Selasa, 17 September 2013

Pertemuan 4: SEJARAH PERFILMAN INDONESIA (II)

MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 4

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA
(II)
 
SEJARAH perjalanan film di negeri kita tidak bisa dilepaskan dengan sejarah perjuangan bangsa kita dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Setelah Jepang menyerah kepada sekutu di bulan Agustus 1945, dan Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menyerahkan Nippon Eighasha kepada Pemerintah Republik Indonesia yang ketika itu sedang dalam tahap penataan diri. Oleh Pemerintah Republik, lembaga film buatan pemerintah pendudukan Jepang itu diserahkan kepada instansi atau lembaga yang diberi nama Berita Film Indonesia (BFI) dipimpin RM. Sutarto.
Meskipun sudah menyerahkan lembaga film Nippon Eighasha, akan tetapi pemerintah pendudukan Jepang belum mau menyerahkan wewenang pemerintahan sepenuhnya kepada Pemerintah RI. Bahkan pada tanggal 10 September 1945, Panglima Bala Tentara Jepang di Jawa menyatakan akan menyerahkan wewenang pemerintahan di Indonesia kepada pihak Sekutu. Akhir September 1945 tentara Sekutu mendarat di Indonesia. Belanda yang tidak rela Indonesia merdeka memboncengkan tentaranya bersama-sama Sekutu masuk lagi ke Indonesia.
Pertempuran mempertahankan kemerdekaan melawan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi tentara Belanda (NICA) terjadi di berbagai kota dan daerah. Di tengah-tengah gejolak mempertahankan kemerdekaan, pada tanggal 4 Januari 1946 Pemerintah RI pindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Dengan kepindahan ini pusat pemerintahan atau ibukota RI juga beralih dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejak Januari 1946 itu kota Yogyakarta menjadi pusat segaka aktivitas pemerintahan. Para pekerja film atau insan-insan film juga ikut pindah ke Yogyakarta.  Di Yogyakarta sejumlah orang film menggabungkan dirinya ke dalam kekuatan perjuangan dengan menjadi tentara. Usmar Ismail misalnya, ia ikut menjadi tentara dengan pangkat Mayor,  selain dipercaya pula untuk memimpin koran perjuangan yang bernama “Patriot”.
Sejak proklamasi kemerdekaan sampai tahun 1947, produksi film di negeri kita bisa dikatakan dalam kondisi padam, karena tidak ada satu pun film yang diproduksi. Meskipun begitu upaya-upaya untuk tetap membangkitkan gairah dan semangat berkarya di dunia film tetap dilakukan. Pada tahun 1947 di Yogyakarta didirikan lembaga studi drama dan film yang diberi nama Kino Drama Atelier (KDA). Dr. Huyung (Hinatsu Heitaro), seorang mantan tentara Jepang yang menolak pulang ke negerinya dan memilih bergabung dengan para pejuang RI, dipercaya memimpin KDA. Di masa pendudukan Jepang, Huyung yang memang sarjana sastra lulusan Universitas Waseda di Tokyo itu memang dipercaya sebagai tentara yang bertugas menangani bidang seni teater, terutama dalam menggalakkan propaganda Jepang melalui seni tetar atau drama.
Pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan Perundingan Renville antara Pemerintah RI dan Belanda yang berlangsung di atas Kapal Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta. Usmar Ismail dalam kapasitasnya sebagai pemimpin redaksi koran “Patriot” ikut berangkat ke Jakarta untuk meliput jalannya perundingan. Tapi malang, ia ditangkap dan ditahan oleh tentara Belanda. Penangkapan itu dilakukan setelah Belanda mengetahui bahwa Usmar Ismail juga seorang tentara republik yang berpangkat Mayor.
Di tengah-tengah masa penuh gejolak seperti itu, pihak Belanda dengan bantuan Sekutu telah menguasai kembali Jakarta dan sejumlah kota lainnya itu mulai melirik lagi ke film. Mereka berpendapat, film bisa digunakan sebagai media berkomunikasi dan mempengaruhi kejiwaan masyarakat untuk beramai-ramai kembali ke kota-kota dari pengungsiannya di daerah-daerah pedalaman yang dikuasai Pemerintah RI. Dengan film, masyarakat juga akan diyakinkan bahwa kondisi di kota-kota sudah aman dan nyaman, serta Belanda sudah menciptakan kestabilan dan kenyamanan di mana-mana.
Ketika Belanda kembali menguasai Jakarta, maka mereka mengambil alih pula Berita Film Indonesia (BFI) dan menghidupkan kembali perusahaan film mereka yang ada sebelum masa pendudukan Jepang, NV Multi Film (ex ANIF). Karena sejak awal NV Multi Film memang bertugas memproduksi film-film non-features seperti film dokumenter, maka pada tahun 1948 NV Multi Film membentuk devisi usaha yang khusus untuk memproduksi film-film features atau film-film cerita. Devisi usaha dari NV Multi Film itu diberi nama  South Pasific Film Corp. (SPFC).
Anjar Asmara, seseorang yang punya pengalaman dalam soal film karena pernah membuat satu film produksi Java Industrial Film (JIF) sebelum pendudukan Jepang dipercaya oleh SPFC untuk menyutradarai dua judul film. Demikian pula halnya dengan Usmar Ismail yang ketika itu menjadi tahanan pihak Belanda di Jakarta, ia pun dikeluarkan dari tahanan dan dipercaya untuk mendampingi Anjar Asmara, dengan menjadi asisten sutradara.
Dua judul film produksi SPFC di tahun 1948 yang disutradarai Anjar Asmara dengan asisten sutradara Usmar Ismail itu Jauh Dimata dan Gadis Desa. Setelah menyutradarai kedua film itu, Anjar Asmara lalu meninggalkan SPFC. Posisinya sebagai sutradara kemudian digantikan oleh Usmar Ismail.
Dalam posisinya sebagai sutradara, tahun 1949 Usmar Ismail melalui produksi SPFC menggarap dua judul film, Citra (Tjitra) dan Harta Karun. Film Citra merupakan film garapan pertama Usmar Ismail, yang diangkat dari naskah sandiwaranya yang pernah dipanggungkan semasa pendudukan Jepang. Sedangkan Harta Karun merupakan cerita saduran dari “L’Avare” karya pengarang Perancis, Molier.
Sepanjang 1948 dan 1949 orang-orang film lainnya pun mulai menggeliat. Wong Bersaudara bekerjasama dengan Tan Koen Hian mendirikan “Tan & Wong Brothers” yang kemudian memproduksi film Air Mata Mengalir di Tjitarum. Kemudian disusul The Teng Chun bekerjasama dengan Fred Young mendirikan perusahaan film “Bintang Surabaya” dan memproduksi film Sapu Tangan.
Di masa-masa itu, Kino Drama Atelier (KDA) juga ikut menggeliat di Yogyakarta. Dalam serba keterbatasan, KDA sempat memproduksi dua judul film yang disutradarai Dr. Huyung. Dua film produksi KDA itu, Antara Bumi dan Langit serta Bunga Rumah Makan (lihat Eddy D. Iskandar, Mengenal Perfilman Nasional, 1987).
Pada tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan dan ibukota RI kembali beralih ke Jakarta setelah sehari sebelumnya Pemerintah Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Dengan beralihnya kembali ibukota RI dari Yogyakarta ke Jakarta, maka semua aktivitas kembali berpusat di Jakarta. Termasuk aktivitas di bidang perfilman. Bahkan Usmar Ismail yang sebelumnya sempat terlibat dalam ketentaraan dengan pangkat Mayor, menyatakan keluar dari kemiliteran dan kembali ke kehidupan sipil, karena ingin sepenuhnya bergelut di dunia seni film.

