Senin, 28 Oktober 2013

Serat Centhini dan Seksualitas Jawa



Serat Centhini
dan Seksualitas Jawa

SERAT Centhini merupakan karya sastra lama Jawa yang hingga hari ini tetap menjadi rujukan, setiap kali kita ingin berbincang-bincang atau berdiskusi tentang sejarah panjang perjalanan dan eksistensi budaya Jawa. Ketika akan ‘membahas’ perilaku sosial dan budaya Jawa, para pakar sepertinya tidak merasa lengkap bila tidak menyimak Serat Centhini terlebih dulu.
Hal itu dikarenakan Serat Chentini yang merupakan karya gubahan Mangkunegaran IV pada abad 19 itu, merupakan karya sastra Jawa yang sangat lengkap menyajikan beragam hal yang berhubungan dengan tatanan, kebutuhan, perilaku, sikap dan budaya masyarakat Jawa.
Di zamannya, Serat Centhini termasuk dalam karya tulisan yang berani dan mengungkap persoalan secara gamblang serta apa adanya. Menariknya lagi, penulis atau penggubahnya adalah seorang bangsawan yang terhormat di Pura Mangkunegaran, Solo.
Persoalan seks yang sangat pribadi pun diungkap secara terbuka, dan tanpa basa-basi di dalam Serat Centhini. Hebatnya lagi, persoalan seks yang diungkap tak sebatas yang ada pada kehidupan masyarakat kecil atau rakyat jelata, tapi juga yang terjadi di lingkungan istana atau para bangsawan di keraton Jawa.         
Ketika berbicara tentang seks tradisional Jawa, Serat Centhini itu juga telah mengungkapkan tentang ‘penyalahgunaan’ seks, dari perselingkuhan atau skandal seks sampai ke prostitusi.
Benedict Anderson, pengamat masalah-masalah Jawa, di dalam bukunya  Professional Dreams: Reflections on Two Javanese Classics, mengakui kehebatan Serat Centhini yang dengan berani dan apa adanya mengungkap perilaku seks di kalangan bangsawan keraton di Jawa. Misalnya, skandal atau hubungan seks antara seorang adipati dengan perempuan biasa dari desa.
Menyinggung soal pelacuran atau prostitusi, Serat Centhini pun mengungkapkannya secara lugas dan terbuka. Selain mengungkapkan riwayat munculnya pelacuran di Jawa, juga diuraikan beragam teknik bercinta para pelacur dalam melayani dan memuaskan lelaki pasangannya.
Teknik-teknik bercinta itu tentu dimaksudkan agar para lelaki pasangannya merasa puas dan senang berhubungan seks dengan perempuan yang menjajakan dirinya tersebut. Diuraikan juga, dengan teknik-teknik bercinta yang dikuasainya, perempuan yang berprofesi sebagai pelacur itu mampu melayani atau berhubungan seks dengan lebih dari satu lelaki. Bahkan sampai beberapa lelaki.
Sejarah pelacuran di Yogyakarta juga diungkapkan di Serat Centhini tersebut. Mungkin kita tak percaya, jika di dekat lokasi makam raja-raja Mataram di Imogiri dulu pernah ada lokasi ‘bisnis seks’ atau tempat perempuan-perempuan menyediakan dirinya untuk jasa pelayanan seks. Rasanya, Sri Mangkunegaran IV yang menulis Serat Centhini tidak akan mungkin berbohong dan mengada-ada dengan menyebutkan bahwa di dekat makam-makam raja di Imogiri itu ada tempat pelacuran.
Para pemikir atau intelektual Jawa di zamannya dulu memang sudah menanam keyakinan bahwa seks merupakan salah satu bagian dari budaya kehidupan manusia. Seks adalah sesuatu yang logis dan alamiah. Sejak dulu juga, para pemikir Jawa sudah memandang dan berpendapat bahwa seks atau seni bercinta sebagai bagian dari harmoni kehidupan manusia yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja.
Karena itulah banyak para pemikir atau intelektual Jawa di masa lalu yang menulis ‘beragam pengetahuan dan persoalan’ tentang seks. Serat Centhini merupakan salah satu di antaranya. Kemudian pemberian pemahaman tentang seks juga terdapat di dalam  Serat Gatoloco dan Serat Dharmogandhul.
Di masa kini, kita terkadang gamang untuk berbicara tentang seks, apalagi sampai menulisnya secara lugas, gamblang dan terbuka. Kita khawatir dituding tak tahu diri, atau sengaja menyebarluaskan pemahaman tentang seks, yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang tabu. Kenapa kita tidak belajar atau bercermin terhadap apa yang dilakukan para pemikir Jawa di masa lalu, misalnya kepada Sri Mangkunegaran IV yang menulis Serat Centhini, yang sudah sejak jauh-jauh hari berpendapat bahwa persoalan seks bukanlah hanya persoalan di dalam kamar. Tetapi seks adalah persoalan kehidupan. Persoalan kemanusiaan. Dengan memahami seks, kita akan menghargai kehidupan. ***
                                                                                         Sutirman Eka Ardhana

Serat Jaka Lodhang Kaya Rahasia dan Makna Kehidupan



Serat Jaka Lodhang
          Kaya Rahasia dan Makna Kehidupan

            RONGGOWARSITO, inilah pujangga besar yang disegani. Dialah penyair yang tidak tertandingi di zamannya. Karya-karyanya tidak hanya bicara soal kehidupan ‘kekinian’, tapi melambung jauh ke masa depan yang tak terbatas. Dan, dialah pujangga atau penyair yang “weruh sadurung winarah”.
Karya-karya besarnya seperti Serat Jaka Lodhang, Sabdatama, Sabdajati, dan Kalatidha, tidak hanya “weruh sadurung winarah” tapi juga sarat dengan petunjuk serta misteri kehidupan. Misteri kehidupan yang hingga hari ini dan sampai kapan pun akan selalu menarik untuk dibaca dan dikaji.
Jaka Lodhang merupakan karya puisinya yang kaya akan rahasia dan makna kehidupan. Simaklah beberapa bait dari karya puisinya yang terkenal itu (terjemahan ke bahasa Indonesia – dikutip dari Kamajaya, Lima Karya Pujangga Ranggawarsita, 1985).

(Mulai tahun Jawa 1850 tersebut) semua cita-cita (orang) tak ada yang berhasil,
apa pun yang dikehendaki tak ada yang tercapai, yang membuat gerombolan
bubar semuanya, mengusahakan derajat luhur memperoleh kehinaan, kutuk
Tuhan yangkeras tibalah, menonjolkan kerendahan budi orang, orang
Bermartabat tinggi hilang martabatnya, berani malu takut mati, yang (golongan)
Kecil tam mau tahu diri.

Orang (yang mengaku) pandai (sebenarnya) palsu, di luarnya tampak suci (putih)
di dalamnya kotor (kuning), ahli ilmu agama Islam melanggar larangan Tuhan,
madatmelacur minum-minuman keras dan berjudi, haji-haji meninggalkan sorban
kopiah putihnya beterbangan, wanita hilang kewanitaannya, (karena) daya
pengaruh perak dan emas, semua orang hanya memperhatikan harta benda.

