Sabtu, 27 Juli 2013

Serat Sabda Tama Petunjuk Utama Kehidupan

                                            Ronggowarsito (promojateng. pemprovjateng.com)



                    Serat Sabda Tama
                    Petunjuk Utama Kehidupan

BAGI masyarakat Jawa, Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito adalah seorang sastrawan dan pujangga besar, yang karya-karyanya hingga hari ini masih tetap dikagumi, bahkan dipercaya kebenaran kandungan isinya.
Sepanjang hidupnya (1802 – 1873 M), pujangga yang hidup pada masa kejayaan Keraton Surakarta tersebut telah menghasilkan puluhan karya atau serat bernilai dan berestetika tinggi. Karya-karyanya itu sampai hari ini diakui sebagai ‘warisan ajaran kehidupan yang sangat  berharga’.
Cobalah simak salah satu karya besarnya yang berjudul “Serat Sabda Tama”. Bait demi bait di dalam Serat Sabda Tama ini syarat dengan petunjuk dan petuah dalam menjalani kehidupan, agar manusia tidak tergelincir dan masuk ke dalam kubangan kehidupan yang salah. “Sabda” berarti ucapan, petunjuk atau juga petuah. Sedang  “Tama” berarti utama, berharga, dan penting. Jadi “Sabda Utama” bisa diartikan sebagai ucapan atau petunjuk yang utama.
Beberapa bait dari terjemahan Serat Sabda Tama ini membuktikan semua itu.

Diharap semuanya maklum bahwa di zaman Kala Bendu
            sebaiknya mengurangi nafsu pribadi yang akan membenturkan
            kepada kesulitan.
            Hasilnya hanya perbuatan buruk.

Zaman Kala Bendu adalah zaman serba tak menentu, zaman yang penuh kesulitan. Karenanya, di zaman yang seperti ini siapapun juga sebaiknya berusaha mengurangi hawa nafsunya dalam mengejar hal-hal sifatnya hanya untuk keuntungan pribadi tapi merugikan orang lain. Para pemimpin, para pejabat, para politikus, apalagi wakil-wakil rakyat di parlemen, tak hanya memikirkan dirinya sendiri, keluarganya, kelompok atau partainya saja, tapi juga memikirkan nasib rakyat secara menyeluruh.

Sebaiknya selalu berbuat untuk hal-hal yang baik.
            Bisa  memberi perlindungan kepada siapapun juga.
            Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka,
            melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.

Siapapun juga, tak peduli apa statusnya, bisa pejabat, eksekutif, anggota legislatif, politikus, pedagang, atau hanya rakyat biasa, semestinya dalam menjalani kehidupan sehari-hari haruslah tetap berkomitmen untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan bersama. Yang kuat bisa melindungi yang lemah. Yang kaya bisa membantu yang miskin. Dan, pemerintah atau aparat negara, sesuai tugasnya yang diatur Undang-undang haruslah dapat memberikan perlindungan dan pengayoman kepada rakyat. Bukan justru sebaliknya, melakukan hal-hal yang merugikan dan menyengsarakan rakyat.

Hal ini berbeda dengan yang ngaji pumpung.
            Hilang kewaspadaannya dan kesulitan yang selalu dijumpai,
             selalu mengikuti hidupnya. Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.
             Lenyap kebudayaannya. Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh.
             Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya.
             Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun
             mempercayainya.
             Akhirnya hanyalah kerepotan saja.

Akan tetapi bagi siapa saja yang dalam kehidupannya sehari-hari menerapkan perilaku ‘aji mumpung’, perilaku memanfaatkan kesempatan dan kedudukan, melakukan hal-hal yang memanfaatkan kedudukan, kewenangan dan kekuasaan, maka kehidupannya akan selalu kacau, tak pernah tenang dan tenteram, dan penuh kebohongan. Akibatnya, hari-harinya pun akan dilalui dengan perbuatan-perbuatan yang merugikan dan justru bisa berbahaya bagi kehidupannya nanti. Dan, ketika perilakunya nanti diketahui, maka akan jatuhlah martabat dan kehormatannya. Orang-orang pun tak lagi mau mendengar kata-katanya, karena dianggap hanya penuh kebohongan.

Azabnya zaman Kala Bendu, makin menjadi-jadi nafsu angkara murka.
            Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik.
            Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.

Bila manusia tak kunjung memperbaiki perilaku hidupnya, maka di zaman Kala Bendu yang penuh kesulitan itu justru akan bertambah menyiksa. Tak hanya itu, perbuatan angkara murka dan kesewenang-wenangan semakin merajalela. Dan, perbuatan-perbuatan baik pun nyaris tak terlihat. Bahkan, kadang kala sulit membedakan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang jahat. Itu semua terjadi karena perilaku jahat atau buruk telah mendominasi tingkah laku manusia.

Empat bait dari 21 bait Serat Sabda Tama ini sudah cukup memberikan gambaran betapa karya besar Ronggowarsito ini syarat dengan petunjuk atau petuah berharga untuk siapapun bila ingin berhasil dan berarti dalam kehidupan. Berarti tidak saja bagi kehidupannya sendiri, tapi juga berarti bagi kehidupan orang lain. Kehidupan lahiriah dan batiniah. Kehidupan yang lebih luas dan mensemesta. *** 
                                                                               (Sutirman Eka Ardhana)

“Cipto Waskito” Ajaran Jawa yang Penting bagi Politikus






 “Cipto Waskito”
Ajaran Jawa yang Penting bagi Politikus
           
KERAJAAN-kerajaan di Jawa, sejak zaman Mataram Kuno, Majapahit hingga Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) kaya akan para pemikir kehidupan atau pujangga. Para pujangga yang besar dan terkenal di zamannya itu telah menghasilkan karya-karya besar yang sulit tertandingi hingga kini. Dan, tidak sedikit di antara para pujangga itu adalah para raja itu sendiri.
Sri Susuhunan Paku Buwono IV, raja di Keraton Surakarta, merupakan salah seorang raja yang juga menjadi pujangga. Salah satu karya besar darinya adalah “Cipto Waskito”. Cipto Waskito merupakan karya agung dari Sri Susuhunan Paku Buwono IV yang berbentuk serat atau puisi. Buah karya dari raja di Keraton Surakarta ini benar-benar sarat dengan ajaran falsafah hidup manusia. Ajaran-ajaran kehidupan di dalamnya penuh dengan tuntunan bagi kehidupan manusia dalam menuju ke arah kesempurnaan hidup.
Menurut Ki Hudoyo Doyodipuro Occ yang telah ‘mewedarkan’ atau menterjemahkan Serat “Cipto Waskito” ke Bahasa Indonesia, falsafah dan tuntunan bagi manusia dalam menjalani hari-hari kehidupan menuju kesempurnaan hidup yang hakiki tersebut terurai jelas di dalam bait demi baitnya. Seperti tuntunan dalam memilih guru, pengertian tentang Ilmu dan Ngelmu, pemahaman tentang Bawana Ageng dan Bawana Alit. Terurai juga pengertian tentang Ngelmu Mistik Terapan dalam kehidupan sehari-hari, syarat-syarat khusus bagi calon penghayat Ngelmu Mistik, tentang Rahasia Rasa Sejati serta peran empat warna dalam kehidupan.
Tentang memilih guru di dalam Serat “Cipto Waskito” antaralain diuraikan bahwa siapapun harus mempelajari dan mengenal suatu syarat mutlak untuk menentukan seseorang apakah pantas atau tidak untuk diangkat sebagai guru. Karena guru itu adalah seseorang yang akan menjadi narasumber dari ilmu-ilmu yang akan kita pelajari.
Guru yang dimaksud bukan hanya para pengajar di sekolah, perguruan tinggi atau padepokan-padepokan, tetapi juga termasuk di dalamnya para politikus, tokoh atau elit-elit politik, tentu juga para wakil rakyat di lembaga legislative, yang menjadi tumpuan dan harapan rakyat.  Serat “Cipto Waskito” mengajarkan kita agar mencari guru yang berilmu tinggi, karena ilmu akan membuka jalan kemandirian “di sini dan di sana”.

