diproduksi perusahaan film Java Pasific Film dan dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film, meskipun dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
 Cino Motion Pictures Corporation kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) dan pada tahun  1935 memroduksi film berjudul Lima Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan Cina di Batavia.
Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
Kesuksesan film Terang Boelan yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut Selatan ini kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film yang ada di saat itu untuk memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih kesuksesan dari segi pemasaran. Apalagi film Terang Bulan tidak hanya sukses di dalam negeri sendiri, tapi juga meraih sukses ketika ditayangkan di Malaya (Malaysia) dan Singapura.
Setelah film Terang Boelan, dunia perfilman di negeri kita ketika itu mengalami masa-masa menggembirakan. Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran disebut sebagai masa panen pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran menyatakan – Film Terang Boelan memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik  modal bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi bisnis yang hebat. Maka sejak tahun 1939 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya berpedoman kepada pola resep yang dipakai oleh film Terang Boelan. Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit popularitas, juga menjadi modal dalam mendapatkan bintang bagi masing-masing perusahaan. Sejak saat ini kedudukan bintang dalam film Indonesia merupakan unsur yang amat penting, “star system” dimulai. Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru khususnya ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung yang paling cemerlang saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan Ratna Asmara. Bahkan kemudian semua orang panggung diangkut pula ke dunia film untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang mendadak meningkat.
Tapi masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa Biran, hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun 1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan menyingkirkan kekuasaan Belanda pada Maret 1942, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menutup semua perusahaan film.

Masa Pendudukan Jepang
Menurut Ryadi Gunawan, sejak pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di negeri ini, kehidupan sejarah perfilman kita mengalami suasana yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Semua perusahaan film yang ada, yang sebagian besar merupakan milik orang-orang Cina, disita dan ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang melalui Jawa Eiga Kosha (Java Motion Picture Corporation) yang dibentuk pada bulan Oktober 1942. (Lihat – Sejarah Perfilman Indonesia, Prisma 4, 1990).
Masih menurut Ryadi Gunawan, setelah kejadian itu, untuk melaksanakan kebijaksanaan perfilman oleh pemerintah pendudukan Jepang, dibentuk dua lembaga yang berbeda fungsinya untuk menangani perfilman. Kedua lembaga itu adalah Nichi’ei/Nippon Eigasha (Japan Motion Picture Company) yang bertugas memproduksi film, dan Eihai/Eiga Haikyusha (Motion Picture Distributing Company) yang bertugas memasarkan film. Setelah terbentuknya kedua lembaga itu pada bulan April 1943, maka Jawa Eiga Kosha dibubarkan dan segala tugasnya diambil alih oleh kedua lembaga itu.
Di dalam perjalananya, Nichi’ei/Nippon Eigasha ternyata hanya memproduksi beberapa film pendek yang berisi propaganda Jepang, seperti Berdjoeang, Keseberang, dan Amat Heiho. Sedangkan Eiga Haikyusha hanya memasarkan film-film propaganda yang datang dari Jepang sendiri. 