Para saudagar yang (mestinya) dihormati, (hidup) dalam zaman yang terkutuk
(oleh Tuhan), maka seisi dunia, sengsaranya makin memuncak, (perhatikanlah)
“Nir sad estining urip’ itulah waktunya (candrasangkalanya), puncaknya
Menderita hingga, (yaitu) bilamana (orang) sudah bertobat tanpa gerak
(batinnya), amat menyesali diri (dan) sadar percaya kepada (kekuasaan) Tuhan.

            Dari beberapa bait puisi di dalam Serat Jaka Lodhang ini terlihat jelas betapa syair-syair tersebut sarat dengan rahasia dan makna kehidupan. Tidak saja rahasia dan makna kehidupan ‘kekinian’, tapi juga jauh ke masa depan, yang tidak berbatas waktunya. Perilaku manusia dan warna-warni kehidupan, sekarang dan yang akan dating, diurai dengan bahasa yang jelas maupun sejumlah perlambang.
Inilah puisi misteri itu. Inilah puisi yang sarat dengan makna dan rahasia. Puisi yang mengajak pembacanya untuk mengolah batin dan pikiran. Mengolah semua indera yang dimiliki, untuk mencermati dan membaca kemungkinan-kemungkinan kehidupan yang tak tersirat sebelumnya.
Inilah puisi sang pujangga. Puisi yang tidak hanya berbicara tentang keluh kesah perasaan dan batinnya sendiri, tapi puisi yang memberikan petunjuk dan jalan bagi kemaslahatan orang banyak. Puisi yang mengingatkan bahwa kehidupan itu tidak mudah, kehidupan itu penuh tantangan, penuh cobaan dan godaan. Puisi yang memberikan dorongan kepada pembacanya untuk memilih jalan kehidupan yang murni, lurus dan diinginkan Tuhan.
Inilah puisi yang mampu mengobati gebalau perasaan dan jiwa kita yang jenuh dengan kehidupan. Kehidupan ‘kekinian’ yang samar dan tak jelas ke mana arah dan tujuannya. Kehidupan yang membawa dan membenturkan kita ke tembok keras ketakberdayaan. Kehidupan yang melemparkan kita hingga terpuruk dalam kubangan yang kelam dan gelap.
Inilah puisi yang bisa membuat kita kembali bernapas lega. Inilah puisi yang ditulis sang pujangga di tahun 1800-an, tapi syairnya terasa jelas telah menguraikan coreng-moreng kehidupan kita di tahun 2000-an ini.
Inilah puisi sang pujangga. Puisi tak ternilai maknanya. ***
                                                                                                        Sutirman Eka Ardhana

Minggu, 20 Oktober 2013

Pertemuan ke-1 MEMAHAMI FOTOGRAFI



Pertemuan ke-1


MEMAHAMI FOTOGRAFI

            FOTOGRAFI  bermula dari kata photos dan graphos,  yang merupakan bahasa Yunani. Photos berarti cahaya, sedangkan graphos artinya menulis. Jadi, fotografi secara  harafiah berarti ‘menulis dengan cahaya”. Arti harafiah ini bisa dikembangkan lagi menjadi “bercerita derngan cahaya” atau “melukis dengan cahaya”. Namun di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa fotografi adalah suatu seni atau proses penghasilan gambar dan cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.