Rahasia Hidup
Para politikus atau kader-kader partai politik yang kini sedang sibuk dengan aktivitas politiknya, baik sebagai pimpinan atau pengurus partai maupun sebagai anggota legislatif, baik DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, bahkan sampai DPR RI perlu mempelajari Serat “Cipto Waskito” ini. Karena Cipto Waskito juga memesankan agar manusia yang pandai itu harus benar-benar mengetahui rahasia hidup ini, rahasia lahir maupun batin. Atau “kamuksan sandi sastra” kata bijak yang menjurus sempurnanya ilmu pengetahuan. Sempurnanya ilmu pengetahuan, bagi pemiliknya adalah manusia yang dapat menempatkan diri di manapun “kanggo ing kene-kana (berguna di sini dan di sana).
Namun serat “Cipto Waskito” itu juga mengingatkan kepada kita yang sedang menggandrungi suatu ilmu atau ngelmu, untuk tidak terperosok menjadi gandrung kepada gurunya. Sebab bila terjadi hal seperti itu maka keadaannya akan menjadi lain. Tujuan untuk mendapatkan ilmu menjadi sirna, karena perhatian kita hanya tercurah kepada kekaguman terhadap sang guru tersebut.  Gandrung atau cinta yang dimaksudkan adalah yangh identik dengan seks, bukan cinta murid dengan guru seperti cinta anak kepada orangtuanya.
Serat itu pun mengingatkan, agar kita waspada karena untuk mencapai suatu tujuan haruslah menempuh jarak. Seperti dijelaskan Ki Hudoyo Doyodipuro, ibaratnya orang akan memasuki pintu, dari terik matahari yang menyengat. Pintu itu adalah gerbang ilmu. Setelah daun pintu terbuka, maka kita masuk dan lubang pintu itu kita lewati begitu saja. Kita terus masuk dan lubang pintu yang kita lihat tadi kita tinggalkan.
Satu hal yang terpenting, serat “Cipto Waskito” mengajak kita untuk paham bahwa belajar ilmu dan ngelmu ibarat orang menimba di sumur. Kalau sumur itu airnya keruh, maka keruh pula air yang kita timba. Kalau sumur itu sumber atau mata airnya kurang, maka sedikit pula kita mendapatkan air. Tetapi kalau mata airnya besar dan jernih, tak akan habis-habisnya kita timba dan jernih pula air yang didapatkan. ***
                                                                                                   (Sutirman Eka Ardhana)

“Kunjarakarna” Uraikan Siksaan di Neraka

                                                               Neraka (kajianislam.net)



“Kunjarakarna” Uraikan Siksaan di Neraka

SALAH satu buku atau kitab Jawa kuno yang populer di zamannya adalah kitab “Kunjarakarna”. Kitab yang ditulis dalam bentuk kakawin atau tembang ini ditulis pada masa Kerajaan Kediri diperintah oleh Dharmawangsa (991 – 1016). Seperti banyak buku atau kitab Jawa kuno lainnya di masa itu, di kitab ini tidak diketahui siapa nama sang pujangga atau penulisnya. Sang pujangga hanya menyebut dirinya sebagai “kadi ngwang adusun”, yang artinya pujangga atau penulis dari dusun.
“Kunjarakarna” buah karya pujangga yang rendah hati itu di masanya tentu layak dikategorikan sebagai sebuah karya buku yang spektakuler. Betapa tidak. Buku atau kitab ini, berbeda dengan kebanyakan kitab karya lainnya. Kitab ini membahas dan menguraikan tentang “apa dan bagaimana’ dengan neraka.
Di dalam ajaran-ajaran agama selalu ditemukan kata-kata tentang sorga dan neraka. Sorga adalah tempat untuk manusia yang semasa hidupnya selalu beriman dan patuh dengan ajaran-ajaran agamanya. Sedangkan neraka adalah sebaliknya. Neraka dikhususkan untuk manusia yang tidak beriman dan menolak kebenaran ajaran agama Allah.
Dengan kata lain, sorga adalah suatu tempat yang paling menyenangkan dan penuh keindahan. Sementara neraka adalah tempat yang  paling tidak menyenangkan, sangat menyakitkan, tempat menjalani siksaan atau hukuman bagi orang-orang yang semasa hidupnya selalu berbuat kejahatan, mengingkari agama dan lain-lainnya yang serba buruk.
Neraka yang mengerikan, menakutkan, dan tempatnya menjalani siksaan, atau tempatnya Tuhan memberikan hukuman kepada orang-orang yang semasa hidupnya tak pernah mengindahkan ajaran-ajaran agama itulah yang diuraikan di dalam kitab “Kunjarakarna”.
Imajinasi sang pujangga atau penulis kitab ini memang sungguh luar biasa. Ia telah membawa pikiran, jiwa dan rasa segenap pembaca kitab ini ‘melesat jauh’ untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya ‘alam neraka’ yang sangat mengerikan dan penuh siksaan itu. Para pembaca di masa itu telah dibawa oleh sang pujangga untuk menyelusup se dalam-dalamnya ke ‘alam neraka’, guna mengetahui bagaimana sesungguhnya yang ada dan terjadi di sana. Misalnya, ragam atau bentuk siksaan apa saja yang ada, dan kenapa siksaan-siksaan yang mengerikan dan sangat pedih itu diberikan.

Membersihkan Diri
Seperti kebanyakan kitab Jawa kuno lainnya di masa itu, “Kunjarakarna” juga berangkat dari latar belakang cerita dunia pewayangan. Dikisahkan oleh sang pujangga, tentang kisah perjalanan raksasa Kunjarakarna yang ingin merubah dirinya menjadi manusia.
Perubahan jati diri raksana menjadi manusia seperti yang diinginkan oleh Kunjarakarna itu ternyata tidaklah mudah. Sesakti apa pun atau sehebat apa pun ilmu yang dimiliki Kunjarakarna, tapi untuk merubah dirinya agar bisa menjadi manusia biasa bukanlah sesuatu yang mudah.
Tapi sebagai raksasa yang sudah bertekad bulat untuk meninggalkan kehidupannya sebagai raksasa, Kunjarakarna tak pernah putus asa. Ia pun lalu bergegas menemui Sang Bhatara Wairocana  yang berada di kayangan. Di hadapan Bhatara Wairocana, sambil terisak-isak menangis Kunjarakarna menyampaikan keinginannya untuk meninggalkan kehidupannya sebagai raksasa dan berganti dalam kehidupan sebagai manusia.
Kehidupan sebagai raksasa membuatnya menjadi berwatak seperti setan, selalu berbuat kerusakan dan kejahatan. Kunjarakarna mengaku, dirinya tak sanggup lagi menjalani kehidupan seperti itu. Ia ingin menjalani kehidupan baru yang serba damai, tenteram, penuh kesabaran, penuh kelembutan, terhindar dari perbuatan yang penuh keangkaramurkaan.
Pada mulanya Sang Bhatara Wairocana terkejut dan heran dengan kedatangan Kunjarakarna. Karena tidak pernah ada raksasa yang mau bersimpuh dan menangis tersedu di depan Dewa. Tetapi hal yang tak pernah terjadi itu telah terjadi di hadapannya. Raksasa Kunjarakarna bersimpuh dan menangis di depannya, meminta agar dirubah menjadi manusia.
Setelah meyakini bahwa keinginan Kunjarakarna itu memang tulus keluar dari dalam hati sanubarinya, Bhatara Wairocana pun kemudian menyatakan kesediaan dirinya untuk membantu. Tapi caranya tidak mudah. Ada ‘syarat laku’ cukup berat yang harus dijalani oleh Kunjarakarna. Salah satu syaratnya, Bhatara Wairocana meminta Kunjarakarna menemui Bhatara Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana untuk  membersihkan diri atau meruwat diri.
Tanpa membuang waktu, Kunjarakarna pun bergegas menemui Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana. Tegal Petrabhuwana adalah suatu tempat untuk para arwah manusia yang semasa hidupnya selalu melakukan kejahatan dan keangkaramurkaan menjalani hukuman siksaannya. Tegal Petrabhuwana ini adalah tempat yang bernama neraka itu. Setelah bertemu dengan Bhatara Yama Dipati, Kunjarakarna pun kemudian menjalani ruwatan atau pembersihan diri di Tegal Petrabhuwana.
Apa yang dialami atau diperolehnya selama mengikuti pembersihan diri di Tegal Petrabhuwana itu merupakan balasan atau hukuman dari apa yang telah dilakukannya selama menjalani kehidupan sebagai raksasa. Dan, Kunjarakarna menjalani semua proses ‘hukuman’ di Tegal Petrabhuwana itu, demi niat dan kesungguhan hatinya untuk menjadi manusia yang bersih dan jauh dari keangkaramurkaan.