Masa Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dunia perfilman kita memasuki babak baru, di mana semangat kemerdekaan dan rasa nasionalisme yang tinggi sangat mewarnai cerita-cerita film. Pada masa-masa inilah muncul sejumlah tokoh perfilman nasional, di antaranya dua nama terkemuka Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik.
Perkembangan dunia perfilman di tanah air kita setelah masa kemerdekaan itu oleh Misbach Jusa Biran dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perang (1942-1949). Misbach memasukkan tahun 1942 karena menurutnya sejak 1942 sampai 1945 merupakan masa pendudukan Jepang, sedang 1945 sampai 1949 disebutnya sebagai masa Revolusi Fisik atau Perang Kemerdekaan. Kemudian kedua, masa bangkit dan hancur (1950-1957). Ketiga, masa penyemaian konsep ideologi (1957-1966). Dan keempat, masa perletakan landasan-landasan (sejak 1967).
Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya.
            Sejarah perjalanan film di negeri kita tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu di bulan Agustus 1945, dan Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menyerahkan Nippon Eighasha kepada Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu sedang dalam tahap penataan diri. Oleh Pemerintah Republik, lembaga film buatan pemerintah pendudukan Jepang itu diserahkan kepada instansi atau lembaga yang diberi nama Berita Film Indonesia (BFI) dipimpin RM. Sutarto.
Meskipun sudah menyerahkan lembaga film Nippon Eighasha, akan tetapi pemerintah pendudukan Jepang belum mau menyerahkan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada Pemerintah RI. Bahkan pada tanggal 10 September 1945, Panglima Bala Tentara Jepang di Jawa menyatakan akan menyerahkan wewenang pemerintahan di Indonesia kepada pihak Sekutu. Akhir September 1945 tentara Sekutu mendarat di Indonesia. Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka memboncengkan tentaranya bersama-sama Sekutu masuk lagi ke Indonesia.
Pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda (NICA) terjadi di berbagai kota dan daerah. Di tengah-tengah gejolak mempertahankan kemerdekaan, pada tanggal 4 Januari 1946 Pemerintah RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kepindahan ini pusat pemerintahan atau ibukota RI juga beralih dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak Januari 1946 itu kota Yogyakarta menjadi pusat segaka aktivitas pemerintahan. Para pekerja film atau insan-insan film juga ikut pindah ke Yogyakarta.  Di Yogyakarta sejumlah orang film menggabungkan dirinya ke dalam kekuatan perjuangan dengan menjadi tentara. Usmar Ismail misalnya, ia ikut menjadi tentara dengan pangkat Mayor,  selain dipercaya pula untuk memimpin koran perjuangan yang bernama “Patriot”.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1947, produksi film di negeri kita bisa dikatakan dalam kondisi padam, karena tidak ada satu pun film yang diproduksi. Meskipun begitu upaya-upaya untuk tetap membangkitkan gairah dan semangat berkarya di dunia film tetap dilakukan. Pada tahun 1947 di Yogyakarta didirikan lembaga studi drama dan film yang diberi nama Kino Drama Atelier (KDA). Dr. Huyung (Hinatsu Heitaro), seorang mantan tentara Jepang yang menolak pulang ke negerinya dan memilih bergabung dengan para pejuang RI, dipercaya memimpin KDA. Di masa pendudukan Jepang, Huyung yang memang sarjana sastra lulusan Universitas Waseda di Tokyo itu memang dipercaya sebagai tentara yang bertugas menangani bidang seni teater, terutama dalam menggalakkan propaganda Jepang melalui seni tetar atau drama.
Pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan Perundingan Renville antara Pemerintah RI dan Belanda yang berlangsung di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Usmar Ismail dalam kapasitasnya sebagai pemimpin redaksi koran “Patriot” ikut berangkat ke Jakarta untuk meliput jalannya perundingan. Tapi malang, ia ditangkap dan ditahan oleh tentara Belanda. Penangkapan itu dilakukan setelah Belanda mengetahui bahwa Usmar Ismail juga seorang tentara republik yang berpangkat Mayor.
Di tengah-tengah masa penuh gejolak seperti itu, pihak Belanda dengan bantuan Sekutu telah menguasai kembali Jakarta dan sejumlah kota lainnya itu mulai melirik lagi ke film. Mereka berpendapat, film bisa digunakan sebagai media berkomunikasi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat untuk beramai-ramai kembali ke kota-kota dari pengungsiannya di daerah-daerah pedalaman yang dikuasai Pemerintah RI. Dengan film, masyarakat juga akan diyakinkan bahwa kondisi di kota-kota sudah aman dan nyaman, serta Belanda sudah menciptakan kestabilan dan kenyamanan di mana-mana.
Ketika Belanda kembali menguasai Jakarta, maka mereka mengambil alih pula Berita Film Indonesia (BFI) dan menghidupkan kembali perusahaan film mereka yang ada sebelum masa pendudukan Jepang, NV Multi Film (ex ANIF). Karena sejak awal NV Multi Film memang bertugas memproduksi film-film non-features seperti film dokumenter, maka pada tahun 1948 NV Multi Film membentuk devisi usaha yang khusus untuk memproduksi film-film features atau film-film cerita. Devisi usaha dari NV Multi Film itu diberi nama  South Pasific Film Corp. (SPFC).
Anjar Asmara, seseorang yang punya pengalaman dalam soal film karena pernah membuat satu film produksi Java Industrial Film (JIF) sebelum pendudukan Jepang dipercaya oleh SPFC untuk menyutradarai dua judul film. Demikian pula halnya dengan Usmar Ismail yang ketika itu menjadi tahanan pihak Belanda di Jakarta, ia pun dikeluarkan dari tahanan dan dipercaya untuk mendampingi Anjar Asmara, dengan menjadi asisten sutradara.
Dua judul film produksi SPFC di tahun 1948 yang disutradarai Anjar Asmara dengan asisten sutradara Usmar Ismail itu Jauh Dimata dan Gadis Desa. Setelah menyutradarai kedua film itu, Anjar Asmara lalu meninggalkan SPFC. Posisinya sebagai sutradara kemudian digantikan oleh Usmar Ismail.
Dalam posisinya sebagai sutradara, tahun 1949 Usmar Ismail melalui produksi SPFC menggarap dua judul film, Citra (Tjitra) dan Harta Karun. Film Citra merupakan film garapan pertama Usmar Ismail, yang diangkat dari naskah sandiwaranya yang pernah dipanggungkan semasa pendudukan Jepang. Sedangkan Harta Karun merupakan cerita saduran dari “L’Avare” karya pengarang Perancis, Molier.
Sepanjang 1948 dan 1949 orang-orang film lainnya pun mulai menggeliat. Wong Bersaudara bekerjasama dengan Tan Koen Hian mendirikan “Tan & Wong Brothers” yang kemudian memproduksi film Air Mata Mengalir di Tjitarum. Kemudian disusul The Teng Chun bekerjasama dengan Fred Young mendirikan perusahaan film “Bintang Surabaya” dan memproduksi film Sapu Tangan.
Di masa-masa itu, Kino Drama Atelier (KDA) juga ikut menggeliat di Yogyakarta. Dalam serba keterbatasan, KDA sempat memproduksi dua judul film yang disutradarai Dr. Huyung. Dua film produksi KDA itu, Antara Bumi dan Langit serta Bunga Rumah Makan (lihat Eddy D. Iskandar, Mengenal Perfilman Nasional, 1987).
Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan dan ibukota RI kembali beralih ke Jakarta setelah sehari sebelumnya Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dengan beralihnya kembali ibukota RI dari Yogyakarta ke Jakarta, maka semua aktivitas kembali berpusat di Jakarta. Termasuk aktivitas di bidang perfilman. Bahkan Usmar Ismail yang sebelumnya sempat terlibat dalam ketentaraan dengan pangkat Mayor, menyatakan keluar dari kemiliteran dan kembali ke kehidupan sipil, karena ingin sepenuhnya bergelut di dunia seni film.