            Fotografi memang  tidak bisa dipisahkan dengan kerja seni. Sebab, karya fotografi apa pun bentuk dan obyeknya merupakan media ekspresi diri. Sebagai bagian dari bidang seni, fotografi memiliki kesamaan dengan seni lukis, yakni sama-sama  merupakan media  penyampaian ekspresi  Perbedaannya hanya pada media atau sarana yang dipakai. Karya seni lukis memakai media dan sarana seperti kanvas, kuas dan cat, sementara  fotografi memakai cahaya, film dan kamera. Dengan kata lain, bila seni lukis  adalah melukis dengan cat, sedangkan fotografi ‘melukis dengan cahaya’.
            Bila ingin memahami fotografi, haruslah diawali lebih dulu dengan langkah untuk memahami sejarah panjang perjalanan fotografi. Sebagai bagian dari ilmu  pengetahuan, ilmu fotografi yang di dalamnya terdapat seni mendokumentasikan perisatiwa demi peristiwa, sesungguhnya sudah berusia  sangat tua. Usia ilmu fotografi sama tuanya dengan usia peradaban manusia.
            Manusia-manusia prasejarah dalam peradabannya ketika itu sudah menemukan iilmu  fotograf tersebut  Hal itu terbukti dari peninggalan-peningggalan masa prasejarah di gua-gua kuno yang berwujud goresan-goresan atau lukisan-lukisan di dinding-dionding batu gua. Misalnya gua Lascaux, gua kuno yang terdapat di Perancis, di dalamnya terdapat ‘karya dokumentasi sejarah tak ternilai harganya’ berupa  lukisan-lukisan  tentang bagaimana manusia prasejarah berburu binatang, berperang, tentang senjata-senjata yang dimiliki sampai  busana atau pakaian yang dikenakan.
            Sejarah perjalanan  fotografi  tidak bisa dilepaskan dari peran seorang ilmuiwan Arab yang bernama Al-Hazen. Pada abad ke-10, Al-Hazen sudah mengutarakan penemuannya mengenai  tehnik fotografi yang  sederhana, yakni melihat gerhana matahari melalui media ruangan gelap yang di dalamnya terdapat  lubang kecil (pinhole). Pernyataan atau penjelasan Al-Hazen itu kemudian dikembangkan secara lebih nyata lagi oleh seorang ahli fisika dan mate,matika  berkebangsaan Belanda, Reinerus Gemma-Frisius (1544), seorang ahli fisika dan matematika berkebangsaan Belanda. Apa yang dikemukakan Al-Hazen dan dikembangkan oleh Reinerus Gemma-Frisius itu kemudian terwujud di dalam kamera yang disebut obscura.
Giambattista della Porta, seorang ahli fisika Italia, pada tahun 1569 telah memasang kamera abscura berukuran besar yang pertama. Komponen utama kamera obscura ini adalah sebuah kamar gelap. Di bagian atas kamar gelap itu terdapat lubang (dengan lensa bulat cembung) dan di atasnya terdapat pula sebuah cermin yang berada di sudut 45 derajat terhadap horison. Cahaya masuk ke kamar gelap melalui lubang tersebut. Sinar dari cahaya itu memantul secara vertikal ke bawah, dan jatuh ke permukaan meja besar berwarna putih.
Sejak prinsip-prinsip ’fotografi’ itu dinyatakan Al-Hazen pada abad ke-10, kemudian diikuti perkembangannya yang pesat pada abad ke-19, hingga hari ini fotografi tidak pernah berhenti memainkan dan meningkatkian perannya bagi kepentingan kehidupan manusia. Eksistensi fotografi yang semakin nyata bagi kehidupan manusia ini tidak bisa lepas dari jasa dua orang Perancis, Nicephore Niepce dan Jacques Mande Daguerre yang sejak 1811 telah berupaya menciptakan serta mengembangkan teknologi fotografi tersebut.
Nicephore Niepce, seorang mantan perwira tentara Napoleon Bonaparte, seusai tugas perang pada tahun 1811 mulai melakukan serangkaian peneloitian dan percobaan. Penelitian yang dilakukannya antaralain mencoba sejumloah bahan kimia yang memiliki sifat sangat sensitif terhadap cahaya. Niepce juga melakukan penelitian dan percobaan untuk menangkap serta menyimpan cahaya di dalam kamera obscura kecil. Dan, Niepce pulalah yang pertama kali memperkenalkan istilah ”fotografi” yang dikenal hingga hari ini.
Dalam perjalanan kreatifnya Niepce kemudian bertemu dengan Jacques Mande Daguerre. Daguerre, seorang dekorator dan pekerja seni itu, ternyata memiliki ketertarikan yang sama dengaqn Niepce. Ia juga telah melakukan serangkaian percobaan yang berkaitan dengan pemanfaatan cahaya. Keduanya pun sepakat bekerjasama untuk menghasilkan suatu karya teknologi yang bermanfaat bagi kehidupan manus8ia. Setelah bekerjasama dengan Niepce, sejak tahun 1831 Daguerre tidak henti-hentinya bekerja keras untuk mendapatkan proses pembuatan gambar yang kekal pada pelat perak. Usaha Daguerre tidak sia-sia, karena di tahun 1837 ia berhasil menemukan pengaruh air raksa terhadap gambar-gambar kekal di atas piringan-piringan diodide perak. Dua tahun kemudian, tepatnya di tahun 1839, cata atau proses tersebut diberi nama ”Daguerreotype”.
Bersamaan dengan penemuan ”Daguerreotype” itu, Niepce pun berhasil menyempurnakan kamera obscura yang dimilikinya. Kamera yang sudah disempurnakan itu berbentuk sebuah kotak persegi panjang, berukuran enam inci dari dinding belakangnya. Di dalamnya terdapat piringan yang sensitif terhadap cahaya, hasil temuan Daguerre. Sayangnya, Niepce tidak bisa berlama-lama menikmati hasil jerih-payahnya bersama Daguerre itu, karena dua tahun kemudian ia meninggal dunia.
Perkembangan fotografi berikutnya ditandai dengan upaya Willian HF Talbot yang di tahun 1839 itu juga mencoba proses pembuatan gambar yang memakai bahan lebih peka terhadap kertas. Upaya ini disusul kemudian oleh seorang profesor di Universitas New York, Amerika, John W Draper, yang pada tahun 1840 telah membuat gambar wajah manusia dengan proses pencahayaan yang hanya memakan waktu selama lima menit.
Sejarah perjalanan dan perkembangan fotografi berikutnya antaralain: dibuatnya kamera metal yang pertama oleh Fiedrich Voigtlander pada tahun 1840, kemudian di tahun 1884 seorang ilmuwan Amerika, George Eastman, menemukan film fotografi yang menggunakan seluloid, yakni bahan ’plastik’ pertama buatan manusia. Seluloid ini pertama kali ditemukan oleh Alexander Parkes, seorang ahli kimia Inggris, di tahun 1856.  Keberhasilan Eastman tidak berhenti disitu. Tahun 1891, bersama mitra kerjanya Hannibal Goodwin, ia telah memperkaya dunia fotografi lagi dengan memperkenalkan satu rol film yang dimasukkan ke dalam kamera dan digunakan pada siang hari. Sebelum itu, pada bulan Junmi 1888 Eastman telah memperkenalkan pula kamera berukuran kecil, yang disebutnya kotak ”Kodak”. Kamera Kodak temuan Eastman di masa itu, merupakan peralatan fotografi yang luar biasa. Kamera ini memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat pada peralatan sebelumnya.
George Eastman memang telah membawa perkembangan yang besar  dalam dunia fotografi. Temuannya tentang rol film, kemudian dikembangkan oleh Eastman’s American Film dengan memproduksi rol kertas tipis yang dilapisi emulsi gelatin. Kemajuan teknologi fotografi ditandai lagi dengan dibuatnya film negatif yang terjadi setelah dipisahkannya emulsi dari kertas yang tidak tembus cahaya. Penemuan film negatif ini membawa perkembangan teknologi kamera semakin pesat. Para ahli pun kemudian menciptakan kamera-kamera dalam ukuran yang lebih kecil, praktis dan ringan. Kamera pun tidak hanya bermerek ”Kodak” temuan George Eastman itu, tapi bermacam-macam merek kamera kini telah memenuhi dunia fotografi.
Kemajuan teknologi telah membawa kemajuan yang sangat pesat di dunia fotografi. Dari tahun ke tahun teknologi fotografi mengalami kemajuan-kemajuan yang pesat dan mencengangkan. Kini fotografi sudah memasuki era teknologi digital. Hal ini ditandai dengan terdapatnya beragam bentuk dan merek kamera digital, yang membuat teknologi fotografi menjadi lebih praktis lagi.
                                                                                                             Sutirman Eka Ardhana

KISI-KISI UTS MK FOTOGRAFI JURNALISTIK 2013



              KISI-KISI MK FOTOGRAFI JURNALISTIK

            1. Sejarah perjalanan  fotografi  tidak bisa dilepaskan dari peran seorang ilmuiwan Arab yang bernama Al-Hazen. Pada abad ke-10, Al-Hazen sudah mengutarakan penemuannya mengenai  tehnik fotografi yang  sederhana, yakni melihat gerhana matahari melalui media ruangan gelap yang di dalamnya terdapat  lubang kecil (pinhole). Pernyataan atau penjelasan Al-Hazen itu kemudian dikembangkan secara lebih nyata lagi oleh seorang ahli fisika dan mate,matika  berkebangsaan Belanda, Reinerus Gemma-Frisius (1544), seorang ahli fisika dan matematika berkebangsaan Belanda. Apa yang dikemukakan Al-Hazen dan dikembangkan oleh Reinerus Gemma-Frisius itu kemudian terwujud di dalam kamera yang disebut obscura.
            2. Sejarah perjalanan dan perkembangan fotografi berikutnya antaralain: dibuatnya kamera metal yang pertama oleh Fiedrich Voigtlander pada tahun 1840, kemudian di tahun 1884 seorang ilmuwan Amerika, George Eastman, menemukan film fotografi yang menggunakan seluloid, yakni bahan ’plastik’ pertama buatan manusia. Seluloid ini pertama kali ditemukan oleh Alexander Parkes, seorang ahli kimia Inggris, di tahun 1856.  Keberhasilan Eastman tidak berhenti disitu. Tahun 1891, bersama mitra kerjanya Hannibal Goodwin, ia telah memperkaya dunia fotografi lagi dengan memperkenalkan satu rol film yang dimasukkan ke dalam kamera dan digunakan pada siang hari. Sebelum itu, pada bulan Junmi 1888 Eastman telah memperkenalkan pula kamera berukuran kecil, yang disebutnya kotak ”Kodak”. Kamera Kodak temuan Eastman di masa itu, merupakan peralatan fotografi yang luar biasa. Kamera ini memiliki keunggulan-keunggulan yang tidak terdapat pada peralatan sebelumnya.
            3. Peran karya fotografi di dalam jurnalistik tidak hanya sebatas bisa menjadi ‘penyampai atau pemberi informasi’, tapi juga bisa sebagai ‘mempercantik wajah’ media itu sendiri.
4. Bagi media pers, baik surat kabar maupun majalah, berita tulis dan berita foto (foto jurnalistik) mempunyai peran dan kekuatan yang sama. Berita tulis menyampaikan informasi dalam deskripsi verbal, sementara berita foto menyampaikan dalam deskripsi visual.
5. Di dalam kerja jurnalistik dikenal ada enam sifat foto jurnalistik. Keenam sifat yang dimiliki foto jurnalistik itu, meliputi: mudah dibuat, akurat, universal, visual, kompak, dan selalu aktual.
6. Foto memiliki  nilai informasi yang selalu aktual. Artinya, ni;ai informasi dan daya pesona yang dimiliki selembar foto akan senantiasa aktual atau ‘baru’ sampai kapanpun. Berbeda dengan nilai informasi dan daya pesona suatu berita (berita tulis) yang memiliki batas waktu tertentu, nilai informasi dan daya pesona foto memiliki batas waktu yang panjang.
7. Di dalam kerja jurnalistik selama ini dikenal ada tujuh jenis atau ragam foto jurnalistik. Ketujuh jenis foto jurnalistik itu meliputi: foto berita (spot news), foto human interest, foto esai, foto cerita, foto humar, foto feature, dan foto olahraga.
8. Foto human interest adalah foto yang menyajikan hal-hal yang berkaitan dengan daya tarik manusiawi, atau foto yang berbicara tentang masalah-masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan kata lain, foto human interest adalah foto yang mampu menggugah emosi kemanusiaan kita yang melihatnya.
9. Foto feature adalah foto tunggal yang tidak sekadar memiliki nilai informasi, tapi juga menyampaikan suatu gagasan berharga pada orang yang melihatnya. Sekalipun hadir tunggal, foto feature bisa menghadirkan beragam penafsiran.
10. Meski memiliki kedekatan, tetapi ada perbedaan antara foto feature dan foto human interest. Perbedaannya, foto human interest hanya bicara atau menyampaikan tentang kehidupan manusia, sedang foto feature menampilkan semua warna kehidupan yang ada, dan tidak sebatas soal manusia.***