Masa Kebangkitan dan Kehancuran
Tahun 1950 merupakan tahun kebangkitan film nasional di era kemerdekaan. Tapi era 1950 sampai 1957, oleh Misbach Jusa Biran, disebut sebagai masa “bangkit dan hancurnya” perfilman nasional. Karena setelah bangkit di tahun 1950 dan sempat menikmati masa-masa cemerlang, mulai tahun 1956 hingga 1957 dunia perfilman nasional mengalami masa-masa kritis, penuh hambatan, bahkan disebut juga sebagai masa kehancuran.
Kebangkitan film nasional di tahun 1950 itu ditandai dengan perusahaan film nasional Perfini (Perusahaan Film Nasional Indonesia) yang didirikan oleh Usmar Ismail. Film produksi perdana Perfini, Darah dan Doa (The Long March of Siliwangi), yang langsung disutradarai sendiri oleh Usmar Ismail, sedangkan skenarionya ditulis penyair Sitor Situmorang.

Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. (Sutirman Eka Ardhana)***

Pertemuan 3: SEJARAH PERFILMAN INDONESIA (I)

MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 3

SEJARAH PERFILMAN INDONESIA
(I)

            PERJALANAN dan perkembangan dunia perfilman di tanah air kita menarik untuk disimak. Sesungguhnya sejarah pengenalan seni hiburan yang populer disebut film ini di Indonesia tidak berjarak terlalu jauh dengan yang berlangsung di Barat (Eropa dan Amerika). Bahkan bangsa Indonesia (Hindia Belanda) lebih dulu mengenal dunia pertunjukan film dibandingkan dengan Italia.
Kemunculan atau kelahiran bioskop pertama di dunia terjadi pada 28 Desember 1895 di Paris. Ketika itu tempat yang dijadikan bioskop untuk memutar film tersebut adalah sebuah kafe di salah satu ruang bawah tanah. Budaya menonton film dengan membeli karcis atau tiket masuk diperkenalkan pada waktu yang sama. Sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop) bermunculan dan berkembang di Amerika Serikat. Kala itu tempat pemutaran film tersebut dikenal dengan sebutan nickelodeon.
 Lantas, kapan negeri kita mulai mengenal pertunjukan hiburan yang kemudian dikenal dengan nama film tersebut?
Di dalam surat kabar Bintang Betawi terbitan hari Rebo tanggal 5 Desember 1900 terdapat iklan yang menginformasikan tentang adanya “pertoenjoekan besar jang pertama”. Sebagian dari isi iklan yang dipasang De Nederlandsche Bioscope Maatschappij itu menyatakan:
“Ini malem 5 Desember PERTOENJOEKAN BESAR JANG PERTAMA dan
 teroes saban malem di dalem satoe roemah di Tanah Abang  Kebondjae
 (MANAGE) moelain poekoel TOEDJOE malem.”

