Kamis, 12 Maret 2020

Simak Buku (1): Memahami Jawa, Lewat "Manusia Jawa"


     Simak Buku (1):
     Memahami Jawa, Lewat "Manusia Jawa"

     MASYARAKAT Jawa selalu menarik untuk diperbincangkan. Terutama kalau itu berkaitan dengan budaya dan filsafat kehidupannya. Banyak cara dilakukan oleh para ahli dalam kaitan untuk memahami Jawa, karena Jawa dipandang tak hanya sebatas nama suatu kelompok suku atau etnis, tetapi juga merupakan bentuk ajaran kehidupan yang adiluhung.
     Sesungguhnya ada sebuah buku yang bisa dijadikan salah satu pilihan bila ingin mengetahui lebih jauh tentang seluk-beluk orang Jawa, atau memahami Jawa. Buku yang saya maksud itu berjudul "Manusia Jawa", karya Drs. Marbangun Hardjowirogo. Buku ini memang bukan buku baru, karena diterbitkan oleh Yayasan Idayu, Jakarta, tahun 1983. Akan tetapi, bila ingin memahami Jawa, dan mencoba mencari tambahan wawasan yang lebih luas lagi tentang apa dan bagaimana orang Jawa, buku ini akan memberi pengetahuan yang berharga.
     Untuk mengetahui betapa buku ini memang layak disimak bila ingin memahami Jawa, simak dulu judul-judul tulisan atau bahasan di dalamnya. Buku ini merangkum 23 judul tulisan atau bahasan. Bahasan di dalamnya meliputi: Pertanggungjawaban, Sikap Feodalistik Manusia Jawa, Sikap Keagamaan Manusia Jawa, Sikap Fatalistik Manusia Jawa, Manusia Jawa dan Wayang, Manusia Jawa dan Tindak Tegas,  Manusia Jawa "Rumangsan", Manusia Jawa dan "Aja Dumeh", Manusia Jawa dan "Tepa Slira", Manusia Jawa dan "Mawas Diri", Manusia Jawa dan "Budi Luhur", Manusia Jawa dan Sanak, Manusia Jawa dan "Serat Wulang Reh", Manusia Jawa dan "Serat Weddhatama", Manusia Jawa dan "Ngelmu Begja", Manusia Jawa dan Sikap "Perwira", Manusia Jawa dan "Bantingraga", Manusia Jawa dan Penikmatan Hidup, Manusia Jawa dan "Gugontuhon", Manusia Jawa dan "Kamanungsan", Manusia Jawa dan Suku-suku Sebangsanya, Manusia Jawa dan Semu, dan Manusia Jawa dalam Perubahan.
     Nah, dari judul-judul bahasan itu, terlihat jelas buku ini menyajikan beragam aspek tatanan kehidupan yang ada di dalam masyarakat Jawa. Karena saya juga baru mencoba belajar memahami Jawa, karenanya saya tidak punya keberanian untuk mengatakan semua aspek kehidupan masyarakat atau manusia Jawa sudah terangkum di dalam bahasan-bahasannya. Saya hanya bisa mengatakan, bahasan-bahasannya sudah menampilkan beragam aspek kehidupan masyarakat Jawa.

     Sikap Feodalistik
     Bila ingin menelisik lebih dalam tentang apa dan bagaimana manusia Jawa itu, semua bahasan di dalamnya sungguh menarik untuk disimak. Akan tetapi, saya tak mungkin menjelaskan semua bahasan-bahasan itu. Hanya beberapa bahasan saja yang bisa saya coba kemukakan.
     Menurut saya, salah satu bahasan yang menarik disimak adalah bahasan berjudul "Sikap Feodalistik Manusia Jawa". Di dalam bahasan tentang sikap feodalistik manusia Jawa, Drs. Marbangun Hardjowirogo memaparkan, feodalisme tak lain suatu mental attitude, sikap mental terhadap sesama dengan mengadakan sikap khusus karena adanya pembedaan dalam usia atau kedudukan.
     Dalam hal ini, Drs Marbangun menegaskan, bahasa dan budaya Jawa berbuat sangat terperinci. Dalam menghadapi seseorang lebih tua dalam usia, orang Jawa menggunakan kata-kata berlainan dengan apabila ia menghadapi seseorang lebih muda atau sama dalam usia. Perbendaharaan kata orang lebih tua dalam usia berbeda dengan perbendaharaan kata orang lebih muda dalam usia. Perbedaan dalam perbendaharaan kata ini terdapat pula karena adanya perbedaan dalam tingkat kebangsawanan dan juga karena adanya perbedaan dalam kedudukan sebagai priyayi.
     Dikemukakan pula, demikian kuatnya  sudah feodalisme berakar dalam masyarakat Jawa. Manusia Jawa begitu kuat terikat oleh tradisi dan tata gaul feodalistik, sehingga ia belum bisa bersikap dan berbicara bebas di dalam masyarakatnya.
     Coba simak apa yang diuraikan Drs Marbangun Hardjowirogo di bawah ini:
     Ingin melalui ruangan penuh-sesak misalnya, di mana kebetulan duduk juga pamannya atau kepala kantornya, orang Jawa takkan berani berjalan biasa. Ia otomatis akan membungkuk hormat dan tersenyum pula sambil mengisyaratkan dengan tangan kanannya, bahwa ia ingin berlalu. Secara mental ia dibebani dengan tradisi dan tata-gaul yang terwaris olehnya selagitak bisa dan tak berani ia membebaskan diri darinya. Beban ini bisa terasa lebih berat lagi dalam hubungan pekerjaan. Di hadapan atasan tak pernah seorang bawahan Jawa mau mengatakan "tidak" dan selalu menyatakan penolakannya secara halus dengan senyum di bibir dengan maksud supaya tidak mengecewakan, dan menyakiti hati pihak yang ditolak tawaran atau permintaannya.
     "Inggih" (ya) di lingkungan kraton dalam kenyataannya belum tentu berarti ya. Sebab kata "mboten" (tidak) tak ada di dalam tata-gaul masyarakat Jawa dan lebih-lebih lagi dalam pemerintahan. Di sini orang tak mengenal bantahan dan hanya persetujuan. Dengan demikian ya bisa berarti tidak dan tidak yang diucapkan ragu-ragu bisa berarti ya. Tak pernah bisa didapat kepastian dalam jawaban seorang manusia Jawa. Kepastiannya baru didapat sesudah keputusan berlangsung beberapa waktu lamanya. Dilaksanakannya perintah berarti, bahwa jawab yang telah diberikan ialah ya dan tak dilaksanakannya perintah itu berarti, bahwa jawabnya yang telah diberikan ialah tidak.
     Nah, apa yang dikemukakan Drs Marbangun di atas ini memang bukan seseuatu yang berlebihan. Karena dalam realitanya, hal semacam itu masih tetap ditemukan hingga hari ini.
    