Masa Kebangkitan dan Kehancuran
Tahun 1950 merupakan tahun kebangkitan film nasional di era kemerdekaan. Tapi era 1950 sampai 1957, oleh Misbach Jusa Biran, disebut sebagai masa “bangkit dan hancurnya” perfilman nasional. Karena setelah bangkit di tahun 1950 dan sempat menikmati masa-masa cemerlang, mulai tahun 1956 hingga 1957 dunia perfilman nasional mengalami masa-masa kritis, penuh hambatan, bahkan disebut juga sebagai masa kehancuran.
Kebangkitan film nasional di tahun 1950 itu ditandai dengan perusahaan film nasional Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang didirikan oleh Usmar Ismail. Film produksi perdana Perfini, Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi), yang langsung disutradarai sendiri oleh Usmar Ismail, sedangkan skenarionya ditulis penyair Sitor Situmorang.
 Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. ***  (Sutirman Eka Ardhana)

KISI-KISI FOTOGRAFI JURNALISTIK 2014



                  KISI-KISI FOTOGRAFI JURNALISTIK 2014

            1. Sejarah perjalanan  fotografi  tidak bisa dilepaskan dari peran seorang ilmuiwan Arab yang bernama Al-Hazen. Pada abad ke-10, Al-Hazen sudah mengutarakan penemuannya mengenai  tehnik fotografi yang  sederhana, yakni melihat gerhana matahari melalui media ruangan gelap yang di dalamnya terdapat  lubang kecil (pinhole). Pernyataan atau penjelasan Al-Hazen itu kemudian dikembangkan secara lebih nyata lagi oleh seorang ahli fisika dan mate,matika  berkebangsaan Belanda, Reinerus Gemma-Frisius (1544), seorang ahli fisika dan matematika berkebangsaan Belanda. Apa yang dikemukakan Al-Hazen dan dikembangkan oleh Reinerus Gemma-Frisius itu kemudian terwujud di dalam kamera yang disebut obscura.
            2. Sejarah perjalanan dan perkembangan fotografi berikutnya antaralain: dibuatnya kamera metal yang pertama oleh Fiedrich Voigtlander pada tahun 1840, kemudian di tahun 1884 seorang ilmuwan Amerika, George Eastman, menemukan film fotografi yang menggunakan seluloid, yakni bahan ’plastik’ pertama buatan manusia. Seluloid ini pertama kali ditemukan oleh Alexander Parkes, seorang ahli kimia Inggris, di tahun 1856.  Keberhasilan Eastman tidak berhenti disitu. Tahun 1891, bersama mitra kerjanya Hannibal Goodwin, ia telah memperkaya dunia fotografi lagi dengan memperkenalkan satu rol film yang dimasukkan ke dalam kamera dan digunakan pada siang hari. Sebelum itu, pada bulan Junmi 1888 Eastman telah memperkenalkan pula kamera berukuran kecil, yang disebutnya kotak ”Kodak”. Kamera Kodak temuan Eastman di masa itu, merupakan peralatan fotografi yang luar biasa. Kamera ini memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat pada peralatan sebelumnya.
            3. Peran karya fotografi di dalam jurnalistik tidak hanya sebatas bisa menjadi ‘penyampai atau pemberi informasi’, tapi juga bisa sebagai ‘mempercantik wajah’ media itu sendiri.
4. Bagi media pers, baik surat kabar maupun majalah, berita tulis dan berita foto (foto jurnalistik) mempunyai peran dan kekuatan yang sama. Berita tulis menyampaikan informasi dalam deskripsi verbal, sementara berita foto menyampaikan dalam deskripsi visual.
5. Di dalam kerja jurnalistik dikenal ada enam sifat foto jurnalistik. Keenam sifat yang dimiliki foto jurnalistik itu, meliputi: mudah dibuat, akurat, universal, visual, kompak, dan selalu aktual.
6. Foto memiliki  nilai informasi yang selalu aktual. Artinya, ni;ai informasi dan daya pesona yang dimiliki selembar foto akan senantiasa aktual atau ‘baru’ sampai kapanpun. Berbeda dengan nilai informasi dan daya pesona suatu berita (berita tulis) yang memiliki batas waktu tertentu, nilai informasi dan daya pesona foto memiliki batas waktu yang panjang.
7. Di dalam kerja jurnalistik selama ini dikenal ada tujuh jenis atau ragam foto jurnalistik. Ketujuh jenis foto jurnalistik itu meliputi: foto berita (spot news), foto human interest, foto esai, foto cerita, foto humar, foto feature, dan foto olahraga.
8. Foto human interest adalah foto yang menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan daya tarik manusiawi, atau foto yang berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, foto human interest adalah foto yang mampu menggugah emosi kemanusiaan kita yang melihatnya.
9. Foto feature adalah foto tunggal yang tidak sekadar memiliki nilai informasi, tapi juga menyampaikan suatu gagasan berharga pada orang yang melihatnya. Sekalipun hadir tunggal, foto feature bisa menghadirkan beragam penafsiran.
10. Meski memiliki kedekatan, tetapi ada perbedaan antara foto feature dan foto human interest. Perbedaannya, foto human interest hanya bicara atau menyampaikan tentang kehidupan manusia, sedang foto feature menampilkan semua warna kehidupan yang ada, dan tidak sebatas soal manusia.