Pertunjukan besar yang dimaksudkan dalam iklan pada surat kabar Bintang Betawi itu adalah ‘tontonan gambar-gambar idoep’. Iklan pada surat kabar tersebut edisi Jumat 30 November 1900 antara lain menyatakan akan adanya ‘tontonan amat bagoes jaitoe gambar-gambar idoep’. ‘Tontonan gambar-gambar idoep’ itulah yang kini populer dengan sebutan film.
Melihat pada apa yang diinformasikan surat kabar Bintang Betawi edisi 5 Desember 1900 lewat iklan tersebut jelaslah jika tontonan film di negeri kita sudah dimulai pada tanggal 5 Desember 1900. Jadi, rentang waktu keberadaan tontonan film di negeri kita dengan keberadaan bioskop pertama di dunia tahun 1895, hanya berjarak lima tahun saja.
Tempat pemutaran film (bioskop) di Amerika Serikat muncul dan berkembang mulai tahun 1905. Sedang di negeri kita tempat pemutaran film di sebuah bangunan rumah (bioskop) itu sudah ada sejak tahun 1900. Melihat dari data ini, jelaslah Batavia (sekarang Jakarta) telah lebih dulu memperkenalkan tempat pertunjukan film dibandingkan kota-kota di Amerika Serikat.

Pembuatan Film
Sejarah pembuatan film di negeri kita sudah diawali sejak tahun 1910. Tapi film-film yang diproduksi saat itu adalah film-film non-features. Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mendatangkan sejumlah ahli dan pekerja pembuat film dari Negeri Belanda untuk membuat film dokumenter tentang apa dan bagaimana Hindia Belanda. Film-film non-features yang dibuat dimaksudkan untuk mengenalkan keberadaan Hindia Belanda kepada masyarakat di Negeri Belanda.
Enambelas tahun kemudian, tepatnya di tahun 1926, film feature atau film cerita baru diproduksi di Hindia Belanda. Sejarah perjalanan pembuatan film cerita di Hindia Belanda diawali dengan diproduksinya sebuah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng”. Jika sejarah kelahiran bioskop diawali di Batavia, maka sejarah kelahiran film cerita di negeri kita diawali di kota Bandung pada tahun 1926. Film cerita bisu pertama produksi Java Film Company yang mengangkat tentang legenda di bumi Priangan itu merupakan karya bersama seorang Belanda bernama L. Heuveldorp dan seorang Jerman bernama G. Kruger.
Di tahun 1927, Kruger membuat perusahaan film sendiri bernama Krugers Filmbedriff. Film-film yang diproduksinya antara lain Eulis Acih, Karnadi Tangkap Bangkong dan Atma de Visser.
Bandung memang merupakan kota kelahiran film-film cerita. Setelah film  Loetoeng Kasaroeng, F.Carli yang tinggal di Bandung juga tergerak untuk ikut membuat film dengan mendirikan Cosmos Film yang kemudian berubah menjadi Kinowerk Carli. Film yang dibuat Carli itu berjudul Karina’s Zelfop-offering (Pengorbanan Karina). Film garapan Carli ini berkisah tentang kisah cinta antara seorang opsir Belanda (asing) dengan seorang gadis keturunan bangsawan di Jawa. Dan, yang menarik sebagian besar syuting film ini berlokasi di Yogyakarta. Film garapan Carli lainnya adalah De Stem des Bloeds (Panggilan Darah).
Berbeda dengan Heuveldorp dan Kruger yang di dalam film Loetoeng Kasaroeng lebih mengutamakan pemain-pemain pribumi, maka film garapan Carli ini menggunakan pemain hampir seluruhnya orang asing atau Indo-Belanda (peranakan Belanda). Salah seorang di antaranya isteri Carli sendiri, Annie Krohn, yang berperan sebagai pemeran utamanya.
Bandung kembali membuat catatan dalam sejarah perkembangan film dengan datangnya Wong Bersaudara dari Shanghai, China, ke kota tersebut pada tahun 1928. Ketika berada di Shanghai, Wong Bersaudara yang terdiri dari Nelson, Joshua dan Othnil memang sudah bergerak di dalam usaha produksi film. Salah satu film yang diproduksi Wong Bersaudara dengan perusahaan filmnya Halimun Film di tahun 1928 itu berjudul Lily van Java. Film yang bercerita tentang kehidupan salah satu keluarga Cina peranakan.
Kedatangan Wong Bersaudara ke Bandung, ternyata telah menggugah minat dua warga Cina perantauan (peranakan), yakni Tan Koen Hian dan The Teng Chun untuk terlibat dalam usaha produksi film. Keduanya lalu membuat perusahaan film di Batavia (sekarang Jakarta). Tan Koen Hian tahun 1929 mendirikan perusahaan film Tan’s Film. Di tahun 1929 itu Tan’s Film memproduksi film berjudul Njai Dasima. Sedangkan The Teng Chun tahun 1931 mendirikan Cino Motion Pictures Corporation.