Selasa, 15 Oktober 2013

KISI-KISI UTS SINEMATOGRAFI - 2013



                   KISI-KISI UTS SINEMATOGRAFI - 2013

1.      Film pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam dua jenis atau kategori. Pertama, film cerita (film fiksi). Kedua, film noncerita (film nonfiksi).
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh actor dan aktris.
Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
Sedangkan film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.
2.      Film cerita mempunyai berbagai jenis atau genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu.
Jenis-jenis film tersebut ada yang disebut jenis film drama, film horror, film perang, film musical, film koboi, film sejarah, film komedi, dan film fiksi ilmiah. Meskipun begitu penggolongan jenis film tidaklah kaku atau ketat. Sebab sebuah film dapat saja dimasukkan ke dalam beberapa jenis.
3.      Film dokumenter adalah film noncerita yang selain mempunyai unsur fakta tetapi juga mengandung unsur subyektifitas pembuatnya. Subyektifitas di dalam film dokumenter merupakan pendapat, pandangan, sikap atau opini terhadap peristiwa yang direkam.
Dengan demikian peran pembuatnya (produser/sutradara) memiliki arti penting bagi keberadaan serta keberhasilan proses pembuatan film dokumenter. Dalam film dokumenter, faktor manusia (pembuat) mempunyai peran yang besar dan penting. Sebab persepsi tentang suatu kenyataan atau realitas yang ada sangat bergantung pada pembuatnya.
4.         ada tiga alasan mengapa film ditonton, yakni alasan umum, alasan khusus dan alasan utama.
Alasan umum – Film berarti bagian dari kehidupan modern dan tersedia dalam berbagai wujud, seperti di bioskop, dalam tayangan televisi, bentuk kaset video, dan piringan laser (laser disc).
Sebagai bentuk tontonan, film memiliki waktu putar tertentu. Rata-rata satu setengah jam sampai dengan dua jam. Selain itu, film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikkan, melainkan juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik.
Alasan khusus – Karena ada unsur dalam usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu. Selain itu, karena film tampak hidup dan memikat, disamping menonton film dapat dijadikan bagian dari acara-acara kencan dalam kehidupan manusia.
Alasan utama – Seseorang menonton film untuk mencari nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah menyaksikan film, seseorang memanfaatkannya untuk mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas nyata yang dihadapi.
5.      Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
6.      Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
7.      FILM merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.
8.      Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.
9.      FILM mempunyai tiga nilai penting ketika dihadirkan sebagai ‘tontonan’ ke publik atau masyarakat luas. Ketiga nilai itu adalah nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan kepada publik yang menontonnya. Film yang baik tentunya film yang memiliki ketiga nilai penting tersebut. Seandainya ada film yang hanya menampilkan nilai menghibur semata, tapi mengabaikan nilai mendidik dan nilai artistiknya, tentunya film tersebut tidak layak disebut sebagai film yang baik.

10.  Nilai pendidikan suatu film bermakna semacam pesan-pesan moral yang disampaikan kepada penonton. Akan tetapi, pesan-pesan moral yang disampaikan di dalam alur cerita film tersebut tidak sampai menimbulkan kesan yang menggurui. Kebanyakan penonton tidak suka kepada film cerita yang terkesan terlalu menggurui. Karena hal itu akan menyebabkan penonton merasa diposisikan sebagai pihak yang ‘tidak tahu apa-apa’ dan harus diberi pengetahuan.
                                                                                                                         (SEA)

Pertemuan 7 MENGHAYATI DAN MENGKRITISI FILM


         Pertemuan 7
         MK: Sinematografi

MENGHAYATI DAN MENGKRITISI FILM

            SEPERTI halnya karya-karya seni yang lain, film sebagai salah satu media komunikasi dan karya seni juga membutuhkan ‘uluran tangan’ kritikus. Diakui atau tidak, keberhasilan suatu film dalam menarik perhatian atau minat masyarakat untuk menontonnya, tidak jarang terjadi karena pengaruh tulisan-tulisan para kritikus film lewat resensinya di media massa.
Anda ingin menjadi kritikus film? Menganalisa, mengkaji atau mengkritik suatu film bukanlah langkah yang mudah. Sebab, sebelum mampu menganalisa dan mengkritiknya, terlebih dulu kita dituntut untuk mampu menghayati film tersebut secara menyeluruh.
Kita tidak hanya harus mampu menghayati jalan atau alur cerita yang disajikan, tapi juga layaknya ‘peneliti’ bisa menyeruak lebih ‘dalam’ untuk menghayati, memahami dan mengetahui semua hal serta unsur-unsur yang mendukung keberadaan film tersebut. Di antaranya: gaya sutradara, unsur-unsur simbolisme dalam cerita, karakterisasi, konflik, setting, komposisi sinematik, editing, peran suara, musik, akting para pemerannya, dan sejumlah hal lainnya.
Tanpa bisa melakukan semuanya itu, janganlah mencoba-coba untuk menjadi kritikus film. Janganlah hanya menonton secara sambil lalu dan kemudian cepat-cepat menyimpulkan, sebab hal itu tidaklah akan menghasilkan suatu hasil penghayatan dan pemahaman yang dalam terhadap apa yang sesungguhnya ingin disampaikan oleh film tersebut ke publik.
Satu hal yang harus dipahami pula bahwa kritikus film bisa menjadi penyaring apakah suatu film itu memang layak ditonton oleh masyarakat atau tidak. Kalau suatu film menyampaikan pesan yang bisa berbahaya bagi kehidupan masyarakat, misalnya menyebarkan ajaran sesat, mengembangkan cara berpikir atau tingkah laku yang merusak, dan lain-lainnya yang merugikan, di sinilah kritikus film harus memainkan perannya. Kritikus bisa memberitahu masyarakat tentang ancaman-ancaman yang merugikan dari film tersebut. Dengan kata lain, kritikus bisa berperan sebagai pelindung dan pembela masyarakat agar terhindar dari bahaya yang diakibatkan oleh tayangan film. 