Siksaan Panjang
Di dalam buku atau kitab “Kunjarakarna” dijelaskan betapa panjangnya siksaan yang diterima oleh para pendosa di neraka. Ada tingkatan hukuman. Tingkatan hukuman itu misalnya lama hukuman atau siksaan bagi pendosa yang mencapai 1,8 miliar tahun. Siksaan itu akan dialami sepanjang hari tanpa henti. Raungan dan  jeritan tangis tidak akan pernah bisa menghentikan siksaan maha pedih itu.
Sang pujangga di dalam “Kunjarakarna” menguraikan pula tentang ragam kejahatan yang dibaginya dalam duapuluh jenis. Masing-masing jenis kejahatan itu mempunyai bentuk hukuman yang berbeda satu sama lain. Di antaranya ada dua jenis yang masuk kategori terberat, yakni kejahatan anidya paradrwya dan anidra parawadha.
Mereka yang termasuk sebagai pelaku kejahatan anidya paradrwya adalah yang semasa hidupnya suka memiliki atau menguasai harta milik orang lain dengan cara melawan hukum, seperti perampok, pencuri, dan tentu juga termasuk para koruptor. Sedangkan yang masuk jenis kejahatan anidra parawadha adalah mereka yang semasa hidupnya bergelimang dengan kejahatan seksual. Misalnya memperkosa, terlibat perdagangan seks, berselingkuh, suka mengganggu isteri atau suami orang lain, dan lainnya lagi.
Mau tahu apa hukuman atau siksaan yang dialami oleh mereka yang masuk dalam kategori pelaku kejahatan anidya paradrwya? Di dalam “Kunjarakarna” disebutkan, di dalam neraka hukuman yang akan diterima antaralain tubuhnya dipotong-potong dengan gergaji besi yang teramat panas. Bayangkan, bagaimana jerit raung saat tubuh digergaji. Tak terbayang bagaimana sakitnya. Potongan tubuh itu disatukan kembali, lalu digegerjai lagi. Begitu seterusnya berulang-ulang.
Sedang bagi yang masuk dalam kategori anidra parawadha, di dalam neraka mereka akan mendapat hukuman dihimpit batu sebesar gunung, tubuhnya akan ditusuk-tusuk tombak api dan digulung lempengan tembaga panas membara. Sungguh mengerikan.  *** (Sutirman Eka Ardhana)

Selasa, 16 Juli 2013

Bima, Satria Pembela Kebenaran

                                                         (ft: wayang.wordpress.com)



Bima, Satria Pembela Kebenaran

KETIKA kebenaran tidak lagi menjadi pegangan dan panutan, serta manakala kebenaran telah dikesampingkan dan dipandang sebagai sesuatu yang layak untuk dikesampingkan, maka kita akan merasakan suatu kehidupan di padang sabana yang gersang. Kita pun akan merasakan suatu kemarau panjang dan dahaga yang mencekik di kerongkongan. Kita tersiksa. Kita terkekang. Kita menderita.
Dalam kondisi ketakberdayaan seperti itu kita pun lalu merindukan dan berharap munculnya seorang ‘satria pembela dan penegak kebenaran’. Kita berharap akan muncul seseorang yang dengan gagah berani, berjuang tanpa pamrih, membela dan menegakkan kembali kebenaran pada hakekat dan eksistensinya sebagai pegangan kehidupan manusia.
Di dalam jagad pewayangan, tokoh yang selalu disebut sebagai ‘satria pembela dan penegak kebenaran’ itu adalah Bima. Dia seorang satria Pandawa, yang merupakan putera kedua dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kunti.
Bima mempunyai sejumlah nama lainnya, di antaranya Werkudara, kemudian Wijasena yang berarti pelindung keselamatan keluarga (bangsa), dan Kusumayudha atau pahlawan perang yang tak pernah gentar menghadapi musuh yang angkaramurka.
Kenapa Bima menyandang nama harum sebagai seorang kesatria pembela dan penegak kebenaran? Dalam berbagai lakon pewayangan, Bima selalu ditampilkan sebagai tokoh yang tak pernah kompromi dengan keangkaramurkaan, kemunafikan, kelicikan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Bima senantiasa tampil sebagai kesatria yang mendobrak atau melawan kebathilan. Ia merupakan tokoh yang sepanjang perjalanan hidupnya diabdikan untuk melawan kebathilan dan ketidak-adilan. Sekali pun ia sadar, bahwa apa yang dilakukannya itu mungkin mengandung resiko besar dan berbahaya bagi dirinya.
Apa pun resiko dan bahaya yang dihadapi, asalkan itu semua demi keselamatan keluarga (bangsa), Bima tak pernah gentar menghadapinya. Bima sangat gandrung dengan kebenaran dan keadilan, karenanya ia tidak pernah diam manakala menyaksikan kesewenang-wenangan, kebathilan dan ketidak-adilan terjadi di sekitarnya.

Sejak Kecil
Sifat kesatria yang tangguh sudah dimiliki Bima sejak ia masih kecil. Lakon pewayangan “Bima Bungkus” misalnya, menceritakan bagaimana keperkasaan dan keberanian Bima ketika masih kecil dalam menghadapi musuh negara Astina yang datang menyerang.
Di saat kerajaan Astina dan keluarga Pandawa sedang berduka karena wafatnya Prabu Pandudewanata, ayah para Pandawa, tiba-tiba datang serangan secara serentak dari dua kerajaan. Kedua kerajaan yang menyerang itu masing-masing Kerajaan Garbasumanda dengan rajanya Prabu Kaladaksa dan Kerajaan Paranggubarja dengan rajanya Prabu Kalagubarja.
Sekali pun waktu itu ia masih kecil, tapi Bima sadar bahwa serangan dari dua kerajaan itu sangat mengancam keselamatan dan eksistensi keluarga atau bangsanya. Jika serangan musuh itu berhasil, maka yang akan terjadi kemudian adalah  kesewenang-wenangan, keangkaramurkaan dan ketidakstabilan. Bila itu terjadi, maka yang akan menanggung akibatnya adalah rakyat. Rakyat Astina tentu akan mengalami suatu penderitaan karena berada dalam penindasan, tekanan dan ketidakbebasan.
Pikiran kanak-kanaknya sudah menyatakan ketidaktegaannya melihat hal semacam itu terjadi. Karena itulah ia kemudian bertekad untuk melakukan upaya apapun untuk mengusir para musuh penyerang tersebut. Ia telah bertekad untuk berjuang sampai titik darah penghabisan membendung laju serangan para musuh yang akan menciptakan ketidakstabilan dan keangkaramurkaan.
Bima sungguh luar biasa. Prabu Kaladaksa dan Prabu Kalagubarja langsung dihadapinya sendiri. Semula banyak yang mengkhawatirkan kemampuan ‘si kecil’ Bima dalam menghadapi kedua musuh yang perkasa itu. Tetapi Bima sudah tidak peduli. Ia bertekad akan melakukan apa pun untuk mengusir musuh-musuh bangsa dan negaranya.
Bima melawan habis-habisan. Akhirnya, dengan senjata kuku sakti yang dimilikinya, yakni kuku Pancanaka, Bima berhasil mengalahkan kedua raja perkasa itu. Kedua pimpinan para penyerang itu tewas. Dengan tewasnya Prabu Kaladaksa dan Prabu Kalagujarba di tangan Bima itu, maka kerajaan Astina, segenap keluarga Pandawa dan rakyat terhindar dari malapetaka kehancuran. Kebathilan dan ketidak-adilan yang nyaris terjadi dan dialami oleh rakyat Astina dapat terhindar. Kebenaran telah mengalahkan segala-galanya.
Lakon-lakon lainnya, seperti lakon “Bale Sigala-gala”, “Dewa Ruci”, “Bima Palakrama”, “Pandawa Timbang”, “Kangsa Adu Jago”, “Babad Alas Mertani” dan “Bondhan Paksa Jandhu” juga sarat dengan gambaran betapa Bima tidak pernah mau berkompromi dengan kebathilan dan ketidak-adilan.
Bima benar-benar tokoh atau figur dambaan. Terlebih-lebih ketika kita sedang berada dalam suatu tatanan kehidupan yang penuh ketidakpastian, keputus-asaan karena kebathilan, ketidak-adilan, kesewenang-wenangan, keangkaramurkaan dan korupsi semakin merajalela, maka tokoh seperti Bima benar-benar kita harapkan kedatangannya.
Persoalannya sekarang, di saat Bhatara Kala dan dajjal sedang gencar-gencarnya mencengkeramkan ‘kuku dan taringnya’ untuk merusak, melemahkan, memporak-porandakan dan menterpurukkan kita ke dalam ketakberdayaan, tokoh seperti Bima yang didambakan hanya muncul dalam angan-angan dan khayalan semata.
Dalam ketakberdayaan seperti ini, seharusnya kita tak pernah berhenti berdoa dan berharap agar, agar segera datang kesatria gagah perkasa pembela dan penegak kebenaran yang mampu mengusir Bhatara Kala dan dajjal. Kita benar-benar berharap datang tokoh Bima yang bisa membela dan menegakkan kebenaran serta melawan kebathilan maupun ketidak-adilan di negeri ini. ***
                                                                                        (Sutirman Eka Ardhana)