Film Bicara
Era film bisu di dunia berakhir pada tahun 1927. Berakhirnya era film bisu ini ditandai dengan pembuatan film bicara (film suara) pertama di tahun 1927 yang berjudul Jazz Singer. Film bicara pertama ini diputar atau dipertontonkan pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat.
Dua tahun kemudian, tepatnya di akhir tahun 1929, panggung pertunjukan film di Hindia Belanda ditandai dengan masuknya dua film bicara dari Amerika Serikat. Kedua film bicara itu berjudul Fox Follies dan Rainbow Man.
Masuknya film bicara produksi Amerika Serikat itu tentu saja mempengaruhi perusahaan film di Hindia Belanda untuk ikut memproduksi film bicara. The Teng Chun dengan perusahaan filmnya Cino Motion Pictures Corporation (CMPC) pada tahun 1931 dengan peralatan rekaman suara yang sederhana mencoba membuat film bicara berjudul Roos van Cikembang. Sebelumnya CMPC memproduksi San Pek Eng Tay.
Setelah itu diproduksi pula sejumlah film lainnya seperti film Indonesia Maleise garapan Wong Bersaudara (1931) dan film Terpaksa Menikah kerjasama Kruger dengan Tan Khoen Hian (Tan’s Film) yang diproduksi tahun 1932. 
Perkembangan berikutnya terjadi di tahun 1934, ketika seorang Indo-Belanda bernama Albert Balink yang berprofesi sebagai wartawan koran berbahasa Belanda De Locomotif membuat film berjudul Pareh di Bandung. Balink tidak sendirian, tapi mengajak Wong Bersaudara dan Mannus Franken seorang pembuat film dokumenter dari Belanda. Film Pareh yang diproduksi perusahaan film Java Pasific Film dan dibintangi Rd. Mochtar dan Soerkarsih ini merupakan film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dari masyarakat pecinta film, meskipun dari segi pemasaran masih dipandang tidak terlalu berhasil.
 Cino Motion Pictures Corporation kemudian berganti nama The Java Industrial Film Co (JIF) dan pada tahun  1935 memroduksi film berjudul Lima Siloeman Tikoes. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat keturunan Cina di Batavia.
Jika film Pareh dinyatakan sebagai film Indonesia pertama yang mendapat perhatian luas dan dipuji dari segi kualitas dan ceritanya, maka film Terang Boelan yang diproduksi tahun 1937 merupakan film pertama yang terlaris dan sukses secara bisnis di pasaran. Film ini mendapat sambutan hangat masyarakat pecinta hiburan film ketika itu.
Film Terang Boelan digarap oleh Albert Balink bersama Wong Bersaudara dan mengajak pula seorang wartawan pribumi, Saeroen, di bawah bendera perusahaan film Algeemene Nederlands Indische Film Syindicaat (ANIF) yang didirikan di Batavia. Film yang penuh dengan nuansa romantisme, tari dan nyanyi ini dibintangi Miss Roekiah dan Rd. Mochtar. Miss Roekiah sebelumnya adalah seorang penyanyi keroncong di panggung tonel (panggung sandiwara), sedangkan Rd. Mochtar adalah bintang yang ketika itu sedang digandrungi lewat penampilan sebelumnya di film Pareh.
Kesuksesan film Terang Boelan yang berkisah tentang kehidupan masyarakat asli di pulau-pulau Laut Selatan ini kemudian menjadi pemicu perusahaan-perusahaan film yang ada di saat itu untuk memproduksi tema yang sama, dengan tujuan meraih kesuksesan dari segi pemasaran. Apalagi film Terang Bulan tidak hanya sukses di dalam negeri sendiri, tapi juga meraih sukses ketika ditayangkan di Malaya (Malaysia) dan Singapura.
Setelah film Terang Boelan, dunia perfilman di negeri kita ketika itu mengalami masa-masa menggembirakan. Masa-masa itu (1939-1942) oleh Misbach Jusa Biran disebut sebagai masa panen pertama perfilman Indonesia.
Di dalam Selintas Kilas Sejarah Film Indonesia (terbitan Badan Pelaksana FFI 1982) Misbach Jusa Biran menyatakan – Film Terang Boelan memperlihatkan bukti yang amat jelas kepada para pemilik  modal bahwa usaha pembuatan film bisa menjadi bisnis yang hebat. Maka sejak tahun 1939 mulai bermunculan perusahaan-perusahaan film baru. Semuanya berpedoman kepada pola resep yang dipakai oleh film Terang Boelan. Pasangan Roekiah-Rd. Mochtar yang namanya menjulang ke langit popularitas, juga menjadi modal dalam mendapatkan bintang bagi masing-masing perusahaan. Sejak saat ini kedudukan bintang dalam film Indonesia merupakan unsur yang amat penting, “star system” dimulai. Seperti juga Roekiah, maka semua bintang baru khususnya ditarik dari dunia tonel. Termasuk pemain panggung yang paling cemerlang saat itu, seperti Fifi Young, Tan Tjeng Bok, Rd. Ismail, Astaman dan Ratna Asmara. Bahkan kemudian semua orang panggung diangkut pula ke dunia film untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja dari produksi yang mendadak meningkat.
Tapi masa panen pertama perfilman Indonesia itu, menurut Misbach Jusa Biran, hanya berusia singkat, karena harus mendadak terhenti pada awal tahun 1942. Hal itu terjadi setelah Jepang menduduki Indonesia dan menyingkirkan kekuasaan Belanda pada Maret 1942, pemerintah pendudukan Jepang kemudian menutup semua perusahaan film.