Menghayati Cerita
Untuk menganalisa suatu film, langkah awal yang harus dilakukan adalah menghayati ceritanya. Sederhana saja, sebuah film akan menarik perhatian penonton bila ceritanya bagus.
Joseph M. Boggs dalam “The Art of Watching Film” (Cara Menilai Sebuah Film – terjemahan Asrul Sani) menyatakan, sebuah cerita yang bagus itu memiliki sejumlah kriteria, yakni: bisa masuk akal, menarik, mengandung suspense atau ketegangan, ada unsur action, bersahaja tapi sekaligus kompleks, dan menahan diri dalam mengolah materi emosional.

Bisa masuk akal – Logika ‘kebenaran’ atau bisa masuk akal adalah sesuatu yang harus menjadi pegangan bila kita ingin menyelusuri atau ‘masuk lebih jauh’ ke dalam film tersebut. Di dalam film, ‘kebenaran’ itu setidaknya dapat tampil dalam tiga cara, yakni: kebenaran yang secara lahiriah dapat dilihat; kebenaran batin dari sifat manusia; dan kemiripan artistik dari ‘kebenaran’.
Kebenaran yang secara lahiriah dapat dilihat adalah merupakan ragam kebenaran yang secara umum banyak ditemukan pada cerita-cerita film. Apa yang diceritakan di dalam film tersebut merupakan hal-hal yang banyak ditemukan atau memiliki kesamaan dengan cerita-cerita yang terjadi di dalam kehidupan manusia.
Kebenaran batin dari sifat manusia adalah ‘kebenaran’ yang dipaksakan untuk hadir, meskipun sesungguhnya tidak selalu ‘kebenaran’ seperti itu terwujud di dalam kehidupanmanusia. ‘Kebenaran’ yang disajikan hanyalah semata untuk memberikan rasa senang, puas dan bahagia pada batin penontonnya. Misalnya, ‘kebenaran’ bahwa kebaikan pasti akan selalu mengalahkan kejahatan, orang-orang baik dan benar akan selalu menang sedangkan orang-orang jahat pasti akan kalah. Atau cinta sejati pasti akan mampu menyingkirkan halangan apapun, dan meraih kebahagiaan.
Kemiripan artistik dari ‘kebenaran’ adalah merupakan kepiawaian atau keterampilan pembuat film dalam menjadikan sesuatu yang sesungguhnya berlawanan dengan logika (tidak masuk akal) menjadi tontonan yang ‘dipercaya’ oleh penontonnya. Pembuat film atau sutradara berhasil membawa penonton untuk keluar dari alam nyata dan masuk ke dalam alam imajiner.
Menarik – Cerita film yang bagus adalah cerita yang mampu menarik, mengikat dan ‘memenjarakan’ perhatian penontonnya. Dari awal sampai akhir cerita, penonton merasa terus terbawa ke dalam alur cerita. Pengertian menarik tentu tidak bisa disamakan kepada beragam sifat dan kecenderungan penonton. Sebab, setiap orang punya sifat dan pilihan yang berbeda satu sama lain dalam hal jenis film yang disukai.
Tapi yang pasti, menarik yang kita inginkan adalah film itu tidak membosankan saat disaksikan.

Suspense (Ketegangan) – Cerita film yang bagus adalah cerita yang mampu menghadirkan unsur suspense atau ketegangan ke hadapan penontonnya.
Menurut Joseph M. Boggs, unsur ketegangan ini menciptakan suatu keadaan dimana perhatian penonton menjadi lebih tinggi dengan jalan menggugah rasa ingin tahu. Biasanya dengan jalan ‘menyinggung’ kemungkinan apa yang terjadi tanpa mengungkapkannya sema sekali.
Ketegangan ini pun dapat ditampilkan dengan cara menahan sejumlah informasi yang dapat memberikan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan dramatik yang ditimbulkan oleh cerita, lalu membiarkan pertanyaan yang tidak terjawab itu mengambang jauh.

Action (Gerak) – Cerita film yang menarik harus memiliki unsur action atau gerak. Akan tetapi harus diingat, bahwa action tidak terbatas pada gerakan fisik seperti berlari, terjun, perkelahian dan semacamnya, namun juga bisa bersifat batiniah,psikologis dan emosional.

Bersahaja tapi sekaligus kompleks – Cerita film yang bagus adalah cerita yang mampu tampil secara bersahaja. Bersahaja dalam pengertian tidak berlebih-lebihan, dan sesuai dengan batas waktu yang ada. Meskipun bersahaja tapi cerita itu harus pula memiliki kompleksitas.
Artinya, cerita itu tidak hanya mampu memberikan sinyal-sinyal atau tanda-tanda kepada penonton tentang bagaimana akhir dari cerita tersebut, tapi juga mampu menumbuhkan atau membangkitkan rasa keingintahuan, takjub, mengejutkan atau hal-hal yang tidak terduga.
Menahan diri dalam mengolah materi emosional – Cerita film yang baik adalah cerita film yang mampu menahan diri dalam mengolah materi emosional. Meskipun emosional penonton merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi sebuah film, tapi cerita film tidak bisa dengan ‘sewenang-wenang’ atau tidak bisa berbuat sesuka hati dalam menarik maupun menguasai emosi penonton tersebut.
Cerita film harus mampu menahan diri untuk tidak memanipulasi emosi penonton dengan menempuh cara apapun. Emosi penonton haruslah dimanipulasi dengan cara yang jujur dan sesuai cerita yang ditampilkan.