Dalang Wayang Kulit, Dulu dan Kini

                                            (Ft: indonesiantourcountry.blogspot.com)




Dalang Wayang Kulit, Dulu dan Kini

            KI DALANG, pada masanya dulu merupakan tokoh terpandang, disegani, disanjung, dan diteladani. Sejak wayang kulit diperkenalkan oleh para empu di bumi Jawa, para peyampai kisah-kisah pewayangan yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dalang itu mendapat tempat yang terpandang di tengah-tengah tatanan kehidupan masyarakat.
Hal itu dikarenakan masyarakat memandang Ki Dalang sebagai seseorang yang sarat dengan pengetahuan, paham dengan berbagai filsafat kehidupan serta nilai-nilai moral, dan mampu menguraikan beragam kisah dalm pewayangan yang di dalamnya penuh dengan  wewarah maha tinggi.
Seorang dalang di masa dulu, tidak hanya dipandang sebagai yang ‘serba tahu’ dan ‘serba bisa’, tetapi juga diyakini sebagai penyampai kebenaran, penggugar dan penyadar manusia agar bisa menjalani kehidupan sesuai dengan tatanan dan norma-norma yang sudah diatur oleh Sang Maha Pencipta melalui kisah-kisah di dalam lakon pewayangan.
Di masanya dulu juga, Ki Dalang memang sudah memposisikan dirinya sebagai agen perubahan sosial, agen pembaharu, penyampai informasi atau komunikator yang selalu menyampaikan informasi atau berita tentang kebenaran, kebaikan dan kemuliaan kehidupan manusia. Bahkan ketika Islam berkembang dan menanamkan pengaruh besarnya di Jawa, para Dalang tidak hanya sekadar dipandang sebagai seorang pembawa cerita maupun penyampai informasi.
Tapi lebih dari itu. Ki Dalang juga memainkan perannya sebagai pembawa kebenaran ajaran-ajaran Islam, atau dipandang sebagai pendakwah, penyampai kebenaran Islam, yang selalu mengingatkan masyarakat untuk senantiasa berbuat kebaikan dan kebajikan di dalam kehidupan, mematuhi perintah-perintah Allah SWT agar kelak bisa menikmati kehidupan yang maha damai serta menyenangkan di surga.
Peran mulia dan luhur itu memang masih disandang para Dalang hingga hari ini. Kisah-kisah pewayangan yang dipentaskannya, masih tetap merupakan kisah-kisah yang sarat dengan wewarah atau petunjuk kehidupan, agar manusia dalam menjalani kehidupannya senantiasa berpegang pada ketentuan yang sudah ditata oleh Sang Maha Pencipta. Akian tetapi, di mata masyarakat kini perannya sudah tidak lagi semulia dan sehebat dulu.
Ki Dalang kini hanya dipandang atau dinilai sekadar sebagai pembawa cerita wayang, dan pemberi hiburan. Bahkan kini, tidak sedikit pula masyarakat yang memandang wayang tidak lebih hanya sekadar bentuk seni hiburan biasa, yang tidak berbeda dengan bentuk-bentuk seni hiburan lainnya, seperti pentas musik campursari, pentas musik dangdut, dan lainnya.
Di banyak tempat sekarang ini, masyarakat tak terlalu bergairah menonton pentas wayang kulit bila tidak disertai pentas kolaborasi dengan musik campursari atau musik dangdut. Pentas wayang kulit tidak lagi cukup dengan menampilkan para pesinden, tapi juga menampilkan penyanyi-penyanyi campursari atau penyanyi-penyanyi dangdut. Kemerduan suara pesinden, keluwesan dan kelembutan tampilannya, kini harus bersaing dengan aksi genit penyanyi-penyanyi campursari dan desah serta goyangan menggoda penyanyi-penyanyi dangdut.
Karenanya kini, pentas-pentas wayang kulit di banyak tempat hanya dipandang sebagai bentuk hiburan semata yang sudah kehilangan greget dan nilai adiluhungnya. Bukan wewarah atau nilai-nilai kehidupannya lagi yang diperlukan kebanyakan penonton kini, tapi justru tampilan gemerlap, hiruk-pikuk dan nuansa keduniawiannya yang dicari.
Menonton pergelaran atau pentas wayang kulit bukan lagi dijadikan media penambah wawasan kehidupan, penambah semangat kehidupan, atau pemberi pencerahan jiwa dan pikiran, tetapi hanya sekadar obat pelipur lara, penghibur diri, agar terbebas dari himpitan dan belitan kehidupan. Tetapi menonton wayang kulit agar bisa bebas tertawa, bebas berteriak Karena puas dan gembira.
Diakui atau tidak, sesungguhnya realitas yang seperti itu merupakan sesuatu yang memprihatinkan. Bila hal seperti itu terus berlangsung tanpa ada upaya untuk pengendaliannya, nilai-nilai adiluhung yang sudah beratus tahun disandang oleh wayang, akhirnya akan punah. Dan, pentas wayang pada akhirnya hanya sekadar hiburan biasa yang tidak lagi bermakna apa-apa. Pentas wayang pada akhirnya hanya tempat pelarian mereka yang sekadar ingin mencari hiburan, ingin tertawa bebas dan sesuka-hati.
Para Dalang dan komponen-komponen pewayangan lainnya, terutama yang tergabung di dalam Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) semestinya tidak terlena dengan realita seperti ini. Harus ada tindakan dan langkah nyata agar wayang bisa tetap bertahan sebagai warisan budaya yang maha tinggi dan adiluhung. Warisan budaya yang penuh dengan ajaran-ajaran kehidupan manusia.
Ini memang tugas berat. Tapi, seberat apa pun, tugas untuk mempertahankan kemuliaan dan keagungan wayang harus tetap dijalankan. Kecuali bila memang ingin melihat kemuliaan dan nilai-nilai adiluhung di dalam wayang itu hilang tak berbekas.***  (Sutirman Eka Ardhana)