Masa Pendudukan Jepang
Menurut Ryadi Gunawan, sejak pemerintah pendudukan Jepang berkuasa di negeri ini, kehidupan sejarah perfilman kita mengalami suasana yang berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Semua perusahaan film yang ada, yang sebagian besar merupakan milik orang-orang Cina, disita dan ditutup oleh pemerintah pendudukan Jepang melalui Jawa Eiga Kosha (Java Motion Picture Corporation) yang dibentuk pada bulan Oktober 1942. (Lihat – Sejarah Perfilman Indonesia, Prisma 4, 1990).
Masih menurut Ryadi Gunawan, setelah kejadian itu, untuk melaksanakan kebijaksanaan perfilman oleh pemerintah pendudukan Jepang, dibentuk dua lembaga yang berbeda fungsinya untuk menangani perfilman. Kedua lembaga itu adalah Nichi’ei/Nippon Eigasha (Japan Motion Picture Company) yang bertugas memproduksi film, dan Eihai/Eiga Haikyusha (Motion Picture Distributing Company) yang bertugas memasarkan film. Setelah terbentuknya kedua lembaga itu pada bulan April 1943, maka Jawa Eiga Kosha dibubarkan dan segala tugasnya diambil alih oleh kedua lembaga itu.
Di dalam perjalananya, Nichi’ei/Nippon Eigasha ternyata hanya memproduksi beberapa film pendek yang berisi propaganda Jepang, seperti Berdjoeang, Keseberang, dan Amat Heiho. Sedangkan Eiga Haikyusha hanya memasarkan film-film propaganda yang datang dari Jepang sendiri.  

Masa Kemerdekaan
Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, dunia perfilman kita memasuki babak baru, di mana semangat kemerdekaan dan rasa nasionalisme yang tinggi sangat mewarnai cerita-cerita film. Pada masa-masa inilah muncul sejumlah tokoh perfilman nasional, di antaranya dua nama terkemuka Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik.
Perkembangan dunia perfilman di tanah air kita setelah masa kemerdekaan itu oleh Misbach Jusa Biran dibagi dalam beberapa masa. Pertama, masa perang (1942-1949). Misbach memasukkan tahun 1942 karena menurutnya sejak 1942 sampai 1945 merupakan masa pendudukan Jepang, sedang 1945 sampai 1949 disebutnya sebagai masa Revolusi Fisik atau Perang Kemerdekaan. Kemudian kedua, masa bangkit dan hancur (1950-1957). Ketiga, masa penyemaian konsep ideologi (1957-1966). Dan keempat, masa perletakan landasan-landasan (sejak 1967).
Sejak masa perletakan landasan-landasan itu hingga hari ini dunia perfilman Indonesia terus mengalami masa-masa yang menarik untuk disimak dan dikaji. Pada masa-masa ini dunia perfilman Indonesia mengalami pasang surut dan naik-turun baik dari segi produksi, kuantitas dan kualitas. Sejumlah bintang dan sineas terpandang muncul di masa-masa ini. Dan, setelah era reformasi, dunia perfilman Indonesia diwarnai pula dengan munculnya sejumlah sineas dan bintang muda yang mengusung suara-suara kebebasan dalam berkarya. – (Sutirman Eka Ardhana)

Pertemuan 2 MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM (II)

MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 2

MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM
(II)

          Film Noncerita
Seperti halnya film cerita, film noncerita kini juga bias dikategorikan dalam berbagai jenis. Tetapi pada awalnya film noncerita hanya dikenal punya dua jenis, yakni film faktual dan film documenter.
Film faktual adalah suatu jenis film noncerita yang pada umumnya menyajikan fakta. Sekarang film faktual dapat dilihat dalam bentuk film berita (news reel) dan film dokumentasi.
Film berita meletakkan titik berat penyajiannya pada segi pemberitaan suatu peristiwa atau kejadian yang faktual. Contoh film berita dewasa ini dapat kita saksikan di tayangan-tayangan berita dalam siaran televise. Film berita ditayangkan setelah terlebih dulu melalui proses pengolahan.
Sedangkan film dokumentasi adalah film faktual yang hanya merekam suatu peristiwa atau kejadian tanpa melalui proses pengolahan lagi. Film dokumentasi merekam peristiwa dengan apa adanya. Contoh film dokumentasi ini misalnya dokumentasi mengenai kejadian perang, dan dokumentasi upacara kenegaraan.

Film Dokumenter
Film dokumenter adalah film noncerita yang selain mempunyai unsur fakta tetapi juga mengandung unsur subyektifitas pembuatnya. Subyektifitas di dalam film dokumenter merupakan pendapat, pandangan, sikap atau opini terhadap peristiwa yang direkam.
Dengan demikian peran pembuatnya (produser/sutradara) memiliki arti penting bagi keberadaan serta keberhasilan proses pembuatan film dokumenter. Dalam film dokumenter, faktor manusia (pembuat) mempunyai peran yang besar dan penting. Sebab persepsi tentang suatu kenyataan atau realitas yang ada sangat bergantung pada pembuatnya.
Sejarah keberadaan film dokumenter diawali pada tahun 1920-an. Hal itu ditandai dengan dengan munculnya pemikiran tentang pembuatan film dokumenter tersebut. John Grierson dari Inggris merupakan tokoh yang pertama kali memperkenalkan istilah film dokumenter. Istilah itu diperkenalkan Grierson ketika ia membicarakan atau membahas sebuah film karya Robert Flaherty (Amerika Serikat) berjudul “Moana”, yang diproduksi pada tahun 1926.
Grierson kemudian sangat berperan penting dalam mengembangkan pembuatan film dokumenter di Inggris dan Kanada. Ketertarikan Grierson terhadap film dokumenter karena menurutnya film dokumenter merupakan perlakuan yang kreatif terhadap suatu peristiwa.
Joris Ivens, seorang pembuat film dokumenter kenamaan dari Belanda berpendapat bahwa film dokumenter memiliki kekuatan utama yang terletak pada rasa keotentikannya. Dengan kata lain, film dokumenter bukanlah merupakan suatu cerminan pasif dari kenyataan, melainkan adanya proses penafsiran terhadap kenyataan itu sendiri.
Selain jenis faktual dan film dokumenter, di dalam ‘keluarga besar’ film noncerita masih terdapat jenis-jenis lain, seperti film pariwisata, film iklan, film pendidikan, dan lain-lain.