Gaya Sutradara
Gaya sutradara merupakan hal yang cukup penting untuk kita ketahui bila ingin menganalisa sebuah film.
Apa yang dimaksud dengan gaya sutradara? Gaya sutradara yang dimaksud tentu bukanlah bagaimana gayanya berjalan, gayanya bertutur-sapa atau gayanya ketika berhadapan dengan orang lain. Secara sederhana, gaya sutradara dapat diartikan sebagai gaya atau cara sutradara dalam mengutarakan pribadinya yang unik melalui bahasa media film.
Menurut Joseph M. Boggs, sebelum melakukan analisa dari unsur-unsur yang terpisah-pisah, yang mengungkapkan sesuatu gaya dalam sebuah film, ada baiknya kita terlebih dulu membuat sebuah pengamatan umum tentang film sebagai suatu keseluruhan.
Dalam analisa menyeluruh secara umum, menurut Boggs, kita perlu mempertimbangkan terlebih dulu mana yang dari istilah-istilah berikut ini yang dapat dipergunakan untuk melukiskan secara tepat apa yang menjadi titik berat oleh sebuah film:
1.      Intelektual dan rasional atau emosional dan sesuai.
2.      Tenang dan lengang atau cepat dan menggairahkan.
3.      Dipoles dan licin atau kasar dan mentah.
4.      Dingin dan obyektif atau hangat dan subyektif.
5.      Biasa dan usang atau segar, unik dan orisinil.
6.      Berstruktur ketat, langsung dan padat atau berstruktur longgar dan tak teratur.
7.      Benar dan realistik atau romantik dan diidealkan.
8.      Bersahaja dan terus terang atau kompleks dan tidak langsung.
9.      Dalam, serius, tragis dan berat atau ringan, lucu, penuh humor.
10.  Terkendali dan merendah atau berlebih-lebihan.
11.  Optimistik dan penuh harapan atau getir dan sinis.
12.  Logis dan teratur rapi atau irasional dan kacau.
                                 (Cara Menilai Sebuah Film – terjemahan Asrul Sani)

Gaya sutradara itu akan dapat kita lihat pada pilihan subyek cerita, unsur-unsur sinematografi (gaya visual), gerak kamera, editing, pilihan setting dan desain set, suara dan skor musik, serta casting dan permainan.
Menghayati dan memahami cerita film dan gaya sutradaranya, sudah bisa membantu kita untuk memperoleh bahan dalam upaya menganalisa sebuah film dan kemudian mengkritisinya dalam bentuk tulisan resensi film. Resensi itu akan lebih berbobot lagi bila kita mampu menghayati dan memahami unsur-unsur lainnya, seperti musik, akting pemeran (aktor dan aktrisnya) dan lain-lainnya.  ***
                                                                               (sutirman eka ardhana)

Pertemuan 6 : APRESIASI FILM


          Pertemuan 6
          MK: Sinematografi

APRESIASI FILM

            FILM mempunyai tiga nilai penting ketika dihadirkan sebagai ‘tontonan’ ke publik atau masyarakat luas. Ketiga nilai itu adalah nilai hiburan, nilai pendidikan dan nilai artistik. Hampir semua film dalam beberapa hal bermaksud untuk menghibur, mendidik dan menawarkan rasa keindahan kepada publik yang menontonnya. Film yang baik tentunya film yang memiliki ketiga nilai penting tersebut. Seandainya ada film yang hanya menampilkan nilai menghibur semata, tapi mengabaikan nilai mendidik dan nilai artistiknya, tentunya film tersebut tidak layak disebut sebagai film yang baik.

Nilai Hiburan
Nilai hiburan (menghibur) sangat penting. Suatu film bisa dikategorikan sebagai film yang gagal atau tidak berhasil bila sejak awal hingga akhir tayangannya tidak mampu mengikat atau menarik perhatian penonton.
Nilai menghibur suatu film tidak hanya sekadar membuat orang bahagia, senang, tertawa, tegang, bahkan bergairah dalam menikmati sensasi gambar atau adegan demi adegan di dalam film tersebut. Sebab, sesungguhnya hiburan yang lebih dalam tertuju kepada pikiran maupun emosi penontonnya. Film dengan hiburan seperti itu biasanya memberikan semacam renungan kepada penonton.

Nilai Pendidikan
Nilai pendidikan suatu film bermakna semacam pesan-pesan moral yang disampaikan kepada penonton. Akan tetapi, pesan-pesan moral yang disampaikan di dalam alur cerita film tersebut tidak sampai menimbulkan kesan yang menggurui. Kebanyakan penonton tidak suka kepada film cerita yang terkesan terlalu menggurui. Karena hal itu akan menyebabkan penonton merasa diposisikan sebagai pihak yang ‘tidak tahu apa-apa’ dan harus diberi pengetahuan.
Hampir semua film telah mengajari atau memberitahu kita tentang sesuatu yang berarti bagi kehidupan manusia. Misalnya, suatu film telah memberikan pelajaran sangat berharga kepada kita tentang bagaimana bergaul dengan orang lain, bertingkah laku serta berinteraksi dalam kehidupan yang beragam dan plural.
Karena itulah, film yang baik adalah film yang dapat meneguhkan manusia dalam menjalani kehidupannya. Film yang baik adalah juga film yang mampu memberikan pencerahan sekaligus pemahaman kepada publik penontonnya tentang bagaimana pentingnya membangun diri. Pembangunan diri itu misalnya meninggalkan perilaku yang negatif dan menggantikannya dengan perilaku yang positif.

Nilai Artistik
Nilai artistik suatu film akan terwujud apabila keartistikannya dapat ditemukan pada seluruh unsurnya.
Pada dasarnya setiap manusia pasti menyukai hal-hal yang indah, menarik dan mempesona. Kecenderungan sifat manusia yang seperti itu tentu harus selalu diperhatikan oleh para pembuat film, bila ingin film yang diproduksi tersebut mendapat sambutan yang semestinya oleh publik penonton.
Nilai-nilai yang indah, menarik dan mempesona itu tidak hanya diperoleh dari tayangan yang menampilkan lingkungan kehidupan orang-orang kaya dengan rumah mewah, kendaraan mewah, baju-baju yang gemerlap, serta kehidupan yang serba menyenangkan. Nilai-nilai keindahan itu juga tidak hanya ada pada tayangan yang menampilkan suatu pantai indah, gunung yang hijau mempesona, atau pun taman bunga yang dipenuhi bunga warna-warni.
Penata artistik yang profesional tentu bisa menghadirkan keindahan dari beragam sudut kehidupan. Keindahan dapat ditemukan dari tampilan suatu lokasi pemukiman masyarakat miskin, dari lokasi-lokasi kumuh, dari rumah-rumah yang hanya berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu, maupun dari kehidupan di kolong jembatan yang ada di kota-kota besar. Dengan kata lain, keindahan atau nilai artistik bisa dihadirkan di lokasi manapun atau dalam warna kehidupan seperti apapun.
Dan, suatu film sebaiknya memang harus dinilai secara artistik, bukan dinilai secara rasional.
***

Ketiga nilai tersebut sangat penting artinya bagi suatu film dalam berkomunikasi dengan penonton. Terlebih film memang merupakan suatu bentuk media komunikasi. Artinya, pembuat film ditantang untuk mampu menghasilkan suatu karya film yang bisa berkomunikasi dengan publik penonton. Dengan demikian, apabila suatu film yang diproduksi itu tidak mampu berkomunikasi dengan publik penonton, maka film tersebut gagal untuk disebut sebagai film yang baik dan berhasil.
Sebaik-baiknya sebuah film, tetap dapat dipertanyakan apakah film tersebut akan dapat berkomunikasi dengan publik, baik secara terbatas (tertentu) maupun seluas-luasnya.
***

Tema Film

DARI semua hal atau unsur yang ada di dalam film, tema memiliki fungsi sebagai faktor dasar pemersatu sebuah film dalam upaya untuk menghadirkan jalinan komunikasi dengan penonton.
Akan tetapi, bagi penonton yang ingin menjadi pengamat atau penganalisa film, menemukan tema pada sebuah film bukanlah hal yang mudah.
Sesungguhnya, menurut Joseph M. Boggs dalam “The Art of Watchinf Film” (Cara Menilai Sebuah Film – terjemahan Asrul Sani), tema film dapat ditemukan pada plot, efek emosional, tokoh dan ide film.