Waktu di “Langit Biru Bengkalis” Sutirman oleh ADEK ALWI

oleh ADEK ALWI
ENAM belas cerpen Sutirman Eka Ardhana dihimpun dalam “Langit Biru Bengkalis” (Surat Emas Pustaka, Yogya, Desember 2010). Tapi ini tak buku pertama dia. Tahun 1976 terbit kumpulan sajak Sutirman “Risau”, di tahun 1979 kumpulan sajak berdua Mayon Sutrisno “Emas Kawin”, dan sajak-sajaknya terdapat pula di banyak antologi. Novel pertamanya “Barter Pacar” terbit tahun 1978,  disusul sejumlah novel lainnya.
Jadi Sutirman banyak menulis sajak dan novel daripada cerpen, seperti juga diakuinya di pengantar kumpulan cerpen ini: “Sesungguhnya saya bukanlah penulis cerpen yang produktif. Sekalipun saya sudah mulai menulis sejak tahun 70-an, tapi jumlah cerpen yang saya tulis bisa dihitung hanya dengan bilangan jari saja.”
Sutirman memang sudah lama menulis. Lahir di Bengkalis, Riau, 1952, sejak 1972 ia kuliah/mukim di Yogya. Tahun 1969-1972, waktu SLA, ia tinggal di Kebumen. Di Yogya dia aktif di Persada Studi Klab asuhan penyair Umbu Landu Paranggi, seperti banyak anak muda Yogya dan sekitarnya di awal 1970-an; Iman Budi Santosa, Linus Suryadi AG, Emha, Korrie Layun Rampan, Suwarno Pragolapati, Atas Danusubroto, Achmad Munif, Arwan Tuti Artha dan banyak lagi. Tahun 1974, Sutirman memasuki dunia pers dan belakangan pemimpin redaksi di berbagai surat kabar.
Nama-nama tempat itu saya sebut, pun tahun-tahun yang telah lama lewat, sebab yang amat kuat menonjol pada cerpen-cerpen di “Langit Biru Bengkalis” (buku ini dikirim Sutirman ke alamat kampus tempat saya mengajar dan saya terima 27 Januari 2011), hal-hal yang mengayakan terkait dengan sang Waktu. Juga tempat; daerah asal, serta rantau.
Waktu, kita tahu, lazim dicap penyembuh ajaib, barangkali karena timbunannya yang terus tiba tidak pernah henti kuasa menghadirkan lupa atas luka, mengubah tangis jadi tawa. Tetapi tak selalu begitu. Alam di luar bisa saja berubah ditimbun Waktu, rambut di kepalamu pun menjelma putih-tipis, namun sang Waktu adakalanya bak tak hendak pergi dari ingatan dan hati. Bahkan acap seraya mengiris. Mengapa begitu? Penyebab-penyebab inilah yang merebak dalam cerpen-cerpen Sutirman.
Maka bersualah kita dengan laki-laki yang setelah sekian lama pergi ke kota pacarnya, mendapati pacar telah ke kota besar “luruh duit”, atau cari duit selaku pelacur (cerpen “Luruh Duit”). Atau, laki-laki yang mencari keluarga setelah di bui 16 tahun, dihajar orang babak-belur, diselamatkan pelacur yang tak lain anak yang dia cari-cari (cerpen “Tamu Terakhir”). Ada pula lelaki setelah 30 tahun kembali ke kota tempat sekolah, jumpa kekasih jadi tukang pijat (cerpen “Pertemuan”). Lainnya, ada laki-laki ditemui anak yang hendak mengenalkan calon istrinya, si calon ternyata putri hasil hubungan gelap lelaki itu dengan seorang perempuan 23 tahun lalu (cerpen “Rahasia Lelaki”).
Dalam cerpen-cerpen itu, sang Waktu jangankan pergi atau jadi penyembuh, justru menghajar para lelaki tokoh utamanya. Penyebabnya macam-macam. Di “Luruh Duit” dan “Pertemuan”, karena kemiskinan melilit tokoh-tokoh wanitanya dan tokoh-tokoh lelaki tak kuasa tampil jadi penyelamat.
Kemiskinan pula membuat sang Waktu bak tidak berpihak kepada tokoh utama lelaki di cerpen “Lelaki Rindu Pulang”, yang hanya dapat melamun bertahun-tahun melihat selat dan laut di Bengkalis, ingat keluarga di Pulau Sumbawa, yang tidak terkunjungi. Atau lelaki eks TKI di negeri jiran, terdampar di Bengkalis, bermalam-malam duduk di pelabuhan karena rindu pulang ke Madura tapi tidak punya uang, lalu di suatu pagi ditemukan orang mayatnya mengapung di laut (cerpen “Lelaki di Ujung Pelabuhan”).
Alhasil, kemiskinan memang gawat, bahaya, maka agama pun mengingatkan manusia mewaspadainya. Coba. Di cerpen “Batu-batu di Gunung Parang”, saat tokoh aku pergi ke Kebumen tempat bersekolah belasan tahun silam, ia lihat para penggali batu masih menggali batu seperti dulu, namun mereka telah berubah jadi batu, mengeras, tak acuh pada larangan pemerintah, yang menjadikan tempat itu cagar alam geologi.
Sutirman Eka Ardhana (foto:dok.SEA)
Di cerpen “Tamu Terakhir” tadi Waktu menghajar perasaan tokoh utama karena ironi. Tokoh ini dipenjarakan karena membela harga diri dan keluarga dengan membunuh preman pengganggu istri. Akibatnya: keluarga telantar, anak tercampak ke kompleks pelacuran karena ditinggal 16 tahun. Adalah ironi pula yang disodorkan sang Waktu pada orang tua dan orang kampung (cerpen “Cerita Tentang Badrun”) yang berharap tinggi karena telah mengirim Badrun nyantri ke Jawa 6 tahun, namun si Badrun malah pulang sebagai penjahat yang dicari-cari polisi.
Ironi yang diberikan sang Waktu di kasus Badrun berbeda motifnya dengan kehadiran ironi pada lelaki dalam cerpen “Tamu Terakhir”. Di “Tamu Terakhir”, ironi itu hadir karena si tokoh membunuh (yang tentunya juga keliru) untuk membela keluarga. Pada Badrun, karena ia membuang waktu 6 tahun; bukan nyantri, malah jadi perampok dan pembunuh di rantau, atau akibat perilaku buruk. Dan di cerpen “Rahasia Lelaki”, sang Waktu pun mengiris hati tokoh lelaki dengan menyodorkan buah buruk ulah masa lalu yaitu selingkuh.
Jadi, dalam hidup ini langkah seyogianya ditata agar tak macam si Badrun atau serupa lelaki di “Rahasi Lelaki”. Termasuk, dengan tak murah obral janji, karena sang Waktu rupanya tak pula toleran pada janji yang tidak ditepati, bak dialami tokoh lelaki dalam cerpen “Karangsembung”.
Lelaki di “Karangsembung” itu, setelah 14 tahun, datang lagi ke Karangsembung, lalu di jembatan tempat berjanji jumpa kekasih yang ia tinggalkan. Di rumah sahabat yang mengundangnya datang, ia diberi tahu bahwa sang kekasih sudah mati 7 tahun lalu. Nah, hingga di alam roh pun janji rupanya tak jua pupus, tetap ditagih. Dan di cerpen “Sembilu”, perasaan tokoh aku yang pulang kampung bersama anak-istri dari Yogya, diiris Waktu ketika tahu Hasnah yang 10 tahun sebelumnya ia janjikan akan dikawini, mengamuk di pasar karena kecewa, lalu berubah ingatan.
Begitulah sang Waktu dalam cerpen-cerpen Sutirman Eka Ardhana, tak hadir sebagai penyembuh ajaib, justru bak tidak beranjak dari hati dan ingatan, lantas mengiris-iris perasaan. Malah ketika 30 tahun sudah berlalu, saat dua kekasih lama masing-masing telah bercucu lalu bertemu di sebuah pantai serta dapat bicara disertai senyum (cerpen “Langit Biru Bengkalis”) tetap ada yang mendera hati tokoh lelaki. Yaitu, sanggupkah ia memenuhi undangan perempuan itu datang ke rumah, bertemu suami si perempuan yang tak lain sahabatnya, pada siapa dia dulu pernah berucap tak akan mengecewakan perempuan itu?
Di kumpulan ini ada cerpen yang terkesan mirip, pun nama tokoh, namun itu kiranya lumrah. Karena seperti banyak kumpulan cerpen (pun kumpulan cerpen saya), cerpen-cerpen Sutirman Eka Ardhana dipublikasikan terlebih dulu di media berbeda, sebelum hadir dalam wujud buku; sebuah kumpulan, yang menyiratkan kearifan: bagaimana menyikapi sang Waktu yang dahsyat, ajaib, dan mungkin pula lucu, juga sedap.[]
Adek Alwi, sastrawan dan dosen Politeknik UI, tinggal di Jakarta.
(Dari JournalBali.Com)