Film Eksperimental
Film eksperimental merupakan film yang proses pembuatannya tidak menggunakan kaidah-kaidah pembuatan film yang semestinya. Misalnya, kaidah-kaidah yang pasti ditemukan dalam setiap pembuatan film cerita maupun film noncerita.
Tujuan pembuatan film eksperimental ini biasanya hanya untuk melakukan eksperimentasi-eksperimentasi serta mencari cara-cara penyampaian baru melalui media film.

Film Animasi
Film animasi merupakan film yang dibuat dengan menggunakan atau memanfaatkan gambar-gambar (lukisan) ataupun benda-benda tidak bergerak lainnya. Benda-benda tidak bergerak itu misalnya boneka, baik itu boneka manusia maupun boneka binatang, yang bisa dihidupkan atau digerakkan dengan proses animasi.
Prinsip pembuatan film animasi (teknik animasi) tidak berbeda dengan teknik pembuatan film yang menggunakan subyek benda-benda bergerak atau hidup, yakni memerlukan 24 gambar (bisa juga kurang) perdetiknya dalam menciptakan ilusi gerak.

Kenapa Film Diproduksi?
Kebanyakan produser atau pembuat film berpandangan bahwa film merupakan suatu komoditi bisnis yang besar, menggiurkan dan menguntungkan. Karena, setelah selesai diproduksi atau dibuat, maka film (terutama film cerita) bias dibisniskan atau dipasarkan dengan berbagai cara ke publik. Pemasaran film itu ke publik atau masyarakat luas tentu saja dengan tujuan untuk mendapatkan perhatian dari publik itu sendiri, yang kemudian dari perhatian besar dari publik itu akan dihasilkan suatu keuntungan bisnis.
Meskipun begitu, tidak semua produser atau pembuat film yang semata-mata hanya berpikir pada segi bisnis dan keuntungan saja. Sebab tidak sedikit juga produser atau pembuat film yang masih mau mengedepankan dorongan kultural atau idealisme.
Pertimbangan komersial atau bisnis akan terlihat nyata pada film-film cerita. Hal ini terjadi dikarenakan proses pembuatan film cerita memang menggunakan modal yang relatif besar. Kebanyakan produser tentu tidak ingin modal besar yang sudah dikeluarkan untuk proses produksi film tersebut hilang sia-sia.
Selain itu bila dilihat dari aspek ekonomi dan teknologi, maka produksi film memang harus dikelola sebagai suatu usaha industri. Hal seperti ini harus dilakukan, karena selain menggunakan atau melibatkan modal yang besar, pembuatan film juga melibatkan tenaga kerja yang banyak. Tenaga-tenaga kerja yang dilibatkan itu pun dari berasal dari berbagai latar belakang keahlian.
Disamping itu, kerja produksi film membutuhkan tujuan maupun sistem kerja yang tertata dan jelas, perencanaan yang matang, serta jadwal kerja yang pasti pula. Manajemen kerjanya harus benar-benar rapi dan terkoordinasi. Masing-masing bagian dalam manajemen kerja produksi film tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Bagian satu dengan lainnya saling berkaitan dan berhubungan.
Untuk sampai ke publik, film yang diproduksi harus terlebih dulu melalui suatu proses mata rantai yang panjang. Setelah selesai diproduksi, film terlebih dulu akan dibawa ke bagian distribusi. Bagian distribusi ini bertugas untuk mengedarkan dan memasarkan film tersebut. Setelah di bagian distribusi (peredaran), film kemudian baru masuk ke tahapan pertunjukan di bioskop-bioskop (ekshibisi).
Dari proses perencanaan film sampai ke pemutaran di bioskop-bioskop, setidaknya dilibatkan lebih dari 200 profesi pekerja. Dari para kreator di proses produksi, pengedar film, pembuat poster film, tukang putar film (proyeksionis) sampai ke penjual karcis bioskop.
 Dalam proses pembuatan film, para produser yang bekerja dengan system industri berusaha membangun studio-studio film. Segala aktivitas pembuatan film, dari pra produksi sampai ke pelaksanaan syuting dan tahap penyelesaian akhir dikerjakan di studio film tersebut.

Mengapa Film Ditonton?
Menurut Marseli Sumarno (Dasar-dasar Apresiasi Film), ada tiga alasan mengapa film ditonton, yakni alasan umum, alasan khusus dan alasan utama.
Alasan umum – Film berarti bagian dari kehidupan modern dan tersedia dalam berbagai wujud, seperti di bioskop, dalam tayangan televisi, bentuk kaset video, dan piringan laser (laser disc).
Sebagai bentuk tontonan, film memiliki waktu putar tertentu. Rata-rata satu setengah jam sampai dengan dua jam. Selain itu, film bukan hanya menyajikan pengalaman yang mengasyikkan, melainkan juga pengalaman hidup sehari-hari yang dikemas secara menarik.
Alasan khusus – Karena ada unsur dalam usaha manusia untuk mencari hiburan dan meluangkan waktu. Selain itu, karena film tampak hidup dan memikat, disamping menonton film dapat dijadikan bagian dari acara-acara kencan dalam kehidupan manusia.
Alasan utama – Seseorang menonton film untuk mencari nilai-nilai yang memperkaya batin. Setelah menyaksikan film, seseorang memanfaatkannya untuk mengembangkan suatu realitas rekaan sebagai bandingan terhadap realitas nyata yang dihadapi.
Jadi, seperti kata Marseli, film dapat dipakai penonton untuk melihat hal-hal di dunia ini dengan pemahaman baru. – (SEA) 