Plot sebagai tema
Tema dapat kita temukan di dalam plot film. Misalnya, pada jenis film petualangan, detektif, dan lain-lainnya. Di dalam film-film jenis ini, tokoh-tokoh, ide dan efek emosional film ditentukan oleh plot.
Hal terpenting bagi sebuah film adalah hasil akhirnya. Tetapi bagi film-film jenis tersebut, inti atau tema film hanya bisa dirangkum dengan baik dalam sebuah ringkasan pendek dari peristiwa-peristiwa yang terjadi.

Efek emosional atau suasana sebagai tema
Sebagian besar film menggunakan suasana (mood) yang sangat khusus sekali atau efek emosional sebagai fokus (landasan structural).
Dalam film-film jenis ini, sekalipun mungkin plot memainkan peran penting, namun rentetan peristiwa-peristiwa itu sendiri ditentukan oleh reaksi emosional yang bisa disebabkan oleh peristiwa-peristiwa itu sendiri.
Hal ini dapat kita temukan pada film-film horror atau misteri.

Tokoh sebagai tema
Tidak sedikit film yang berpusat pada penggambaran suatu tokoh tunggal yang unik melalui akting (laku) dan dialog.
Daya tarik dari tokoh-tokoh ini terkandung dalam keunikan mereka, serta dalam sifat-sifat dan ciri-ciri yang membedakan mereka dari orang-orang biasa.
Tema film-film ini dapat ditemukan dengan baik dalam pembeberan singkat dari tokoh-tokoh dengan memberikan penekanan pada aspek-aspek luar biasa dari kepribadian tokoh tersebut.

Ide sebagai tema
Suatu tema ide tentu saja dapat dikemukakan secara langsung melalui peristiwa-peristiwa tertentu atau tokoh-tokoh tertentu, akan tetapi seringkali tema itu tampil secara tidak langsung setelah kita menemukan penafsirannya.
Identifikasi subyek sebenarnya dari sebuah film adalah langkah yang sangat berarti dalam menganalisa film tersebut.
***
Tetapi kita dapat juga menemukan tema-tema itu dalam hal-hal sebagai berikut:
1.      Tema sebagai sebuah pernyataan moral
Film-film seperti ini terutama dimaksudkan untuk meyakinkan kita tentang kebijaksanaan atau kepraktisan prinsip moral tertentu, dan dengan demikian mengajak kita untuk menerapkan prinsip-prinsip tersebut dalam tingkah laku kita.
2.      Tema sebagai suatu pernyataan tentang hidup
Film-film seperti ini memfokuskan diri pada penunjukan suatu “kebenaran tentang hidup”. Dengan berbuat demikian, film-film menumbuhkan suatu kesadaran realitas yang lebih tajam.
Film seperti ini memberikan komentar tentang fitrah pengalaman manusia atau penilaian tentang keadaan manusia.
3.      Tema sebagai pernyataan tentang sifat manusia
Film-film seperti ini memfokuskan pada diri tokoh-tokoh universal atau representatif. Film-film ini berkembang melampaui batas-batas telaah watak semata, karena tokoh-tokoh yang digambarkan mempunyai arti lebih besar dari diri mereka sendiri.
Karena tokoh-tokoh tersebut adalah tokoh-tokoh yang mewakili manusia secara umum, maka mereka digunakan sebagai tumpangan sinematik untuk memberikan illustrasi mengenai beberapa kebenaran tentang sifat-sifat manusia yang diterima secara luas atau secara universal.
4.      Tema sebagai komentar sosial
Film-film seperti ini menaruh perhatian besar pada masalah-masalah sosial. Karenanya di dalam film-film ini ada ungkapan-ungkapan kritik sosial dan keinginan untuk adanya suatu perubahan sosial pada masyarakat.
5.      Tema sebagai teka-teki moral atau falsafi
Film-film seperti ini secara sengaja dibuat dengan tidak ada upaya untuk berkomunikasi secara jelas kepada penontonnya, tetapi hanya berusaha memberi kesan atau memistifikasikan.
Film-film ini lebih cenderung membeberkan atau menghadirkan pertanyaan-pertanyaan atau filsafat dari pada memberikan jawaban-jawabannya.
Film-film jenis ini berkomunikasi melalui lambang-lambang atau citra-citra. Sehingga untuk kepentingan sebuah penafsiran diperlukan analisa yang seksama dari semua unsur-unsurnya.  
                                                                                (sutirman eka ardhana)


Sabtu, 05 Oktober 2013

Pertemuan ke-5 UNSUR-UNSUR DALAM FILM

MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan ke-5



UNSUR-UNSUR DALAM FILM

            FILM merupakan hasil karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film pasti melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi. Unsur-unsur yang dominan di dalam proses pembuatan film antaralain: produser, sutradara, penulis skenario, penata kamera (kameramen), penata artistik, penata musik, editor, pengisi dan penata suara, aktor-aktris (bintang film), dan lain-lain.
Biasanya di dalam tim kerja produksi film masing-masing unsur tersebut terbagi dalam departemen-departemen yang disiapkan. Departemen-departemen yang ada di dalam tim kerja film itu meliputi: Departemen Produksi, Departemen Penyutradaraan, Departemen Kamera, Departemen Artistik, Departemen Editing dan Departemen Suara.

Produser
Unsur paling utama (tertinggi) dalam suatu tim kerja produksi atau pembuatan film adalah produser. Karena produserlah yang menyandang atau mempersiapkan dana yang dipergunakan untuk pembiayaan produksi film.
Produser merupakan pihak yang bertanggungjawab terhadap berbagai hal yang diperlukan dalam proses pembuatan film. Selain dana, ide atau gagasan, produser juga harus menyediakan naskah yang akan difilmkan, serta sejumlah hal lainnya yang diperlukan dalam kaitan proses produksi film. Dalam kaitan penyediaan naskah, produser bisa mencarinya atau mendapatkan melalui berbagai cara. Misalnya mencari naskah cerita dari penulis, mengambil dari novel, meminta seorang penulis untuk menulisnya, dan sejumlah cara lainnya lagi.
Di dalam tim kerja produksi film, produser biasanya sekaligus memimpin Departemen Produksi.

Sutradara
Sutradara merupakan pihak atau orang yang paling bertanggungjawab terhadap proses pembuatan film di luar hal-hal yang berkaitan dengan dana dan properti lainnya. Karena itu biasanya sutradara menempati posisi sebagai ‘orang penting kedua’ di dalam suatu tim kerja produksi film.
Di dalam proses pembuatan film, sutradara bertugas mengarahkan seluruh alur dan proses pemindahan suatu cerita atau informasi dari naskah scenario ke dalam aktivitas produksi. Sutradara bertanggungjawab menggerakkan semua unsur pekerja (tim kerja) yang terlibat di dalam proses produksi film. Oleh karenanya, berhasil atau tidaknya, bagus atau tidaknya suatu karya film yang diproduksi berada di tangan sang sutradara.
Di dalam tim kerja produksi film, sutradara memimpin Departemen Penyutradaraan.