SENYUM DAN SEPOTONG SENJA Cerpen : Sutirman Eka Ardhana

SENYUM DAN SEPOTONG SENJA

Cerpen : Sutirman Eka Ardhana
AKU menunggumu di pinggir jalan. Sendiri. Menunggumu lewat sambil memandang semburat senja yang akan tenggelam di balik kota. Seperti kemarin dan kemarinnya lagi, kaulewat di jalan ini, ketika senja mulai temaram.
Sudah empat hari aku di kota ini setelah 40 tahun kutinggalkan. Ya, sudah empat hari pula aku menghirup udaranya kembali. Sudah empat hari pula aku berdiri di pinggir jalan ini, setiap senja tiba. Dan, sudah empat kali senja pula aku melihat kaulewat di jalan ini.
Setiap kali lewat, engkau tersenyum. Senyummu itu dahsyat sekali. Aku tergagap. Terkesiap. Betapa tidak. Senyum itu, ya, senyummu itu, seperti lontaran senyum yang datang dari masa lalu. Senyum yang dulu pernah kukenal. Bahkan sangat kukenal. Tapi senyum siapa? Bukankah teramat banyak senyum yang kukenal? Ya, teramat banyak senyum yang hadir dalam perjalanan hidupku.
Sudah tiga malam ini, senyummu itu mengaduk-aduk perasaanku. Mengaduk-aduk kenanganku. Entah mengapa senyummu itu seakan telah membawaku jauh ke lorong kerinduan yang tak bertepi. Ke lorong masa lalu yang samar, tapi pasti.
Hampir dua jam lebih aku menunggu. Tapi kau belum juga datang. Belum juga lewat. Padahal senja sebentar lagi tenggelam. Sebentar lagi cahaya semburatnya yang indah dan mempesona itu hilang ditelan malam. Dan, bila malam telah turun, cahaya lampu listrik di pinggir jalan itu tak akan mampu membantu pandangan mataku untuk melihat senyummu. Melihat senyum yang kutunggu-tunggu itu.
Aku ingat, ketika kaulewat di senja kemarin. Dari jarak yang masih beberapa meter, senyummu sudah tersembul. Senyummu itu sempat membuatku terpana beberapa saat. Kalau saja kau tak bertanya, aku pasti hanyut bermenit-menit dalam keterpanaan itu.
“Mari, Pak. Mau pilih apa? Pisang goreng, ketela goreng atau lainnya? Bakwan dan nogosari juga ada lho, Pak,” rentetan kata dan tanyamu di senja kemarin.
Engkau pun lalu menurunkan keranjang bakul dari gendongan di punggungmu. Di bagian atas keranjang bakul itu terdapat sebuah baskom. Baskom itu berisi penuh makanan yang kau jajakan. Ada pisang goreng, ketela goreng, bakwan, nogosari, kueh lapis, donat dan banyak lainnya lagi.
Andaikan kaulewat, dan tersenyum lagi seperti kemarin, mungkin, ya mungkin saja aku akan dapat mengingat-ingat kembali siapa sebenarnya pemilik senyum itu. Rasanya dulu, aku begitu sangat mengenalnya. Begitu dekat dengannya. Sepertinya senyum itu sudah kukenal sejak empatpuluh tahun lebih yang lalu. Sejak aku masih duduk di bangku SMA, di kota ini.
Apakah itu senyum yang dulu dimiliki Astuti, adik kelasku yang matanya selalu menggoda? Atau senyum Antin? Mirna? Dahlia? Atau jangan-jangan itu senyum miliknya Miyanti? Ya, Miyanti, kembang di kelasku itu. Miyanti yang dulu kucintai habis-habisan. Kucintai sampai babak-belur. Aku ingat, siang itu ketika pulang sekolah bersama Miyanti, empat lelaki muda mencegatku. Tanpa bertanya sepatah kata pun, mereka langsung menghajarku. Tak pelak lagi, akibatnya wajahku biru lebam dan badanku babak-belur.
Tiga hari kemudian baru aku tahu jika empat lelaki yang menghajarku itu adalah suruhan tunangannya Miyanti. Ternyata oleh orangtuanya, Miyanti sudah ditunangkan dengan pemuda tetangganya. Tapi ia tak pernah mengatakannya kepadaku. Tak pernah menceritakan perihal tunangannya itu.
Dan, sehari setelah peristiwa itu, Miyanti tak pernah lagi datang ke sekolah. Beberapa minggu kemudian tersiar kabar di sekolah, bila ia sudah resmi keluar dari sekolah karena dinikahkan oleh orangtuanya dengan pemuda tunangannya itu.
Dalam usiaku yang sekarang ini ternyata bukan persoalan yang mudah juga untuk mencoba membongkar-bongkar kembali semua ingatan atau kenangan tentang senyum-senyum yang dulu pernah kuterima. Terus terang memang teramat banyak senyum yang kuterima. Senyum yang berarti. Senyum yang berkesan dalam hidupku. Dan, salah satu yang berarti serta penuh kesan dalam hidupku itu adalah senyum seperti yang dimiliki Miyanti. Seperti senyum yang ada padamu dan kauberikan kepadaku dalam beberapa kali senja itu.
Tapi kau tak datang juga. Tak kunjung lewat di jalan ini. Itu artinya, senyummu tak akan kutemui. Senja menjadi terasa hambar. Semburat cahayanya menjadi buram, tak seindah senja-senja yang kemarin.
Aku kecewa. Sambil bersandar pada pohon rindang di pinggir jalan, kupandangi senja yang mulai tenggelam dan hilang di balik kota. Pandanganku hampa.
“Sedang menunggu siapa, Pak?” sebuah tanya mengejutkanku.
Seorang lelaki muda telah berdiri di sampingku. Aku ingat, lelaki muda ini adalah pekerja di hotel tempatku menginap, yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari pinggir jalan tempatku menunggumu.
“Sudah beberapa senja ini saya melihat Bapak selalu di sini, seperti sedang menunggu seseorang. Siapa yang ditunggu, Pak?” tanyanya lagi.
“Saya sedang menunggu perempuan penjual makanan yang setiap menjelang senja itu lewat di sini,” jawabku apa adanya.
“Perempuan yang menjual pisang goreng, ketela goreng dan lainnya itu? Yang membawa dagangannya dengan keranjang bakul di gendongannya itu?” lelaki muda itu balik bertanya.
“Ya…, ya itu. Perempuan itu yang saya tunggu,” kataku spontan.
“Ooo…menunggu Bu Miyanti, tho?”
Aku terkesiap.
“Siapa? Miyanti!? Perempuan itu bernama Miyanti? Betul, dia bernama Miyanti!?” tanya beruntun pun tak mampu kutahan.
“Ya betul, Pak. Perempuan penjual makanan itu bernama Bu Miyanti. Saya sangat mengenalnya, karena dia tetangga saya. Tapi…..,” kata-kata lelaki muda itu seperti terputus.
“Tapi .., kenapa?” tanyaku tak sabar.
“Dia tak akan lewat di jalan ini lagi, Pak.”
“Lho, kenapa?” tanyaku terkejut. Ya, aku memang terkejut dengan kata-kata itu.
“Dia sudah meninggal dunia, Pak. Semalam, dalam perjalanan pulang sehabis menjajakan dagangannya, ia tertabrak sepedamotor. Lukanya parah sekali. Beberapa jam di rumah sakit, ia pun meninggal dunia. Dan, siang tadi, jenazahnya telah dimakamkan,” kata lelaki muda itu lagi, seraya kemudian pamit untuk bergegas ke hotel.
Betapa tak berdayanya aku setelah itu. Tubuhku lemas, tersandar di pepohonan. Lunglai. Senja pun menjadi buram.
Yogya, Januari 2011