Pertemuan 1: MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM (I)

MK: SINEMATOGRAFI
Pertemuan 1

MENGENAL DAN MEMAHAMI FILM
(I)
            FILM yang ditemukan pada akhir abad ke-19 dan terus berkembang hingga hari ini merupakan ‘perkembangan lebih jauh’ dari teknologi fotografi. Perkembangan penting sejarah fotografi telah terjadi di tahun 1826, ketika Joseph Nicephore Niepce dari Perancis membuat campuran dengan perak untuk membuat gambar pada sebuah lempengan timah yang tebal.
Teknologi fotografi tidak berhenti sebatas penemuan Niepce itu. Tapi dari tahun ke tahun terus mengalami perkembangan yang mengagumkan. Salah satu dari perkembangan mengagumkan dari teknologi fotopgrafi itu adalah munculnya rintisan penciptaan film atau gambar hidup. Tokoh penting dalam rintisan penciptaan film atau gambar hidup itu Thomas Alva Edison dan Lumiere Bersaudara.
Thomas Alva Edison (1847-1931) seorang ilmuwan Amerika Serikat penemu lampu listrik dan fonograf (piringan hitam). Pada tahun 1887, Edison tertarik untuk membuat alat untuk merekam dan membuat (memproduksi) gambar. Edison tidak sendirian. Ia kemudian dibantu George Eastman. Eastman pada tahun 1884 menemukan pita film (seluloid) yang terbuat dari plastik tembus pandang. Tahun 1891 Eastman dibantu Hannibal Goodwin memperkenalkan satu rol film yang dapat dimasukkan ke dalam kamera pada siang hari.
Alat yang dirancang dan dibuat oleh Thomas Alva Edison itu disebut kinetoskop (kinetoscope) yang berbentuk kotak berlubang untuk menyaksikan atau mengintip suatu pertunjukan. Pertunjukan kinetoskop diperkenalkan pertamakali di New York, Amerika Serikat, tahun 1894.
Lumiere Bersaudara yakni dua kakak-beradik Ausguste Lumiere dan Louis Lumiere dari Perancis merupakan pengagum dan penonton setia kinetoskop. Tapi Lumiere Bersaudara tidak hanya ingin sekadar menjadi pengagum dan penonton. Mereka adalah penonton kreatif. Dari menonton kinestokop itu justru muncul gagasan cemerlang keduanya yaitu membuat pertunjukan untuk alat kinestoskop tersebut.
Keduanya kemudian merancang peralatan baru yang mengkombinasikan kamera, alat memproses film dan proyektor menjadi satu. Lumiere Bersaudara menyebut peralatan baru untuk kinetoskop itu dengan “sinematograf” (cinematographe). Peralatan sinematograf ini kemudian dipatentkan pada tahun 1895. Pada peralatan sinematograf ini terdapat mekanisme gerakan yang tersendat (intermittent movement) yang menyebabkan setiap frame dari film diputar akan berhenti sesaat, dan kemudian disinari lampu proyektor.
Di masa awal penemuannya, peralatan sinematograf tersebut telah digunakan untuk merekam adegan-adegan yang singkat. Misalnya, adegan kereta api yang masuk ke stasiun, adegan anak-anak bermain di pantai, di taman dan sebagainya.
Perkembangan gemilang dalam sejarah perjalanan film ditandai dengan langkah Lumiere Bersaudara yang memproyeksikan pertamakali hasil karya mereka ke hadapan publik pada 28 Desember 1895, di ruang bawah tanah sebuah kafe di Paris. Pada hari itu, publik yang menyaksikannya masuk dengan membeli karcis. Tanggal 28 Desember 1895 itu merupakan hari bersejarah, karena merupakan hari kelahiran bioskop yang pertama di dunia.
Langkah yang dilakukan Lumiere Bersaudara yakni menghadirkan konsep pertunjukan bioskop atau penayangan film ke layar dalam suatu ruangan yang gelap, pelan tapi pasti, terus berkembang ke berbagai penjuru dunia. Sekitar sepuluh tahun kemudian, tepatnya di tahun 1905, tempat pemutaran film (bioskop) yang disebut nickelodeon muncul dan berkembang subur di Amerika Serikat. Film-film awal yang dipertontonkan kepada publik adalah film-film yang waktu putarnya sangat singkat, sekitar 10 menit. Meskipun waktu putar atau tayangnya singkat, tapi film itu sudah menampilkan unsur cerita di dalamnya.
Sekalipun film merupakan kelanjutan dari fotografi, namun keduanya memiliki perbedaan yang hakiki. Foto (karya fotografi) tidak menampakkan ilusi gerak. Sementara film menampilkan ilusi gerak.