Penulis Skenario
Skenario film adalah naskah cerita film yang ditulis dengan berpegang pada standar atau aturan-aturan tertentu.
Skenario atau naskah cerita film itu ditulis dengan tekanannya lebih mengutamakan visualisasi dari sebuah situasi atau peristiwa melalui adegan demi adegan yang jelas pengungkapannya.
Jadi, penulis skenario film adalah seseorang yang menulis naskah cerita yang akan difilmkan. Naskah skenario yang ditulis penulis skenario itulah yang kemudian digarap atau diwujudkan sutradara menjadi sebuah karya film.
Di dalam menulis naskah skenario, seorang penulis skenario haruslah benar-benar memahami atau menguasai bahasa film. Bahasa film merupakan sarana-sarana yang digunakan dalam menyampaikan pesan cerita atau segala sesuatu yang ada di dalam film itu kepada publik penontonnya. Sarana-sarana yang merupakan bahasa film itu meliputi gambar, space (jangka waktu) dan sound.
Namunpun begitu, kemampuan menguasai bahasa film bukanlah satu-satunya syarat yang harus dimiliki oleh seorang penulis. Syarat penting lainnya adalah memiliki kemampuan menjadi seorang penulis cerita.
Menurut Prof. Dr. RM. Soelarko, untuk menjadi penulis cerita yang baik diperlukan delapan persyaratan pokok. Ke delapan syarat pokok itu meliputi: penguasaan bahasa; penggunaan bahasa secara efektif; penggunaan logat yang didasarkan atas asal suku bangsa, umur (anak atau orangtua), kelas masyarakat; penggunaan gaya cerita yang mengikat; lukisan tipe dari figur-figur pemerannya; lukisan watak (karakterisasi) dari figure-figur; tingkah laku dan ucapan, yang dilandasi oleh watak pribadi; uraian tentang mood dan emosi figur-figur pemeran (lihat – Eddy D. Iskandar, Panduan Praktis Menulis Skenario, PT Remaja Rosdakarya, 1999).

Penata Kamera (Kameramen)
Penata kamera atau popular juga dengan sebutan kameramen adalah seseorang yang bertanggungjawab dalam proses perekaman (pengambilan) gambar di dalam kerja pembuatan film.
Seperti halnya sutradara, kameramen juga mempunyai peran yang sangat penting dalam keberhasilan suatu film yang diproduksi.
Film adalah serentetan gambar yang bergerak dengan atau tanpa suara, baik yang terekam pada film, video tape, video disc, atau media lainnya. Sedangkan bahasa film adalah bahasa gambar.
Jadi, film menyampaikan ceritanya melalui serangkaian gambar yang bergerak, dari satu adegan ke adegan lainnya, dari satu emosi ke emosi lain, dari satu peristiwa ke peristiwa yang lain.
Faktor utama dalam film adalah kemampuan gambar bercerita kepada publik penontonnya. Karena itu, seorang penata kamera atau kameramen dituntut untuk mampu menghadirkan cerita yang menarik, mempesona dan menyentuh emosi penonton melalui gambar demi gambar yang direkamnya di dalam kamera.
Di dalam tim kerja produksi film, penata kemera memimpin Departemen Kamera.

Penata Artistik
Penata artistik (art director) adalah seseorang yang bertugas untuk menampilkan cita rasa artistik pada sebuah film yang diproduksi.
Sebelum suatu cerita divisualisasikan ke dalam film, penata artistik setelah terlebih dulu mendapat penjelasan dari sutradara, segera membuat gambaran kasar adegan demi adegan di dalam sketsa, baik secara hitam putih maupun berwarna.
Tugas seorang penata artistik di antaranya menyediakan sejumlah sarana seperti lingkungan kejadian, tat arias, tata pakaian, perlengkapan-perlengkapan yang akan digunakan para pelaku (pemeran) film dan lainnya.
Tugas penting penata artistik yang tidak bisa diabaikan termasuk menggoda atau menghadirkan khayal penonton ke suatu dunia yang indah, menarik dan fantastis.
Di dalam tim kerja produksi film, penata artistik memimpin Depertemen Artistik.

Penata Musik
Film dan musik merupakan dua hal yang memang seperti tidak bisa dipisahkan. Tidak jarang, film menjadi populer atau terkenal karena illustrasinya musiknya yang menarik.
Penata musik adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab sepenuhnya terhadap pengisian suara musik tersebut. Seorang penata musik dituntut tidak hanya sekadar menguasai musik, tetapi juga harus memiliki kemampuan atau kepekaan dalam mencerna cerita atau pesan yang disampaikan oleh film. Dengan kemampuannya maka ia akan mampu memilih musik yang tepat atau sesuai dengan alur cerita film.
Illustrasi musik akan membuat adegan-adegan atau dialog-dialog di dalam film semakin mampu berkomunikasi dan dihayati oleh penonton. Illustrasi musik akan semakin membuat perasaan penonton menjadi hanyut lebih dalam lagi dengan adegan-adegan film yang ditontonnya.

Editor
Baik atau tidaknya sebuah film yang diproduksi akhirnya akan ditentukan pula oleh seorang editor yang bertugas mengedit gambar demi gambar dalam film tersebut.
Jadi, editor adalah seseorang yang bertugas atau bertanggungjawab dalam proses pengeditan gambar. Proses pengeditan dilakukan selain untuk membuang adegan-adegan yang tidak perlu, juga untuk menyesuaikan dengan space atau jangka waktu film yang sudah ditetapkan.
Meskipun bertanggungjawab sepenuhnya terhadap proses editing, tetapi dalam melaksanakan tugasnya editor tetap harus selalu menjalin komunikasi atau berkoordinasi dengan sutradara. Karena di benak seorang sutradara sejak awal sudah ada penilaian atau pilihan tentang adegan mana yang perlu dan mana yang tidak terlalu penting. Bagian yang tidak penting itulah yang nantinya akan disingkirkan oleh editor.
Sebelum masuk ke dalam laboratorium untuk proses akhir, film yang diproduksi itu harus terlebih dulu singgah ke meja editing.
Di dalam tim kerja film, editor memimpin Departemen Editing.

Pengisi dan Penata Suara
Pengisi suara adalah seseorang yang bertugas mengisi suara pemeran atau pemain film. Jadi, tidak semua pemeran film menggunakan suaranya sendiri dalam berdialog di film.
Penata suara adalah seseorang atau pihak yang bertanggungjawab dalam menentukan baik atau tidaknya hasil suara yang terekam dalam sebuah film.
Di dalam tim kerja produksi film, penata suara memimpin Departemen Suara.

Bintang Film (Pemeran)
Bintang film atau pemeran film dan biasa juga disebut aktor dan aktris adalah mereka yang ‘membintangi’ film yang diproduksi dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita film tersebut.
Keberhasilan sebuah film tidak bisa lepas dari keberhasilan para aktor dan aktris dalam memerankan tokoh-tokoh yang diperankan sesuai dengan tuntutan skenario (cerita film), terutama dalam menampilkan watak dan karakter tokoh-tokohnya. 
                                                                                (sutirman eka ardhana)