KISI-KISI UTS SINEMATOGRAFI - 2014



             KISI-KISI UTS SINEMATOGRAFI - 2014

1.      Film pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam dua jenis atau kategori. Pertama, film
cerita (film fiksi). Kedua, film noncerita (film nonfiksi).
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh actor dan aktris.
Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
Sedangkan film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.
2.      Film cerita mempunyai berbagai jenis atau genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu.
Jenis-jenis film tersebut ada yang disebut jenis film drama, film horror, film perang, film musical, film koboi, film sejarah, film komedi, dan film fiksi ilmiah. Meskipun begitu penggolongan jenis film tidaklah kaku atau ketat. Sebab sebuah film dapat saja dimasukkan ke dalam beberapa jenis.
3. Film dokumenter adalah film noncerita yang selain mempunyai unsur fakta tetapi juga
mengandung unsur subyektifitas pembuatnya. Subyektifitas di dalam film dokumenter merupakan pendapat, pandangan, sikap atau opini terhadap peristiwa yang direkam.
Dengan demikian peran pembuatnya (produser/sutradara) memiliki arti penting bagi keberadaan serta keberhasilan proses pembuatan film dokumenter. Dalam film dokumenter, faktor manusia (pembuat) mempunyai peran yang besar dan penting. Sebab persepsi tentang suatu kenyataan atau realitas yang ada sangat bergantung pada pembuatnya.
4.   Ada tiga alasan mengapa film ditonton, yakni alasan umum, alasan khusus dan
alasan utama.
Alasan umum – Film berarti bagian dari kehidupan modern dan tersedia dalam berbagai wujud, seperti di bioskop, dalam tayangan televisi, bentuk kaset video, dan piringan laser (laser disc).
Sebagai bentuk tontonan, film memiliki waktu putar tertentu. Rata-rata satu setengah jam sampai dengan dua jam. Selain itu, film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikkan, melainkan juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik.
Alasan khusus – Karena ada unsur dalam usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu. Selain itu, karena film tampak hidup dan memikat, disamping menonton film dapat dijadikan bagian dari acara-acara kencan dalam kehidupan manusia.
Alasan utama – Seseorang menonton film untuk mencari nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah menyaksikan film, seseorang memanfaatkannya untuk mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas nyata yang dihadapi.
5.      Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan
diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
6. Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian
luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan
mengajak pula seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
7.      FILM merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain,
proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.
8. Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses
pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara. Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.
9. FILM mempunyai tiga nilai penting ketika dihadirkan sebagai ‘tontonan’ ke publik atau
masyarakat luas. Ketiga nilai itu adalah nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan kepada publik yang menontonnya. Film yang baik tentunya film yang memiliki ketiga nilai penting tersebut. Seandainya ada film yang hanya menampilkan nilai menghibur semata, tapi mengabaikan nilai mendidik dan nilai artistiknya, tentunya film tersebut tidak layak disebut sebagai film yang baik.

10.  Nilai pendidikan suatu film bermakna semacam pesan-pesan moral yang disampaikan
kepada penonton. Akan tetapi, pesan-pesan moral yang disampaikan di dalam alur cerita film tersebut tidak sampai menimbulkan kesan yang menggurui. Kebanyakan penonton tidak suka kepada film cerita yang terkesan terlalu menggurui. Karena hal itu akan menyebabkan penonton merasa diposisikan sebagai pihak yang ‘tidak tahu apa-apa’ dan harus diberi pengetahuan.