Perempuan Yang……. Cerpen Sutirman Eka Ardhana

Perempuan Yang…….
Cerpen Sutirman Eka Ardhana

PEREMPUAN yang sendiri di kamar itu adalah perempuan yang semalaman menenggelamkan dirinya ke dalam sunyi. Perempuan yang menenggelamkan dirinya ke dalam sunyi itu adalah perempuan yang bermalam-malam telah mencoba membunuh birahinya pada lelaki. Dan, perempuan yang mencoba membunuh birahinya pada lelaki itu telah memastikan dirinya untuk segera pergi.
Pergi! Ya, pergi, dan tak akan kembali lagi. Pergi dari tempat yang bertahun-tahun telah menjadi tempatnya melabuhkan gelisah, dan menyandarkan keluh-kesah kehidupan. Pergi dari tempat yang bertahun-tahun telah menjadi tumpuan hidupnya. Tempat ia bertahun-tahun berkubang dengan nestapa dan tawa. Bergumul dengan senyum dan air mata.
Meski menyakitkan, tapi perempuan itu sadar, sepahit apa pun tempat ini telah menyelamatkan hidupnya dari keputus-asaan. Menyelamatkannya dari ketakberdayaan dan kehampaan. Tempat ini pun telah menjadi penawar kepedihannya. Ia pun ingat, betapa tak berdayanya dulu menghadapi nestapa kehidupan. Menghadapi kenyataan yang tiba-tiba muncul dan memporak-porandakan kehidupannya. Betapa tak berdayanya ia dulu mencegah suaminya pergi dengan perempuan lain, dan kemudian meninggalkannya begitu saja. Dan, betapa tak berdayanya ia mencegah perceraian.
Ada yang bergejolak di dada perempuan itu. Ada rasa amarah, kecewa dan pedih. Gejolak rasa yang membuatnya seperti tersudut tak berdaya. Perempuan itu pun kemudian menitikkan air matanya. Menangis. Tanpa sadar, air matanya menetes, membasah di pipi. Padahal sudah bertahun-tahun ia mencoba tak menangis di tempat ini. Bertahun-tahun ia mencoba untuk tegar. Mencoba untuk kuat dan tidak cengeng.
Tapi kini ketegarannya mulai rapuh. Kekuatan jiwanya mulai melemah. Ia seperti telah didera ketakberdayaan yang sangat dalam. Beberapa bulan terakhir ia mudah sekali bersedih. Ia sering bermenung diri. Terlebih bila malam, setelah aktivitas kesibukan di tempat ini berakhir, ia pun tenggelam dalam kesepian dan kesendirian. Ia merasakan hidup yang sunyi. Teramat sunyi. Dan, hidup yang pahit. Teramat pahit. Kepahitan yang menyayat. Kepahitan yang menunjam pedih ke relung-relung hati.
Perempuan yang sendiri di kamar itu pun kembali mengingat-ingat perjalanan dirinya. Kembali mengingat langkah demi langkah yang telah membawanya masuk ke tempat ini dan bergelut dengan rona kehidupan di dalamnya. ”Ah, sudah lama aku hanyut dengan gelombang kehidupan di sini,” keluhnya.
Ia pun ingat, suatu hari, sekitar lima tahun lalu. Wardani, tetangganya di kampung, dan teman satu sekolahnya semasa masih di SMP, datang ke rumahnya. Ketika itu ia sedang duduk sendiri, di kursi panjang, di bawah pohon jambu merah, depan rumahnya, sambil memandang semburat senja yang turun di balik desa.
”Apa kau tidak tertarik pergi ke kota?” tanya Dani, begitu ia selalu memanggil perempuan teman semasa sekolahnya itu.
”Ke kota? Untuk apa?” ia balik bertanya.
”Ya, bekerjalah. Dari pada di sini, kau hanya bermenung-menung seperti ini, mengingat-ingat lelaki bekas suamimu yang sudah pergi itu. Lebih baik kau lupakan semuanya. Kau lupakan semua kepedihan. Apalagi kau juga memerlukan biaya untuk membesarkan anakmu, dan menyekolahkannya nanti.”
”Tapi, bagaimana dengan Dimas, anakku itu? Tahun depan dia harus sudah masuk sekolah. Siapa nanti yang harus mengurusnya masuk sekolah. Dan, bila sudah sekolah, siapa nanti yang harus mengantarkannya ke sekolah?”
”Pasrahkan atau titipkan saja kepada Bapak dan simbokmu. Bapak dan simbok pasti bisa merawatnya, apalagi kalau hanya ngurusi bagaimana dia masuk sekolah nanti. Yang penting, ada biayanya. Nah, dengan bekerja di kota, nanti kamu bisa memberikan atau mengirimi biaya untuk anakmu itu.”
Perempuan itu pun ingat, bagaimana ia dulu mengangguk, menyetujui ajakan Dani untuk bekerja di kota. Dan, ia pun ingat, teramat ingat, bagaimana Dani pertama kali membawanya ke tempat ini.
”Di sini tempat yang termudah untuk bekerja, dan mencari uang. Jangan khawatir, aku juga bekerja di sini. Jadi kita akan selalu berdekatan. Akan selalu bersama,” ini kata-kata Dani ketika itu, saat ia terpana, kehilangan daya, terhenyak, dan tak tahu harus berkata apa-apa lagi.
”Di sini, kita hanya bertugas melayani laki-laki. Itu saja. Bekerja ala-kadarnya, tapi dapat uang,” kata Dani lagi saat itu.
Perempuan yang hanyut dengan keluhnya itu lalu memandang ke arah cermin. Di dalam cermin yang kacanya tak lagi bersih dan buram itu, ia memandang wajahnya sendiri dalam-dalam. Terlihat jelas di kaca cermin, wajahnya tak lagi sekencang dan semulus lima tahun lalu. Kecantikan di wajahnya seperti telah memudar. Padahal kecantikan itulah yang dulu menjadi kebanggaan dan andalannya. Kecantikan itulah yang selama bertahun-tahun dulu telah membuat dirinya populer dan menjadi idola banyak lelaki yang bertandang ke tempat ini.
”Aku harus pergi. Ya, aku harus pergi. Tak ada lagi yang kupertahankan di sini. Tak ada lagi........,” kata-kata ini seperti saling berdesakan di dalam hatinya.
Perempuan itu mengusap air matanya yang masih membekas di pelupuk mata. Perempuan itu pun berusaha meyakinkan dirinya bahwa keinginan untuk pergi bukan semata dikarenakan alasan kecantikannya yang sudah memudar. Bukan karena takut, tak akan ada lagi lelaki yang datang mencari, dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Bukan karena takut bersaing dengan pendatang-pendatang baru, yang jauh lebih muda, lebih kenes dan cantik.
Tapi, semuanya bermula dari sms Dani yang diterima handphonenya lima hari lalu. Dani yang kebetulan sedang pulang ke desa itu mengabarkan, jika Dimas bersama kakek dan neneknya telah tewas disambar truk. ”Menurut informasi bapakmu naik sepeda menggonceng ibumu dan Dimas, sehabis menjemput Dimas di sekolah. Mereka disambar truk. Peristiwanya sudah terjadi seminggu lalu. Tapi tak ada yang memberitahumu, karena tak ada yang tahu alamatmu di kota,” begini tulis Dani di sms-nya.
Perempuan itu kembali mengusap air matanya. Ia berpikir, tak ada lagi yang bisa dipertahankannya di tempat ini. Tak ada lagi gunanya bekerja di sini. Ia dulu nekad bekerja begini, demi untuk anaknya semata wayang, Dimas. Demi untuk menyekolahkannya. Untuk membesarkannya. Namun, kini semuanya sudah sirna.
Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya ke sebilah pisau, yang sejak sore tergeletak di atas meja kecil, tak jauh dari ranjangnya. Pisau tajam itu sore tadi digunakannya untuk mengupas buah mangga, pemberian teman di kamar sebelahnya.
Perempuan itu menguatkan tekadnya untuk pergi.
Yogya, Juli 2011

Kamis, 11 Juli 2013

Darmogandhul Pesan Islam dalam Pemahaman Jawa

                                                                 www.facebook.com




Darmogandhul
Pesan Islam dalam Pemahaman Jawa

SALAH satu karya sastra Jawa Klasik yang hingga hari ini masih menjadi bahan perbincangan atau bahkan perdebatan adalah Serat Darmogandhul. Karya sastra klasik yang ditulis oleh Ki Kalamwadi pada tahun 1830 Jawa ini berbentuk puisi yang sarat dengan ajaran kehidupan berdasarkan tasawuf Islam. Sebagai sebuah suluk atau ajaran kehidupan berdasar tasawuf Islam, tidak semua orang dengan mudah memahami serta mencerna pesan-pesan mulia tentang kehidupan di dalamnya.
Pesan-pesan kehidupan di dalam Darmogandhul ini dituangkan dalam bentuk paparan dialog antara Ki Kalamwadi (sang penulis) dengan seorang tokoh bernama Darmogandhul. Darmogandhul adalah seorang murid atau santri yang sedang mempelajari tentang Islam.
Dalam dialog-dialog itu Ki Kalamwadi menceritakan tentang kedatangan Islam di Jawa dan runtuhnya Majapahit. Diceritakan tentang permaisuri Prabu Brawijaya yang berasal dari Campa, yang selalu membujuk sang Prabu untuk memeluk agama Islam. Karena kebetulan sang permaisuri yang berasal dari Campa itu beragama Islam. Bahkan ketika itu kemenakan sang permaisuri, yakni Sayid Rahmat, yang kemudian dikenal dengan Sunan Bonang, sudah tinggal di Jawa (di wilayah Majapahit).
Islam semakin berkembang di Majapahit, setelah Sayid Rahmat oleh Prabu Brawijaya diberi tanah di Tuban. Tak hanya diberi tanah atau wilayah, tapi juga diizinkan untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah sepanjang pantai utara Jawa. Wilayah penyebarannya dari Blambangan sampai Banten.
Setelah itu, salah seorang putera Prabu Brawijaya yang lahir di Palembang bernama Raden Patah dan beragama Islam, diberi tanah dan kekuasan di wilayah Demak dengan diangkat sebagai Bupati. Seperti halnya Sayid Rahmat, Raden Patah juga diberi izin atau kebebasan untuk menyebarkan Islam. Dengan posisi Raden Patah sebagai Bupati di Demak, syiar Islam pun semakin berkembang di Jawa atau di wilayah Majapahit.
Akan tetapi persoalan kemudian muncul ketika langkah Sunan Bonang untuk berdakwah Islam di Kediri ditentang oleh penguasa setempat Ki Buta Locaya. Merasa ditentang, Sunan Bonang lalu menghancurkan arca kuda berkepala dua yang terdapat di Desa Bogem, Kediri. Padahal arca itu merupakan buah karya dari Prabu Jayabaya.
Peristiwa perusakan itu dilaporkan Patih Gajah Mada kepada Prabu Brawijaya. Sang Prabu yang semula sudah memberikan kesempatan dan kebebasan Islam dikembangkan di wilayahnya menjadi murka. Prabu Brawijaya lalu memerintahkan Sunan Bonang dan pengikutnya (yang beragama Islam) untuk keluar dari wilayah Majapahit, kecuali Ngampelgading dan Demak. Artinya, pengikut Islam hanya boleh tinggal di wilayah Ngampelgading dan Demak saja. 
Diuraikan juga di dalam Darmogandhul, kisah runtuhnya Majapahit setelah diserang tentara Demak. Ketika itu Demak diperintah oleh Raden Patah dibantu para Wali Sanga. Dalam penyerangan ke Majapahit, Mahapatih Gajah Mada yang terkenal itu tewas, tentara Majapahit porakporanda, dan Majapahit akhirnya dikuasai Demak. Prabu Brawijaya kemudian meninggalkan istana dan bersama pembantunya bersembunyi di suatu wilayah. Kemudian orang-orang Majapahit yang tinggal diperintahkan untuk memeluk agama Islam.