Perjalanan Film
Sejak ditemukan, perjalanan film terus mengalami perkembangan besar bersamaan dengan perkembangan atau kemajuan-kemajuan teknologi pendukungnya. Pada awalnya hanya dikenal film hitam putih dan tanpa suara atau dikenal dengan sebutan “film bisu”. Masa film bisu berakhir pada tahun 1920-an, setelah ditemukannya film bersuara. Film bersuara pertama diproduksi tahun 1927 dengan judul “Jazz Singer”, dan diputar pertama kali untuk umum pada 6 Oktober 1927 di New York, Amerika Serikat. Kemudian menyusul ditemukannya film berwarna di tahun 1930-an.
Di awal-awal kehadirannya, film hanya dipandang sebagai karya tiruan mekanis dari kenyataan. Atau sering juga dipandang hanya sebagai sarana untuk memproduksi karya-karya seni yang sudah ada, seperti teater, pertunjukan musik, dan lainnya.
Tokoh-tokoh penting dalam perjalanan awal sejarah film dapat dicatat antaralain nama George Melies (Perancis), Edwin S. Porter (juru kamera Thomas Alva Edison), DW Griffith dari Amerika Serikat, RW Paul dan GW Smith (Inggris).
Dalam perkembangan-perkembangan berikutnya para penggiat film melakukan gerakan menggiring atau berusaha menjadikan film sebagai suatu karya seni. Gerakan-gerakan film seni terus berkembang di Jerman,Perancis, Rusia, Swedia, Italia dan Amerika Serikat sendiri.
Eksistensi film sebagai suatu karya seni semakin diakui setelah seniman-seniman film muncul di banyak Negara. Tokoh-tokoh seniman film itu di antaranya Akira Kurosawa (Jepang), John Ford (AS), Federico Fellini (Italia), Satyajit Ray (India), Ingmar Bergman (Swedia) dan Usmar Ismail (Indonesia).

Jenis Film
Film pada dasarnya bisa dikelompokkan dalam dua jenis atau kategori. Pertama, film cerita (film fiksi). Kedua, film noncerita (film nonfiksi).
Film cerita merupakan film yang dibuat atau diproduksi berdasarkan cerita yang dikarang dan dimainkan oleh actor dan aktris.
Kebanyakan atau pada umumnya film cerita bersifat komersial. Pengertian komersial diartikan bahwa film dipertontonkan di bioskop dengan harga karcis tertentu. Artinya, untuk menonton film itu di gedung bioskop, penonton harus membeli karcis terlebih dulu. Demikian pula bila ditayangkan di televisi, penayangannya didukung dengan sponsor iklan tertentu pula.
Sedangkan film noncerita adalah film yang mengambil kenyataan sebagai subyeknya.
Film cerita dan film noncerita ini dalam perkembangannya saling mempengaruhi satu sama lain, yang kemudian melahirkan berbagai jenis film lainnya yang mempunyai cirri, gaya dan corak masing-masing.

Film Cerita
Film cerita mempunyai berbagai jenis atau genre. Genre diartikan sebagai jenis film yang ditandai oleh gaya, bentuk atau isi tertentu.
Jenis-jenis film tersebut ada yang disebut jenis film drama, film horror, film perang, film musical, film koboi, film sejarah, film komedi, dan film fiksi ilmiah. Meskipun begitu penggolongan jenis film tidaklah kaku atau ketat. Sebab sebuah film dapat saja dimasukkan ke dalam beberapa jenis.
Film cerita yang pertama kali diproduksi di Indonesia, menurut catatan Sinematek Indonesia adalah film berjudul “Loetoeng Kasaroeng” yang dibuat pada tahun 1926. Film cerita pertama ini dibuat oleh G. Kruger, seorang indo-Jerman di Bandung.
Dua nama besar dalam dunia perfilman nasional yang juga disebut sebagai perintis industri film nasional di tahun 1950-an yang telah menghasilkan sejumlah film cerita terkemuka adalah Usmar Ismail dan Djamaludin Malik.
Menurut Marseli Sumarno, setiap pembuat film hidup dalam masyarakat atau dalam lingkungan budaya tertentu, sehingga proses kreatif yang terjadi merupakan pergulatan antara dorongan subyektif dan nilai-nilai yang mengendap di dalam diri. Hasil pergulatan ini akan muncul sebagai karya film (lihat – Dasar-dasar Apresiasi Film, Grasindo).
Karya film, masih menurut Marseli, di satu pihak tetap mengandung subyektifitas, dan dapat menunjukkan gaya atau warna keseniman, di pihak lain bersifat obyektif, yang bisa diapresiasikan oleh orang lain.
Terhadap film cerita yang perlu dilihat adalah sejauhmana pembuat film dapat meramu dorongan subyektif dalam menggunakan bahan dasar berupa cerita. Film cerita lalu dapat diartikan sebagai pengutaraan cerita atau ide, dengan pertolongan gambar-gambar, gerak dan suara.
Jadi, cerita adalah bungkus atau kemasan yang memungkinkan pembuat film melahirkan realitas rekaan yang merupakan suatu alternative dari realitas nyata bagi penikmat atau penontonnya. Dari segi komunikasi, ide atau pesan yang dibungkus oleh cerita itu merupakan pendekatan yang bersifat membujuk atau persuasif.
Akan tetapi, masih menurut Marseli Sumarno, tentu saja cerita bukan segala-galanya dalam produksi film cerita. Terdapat sejumlah unsur lain yang menunjang keberhasilan. Misalnya, para pemain yang mampu tampil meyakinkan, penyuntingan yang mulus, dan penyutradaraan yang jitu.
Dalam pembuatan film cerita, Marseli menekankan pentingnya proses pemikiran dan proses teknis. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, atau cerita yang akan digarap. Sedangkan teknis berupa keterampilan artistic untuk mewujudkan segala ide, gagasan atau cerita menjadi film yang siap ditonton. Karenanya film cerita dapat dipandang sebagai wahana penyebaran nilai-nilai. –(SEA)