Dakwah yang Santun
Diuraikan juga tentang pertemuan Raden Patah dengan neneknya, Nyai Ngampeldenta, di Ngampeldenta. Sang nenek menyesalkan tindakan Raden Patah sebagai seorang anak yang telah menyerang kerajaan yang dipimpin ayahnya sendiri. Tindakan itu dinyatakan sebagai perbuatan yang tidak terpuji dan tak pantas dilakukan oleh seorang anak kepada ayahnya. 
Raden Patah kemudian menyesali perbuatannya. Ia sangat bersedih. Dan, iapun kemudian meminta bantuan Sunan Kalijaga untuk mencari ayahnya, Prabu Brawijaya. Bila bertemu, ayahnya diminta untuk kembali ke Majapahit, memimpin kerajaan itu lagi. Usaha Sunan Kalijaga berhasil. Prabu Brawijaya ditemukan di Blambangan. Berkat dakwah yang santun dan rendah hati dari Sunan Kalijaga,Prabu Brawijaya bersedia pulang ke Majapahit. Sikap kecewa dan sakit hatinya terhadap Islam bisa terhapus. Bahkan ia sempat menyatakan kesediaannya untuk memeluk Islam dengan sepenuh hati.
Bila menyimak karya klasik ini dengan pikiran dan hati yang tersekat-sekat, memang ada beberapa bagian di dalam Serat Darmogandhul yang terasa mengganjal dan mengganggu. Terlebih lagi bila dikaitkan dengan pemahaman Islam yang terbatas pula.
Tetapi terlepas dari semua itu, sesungguhnya Serat Darmogandhul sudah memberikan pelajaran kepada kita untuk ikhlas meminta maaf dan menyesali perbuatan yang dipandang salah. Dengan posisi apapun, misalnya apakah seorang Raja, penguasa, atau hanya rakyat jelata, untuk tidak segan-segan meminta maaf dan menyatakan penyesalannya bila merasa bersalah.
Kemudian Darmogandhul juga telah memberikan pelajaran tentang bagaimana sesungguhnya cara berdakwah atau memperkenalkan suatu paham (ajaran) agama ke suatu masyarakat yang masih merasa asing dengan paham baru tersebut. Murkanya Prabu Brawijaya karena ada arca yang dirusak, menunjukkan bahwa kekerasan bukanlah jalan atau cara yang tepat. Tapi kelembutan, kebijaksanaan, dan cara penyampaian yang tepat, seperti yang dilakukan Sunan Kalijaga kepada Prabu Brawijaya, sehingga ia tertarik kepada Islam, merupakan langkah yang pantas dilakukan.
Di dalam Serat Darmogandhul juga diceritakan tentang penolakan para punakawan Prabu Brawijaya, Sapdopalon dan Noyogenggong, terhadap Islam, dan kemudian kekecewaan keduanya kepada Prabu Brawijaya yang tertarik kepada Islam dan tidak melestarikan agama yang dianut para pendahulunya,yakni Buddha.
Bagian ini jelas memberikan pelajaran kepada kita untuk senantiasa menghargai perbedaan pendapat. Di dalam kehidupan, perbedaan pendapat antara satu sama lainnya adalah sesuatu yang wajar. Dan, bila itu terjadi maka perbedaan itu haruslah disikapi dengan bijaksana dan hati yang jernih. Karena setiap manusia bebas berpendapat dan menentukan pilihan hidupnya sendiri.
Demikianlah, Darmogandhul yang banyak dipersoalkan dan dipandang kontroversial itu sesungguhnya sarat dengan ajaran-ajaran mulia tentang kehidupan atau pesan-pesan Islam dalam cara pandang dan pemahaman Jawa. ***  
                                                 (Sutirman Eka Ardhana)

 

Zaman Edan

                        Salah satu contoh "zaman edan" itu adalah merajalelanya korupsi. 
                                ft. galerikemenkeulib.blogspot.com
                       
                                 Zaman Edan

DALAM beberapa tahun terakhir ini kita terlalu sering mendengar dan membaca tentang apa yang disebut sebagai “zaman edan”. “Sekarang kita sedang berada di zaman edan. Di zaman yang serba tidak menentu. Di zaman yang sulit, zaman penuh angkara murka dan kesewenang-wenangan,” demikian antara lain rentetan kalimat tentang zaman edan yang sering muncul dan diucapkan oleh sejumlah orang, baik yang tokoh kasepuhan, atau memiliki kemampuan daya linuwih, maupun hanya yang sekadar bisa bicara saja..
Berbagai contoh peristiwa yang terjadi dan dialami bangsa ini sekarang memang cukup beralasan untuk menyebutkan bahwa kita kini sedang berada di zaman edan atau menuju ke zaman kehancuran. Bangsa ini memang seakan sedang menjalani kehidupan di zaman edan dan zaman yang terkutuk.
Cobalah lihat, betapa kehancuran peradaban itu kini sedang menimpa negeri kita. Kita saling bunuh satu sama lain, aksi-aksi teror dengan ledakan bom dan lainnya terjadi di sejumlah tempat, saling bacok, saling melukai, juga saling menganiaya. Kerusuhan dan kebringasan sepertinya sedang menjadi bagian dari kehidupan kita. Bencana pun selalu bermunculan. Dari tsunami, gempa bumi, tanah longsor, kebakaran hutan, luapan Lumpur, dan banyak lainnya lagi.
Perihal zaman edan “jauh-jauh hari” memang sudah dilontarkan oleh pujangga R Ng Ronggowarsito dalam beberapa karyanya, di antaranya dalam salah satu karya terkenalnya, “Serat Kalatidha”.
Budayawan H Karkono Partokusumo dalam buku “Zaman Edan – Pembahasan Serat Kalatidha Ranggawarsitan (Proyek Javanologi, 1983) menyebutkan istilah “zaman edan” terdapat di dalam Serat Kalatidha yang berisikan 12 bait tembang sinom.
Berbicara soal zaman edan, ada dua bait Serat Kalatidha yang menarik untuk dibaca dan direnungkan, yakni bait pertama dan bait ketujuh.

Bait pertamanya berbunyi :
Mangkya darajating praja, kasuryan wus sunya ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, ponang paramengkawi, kawilating tyas malatkung, kongas kasudranira, tidhem tandhaning dumadi, hardoyengrat dening karoban rubeda.

(Terjemahannya: Sekarang martabat negara, tampak telah sunyi sepi, (sebab) rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, maka sang pujangga diliputi oleh kesedihan hati, merasa tampak kehinaannya, bagaikan kehilangan tanda-tanda kehidupannya, karena ia mengetahui kesengsaraan dunia yang tergenang oleh berbagai kalangan.)

Bait ketujuh berbunyi:
Amenangi zaman edan, ewuh aya ing  pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah karsa Allah, begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada.

(Terjemahannya: Mengalami zaman edan, serba sulit dalam pemikiran, ikut menggila tak tahan, kalau tidak iku tidak mendapat bagian, akhirnya kelaparan, takdir karena Allah, untung-untungnya yang lupa, lebih beruntung yang ingat dan waspada.)

Apa yang ditulis Ronggowarsito dalam bait pertama dan ketujuh Serat Kalatidha itu memang sedang terjadi sekarang ini. Kini, negara dan pemerintahan memang sudah kehilangan martabatnya. Korupsi merajalela, dan sulit terberantaskan, sekalipun ada lembaga yang paling berwenang untuk memberantasnya seperti KPK. Tindak kriminalitas tak pernah reda. Para elit politik dan elit kekuasaan sering saling hujat, saling mencemooh dan saling jelek-menjelekkan. Tampaknya para elit sudah tidak lagi bisa membedakan antara kritik dengan hujatan dan cacimaki. *** 
                                                                  (Sutirman Eka Ardhana)