     "Aja Dumeh"
     Tinggalkan dulu perihal sikap feodalistik itu, karena bahasannya lumayan panjang. Saya ajak untuk menyimak bahasan lainnya, yakni bahasan berjudul "Manusia Jawa dan Aja Dumeh".
     Diuraikan di dalam buku ini, manusia Jawa selalu dididik supaya jangan mengecewakan dan menyakiti hati orang lain oleh karena pergantian nasib ke arah yang baik orang itu dapat menyebabkan kita keweleh, tersanggah dana harus mengoreksi sikap kurang wajar yang telah kita ambil terhadap orang tersebut. Demikian hati-hatinya falsafah hidup Jawa hingga secara mental menyiapkan para penghayatnya terhadap kemungkinan-kemungkinan yang dapat dihadapi. Untuk menjaga diri supaya tidak keweleh, tersanggah oleh perubahan keadaan, manusia Jawa pun melindungi diri terhadap akibat sikap aja dumeh.
     Sikap teramat hati-hati yang diambil orang Jawa di dalam hidup, menurut penulis buku ini, ada baiknya juga semacam perlindungan terhadap perubahan dalam keadaan yang selalu dapat terjadi. Tapi sebaliknya membikin dia kurang berani pula untuk mengambil risiko oleh karena terlalu mementingkan keselamatan, baik batiniah maupun lahiriah di dalam hidupnya.
     Sikap seperti itu, menurut penulis buku ini, memang safe, aman tapi tak memungkinkan terjadinya kejutan-kejutan ke arah kemajuan. Ketenangan dalam hubungan antarmanusia yang diperoleh mungkin membahagiakan juga, namun tak membukakan cakrawala-cakrawala baru dalam hubungan yang memungkinkan suatu perkembangan ke arah yang belum terpikir.
     Saya kutipkan beberapa alinea dari bahasan ini, yang sepertinya menarik untuk disimak dan dipahami.
     Masyarakat Jawa sementara ini dengan inklinasi diskriminatifnya yang masih cukup kuat, tetap merupakan salah satu masyarakat di Indonesia yang sulit pendemokrasinnya. Masih terlalu banyak mendapat sisa-sisa feodalistik di dalamnya yang tetap bertahan dan memerlukan kesabaran dan ketahanan dalam mengatasi dan memberantasnya.
     Setiap manusia Jawa yang mendapat kedudukan baik di dalam masyarakat oleh para sesepuhnya dulu selalu dibekali pedoman hidup supaya menjauhkan diri dari sikap aja dumeh selagi dia sedang beruntung oleh karena sikap mengagul-agulkan diri dapat menjauhkan sanak dan kawan. Padahal orang selalu memerlukan doa restu mereka untuk dapat melanggengkan kedudukan yang dipegang. Sebab lebih baiklah selalu di dalam hidup untuk mempunyai kawan daripada mempunyai lawan. Simpati dan doa sanak serta kawan selalu membantu dalam menyelamatkan dan memberhasilkan segala usaha yang dilakukan.
     Maka itu manusia Jawa pun demi keselamatannya sendiri akan berusaha selalu untuk mendapatkan kawan sebanyak-banyaknya. Sebab di dalam hidup orang tak pernah dapat melakukan segala sesuatu sendiri.
     Dari dua bahasan yang saya kemukakan, itu pun hanya sebagian-sebagian saja, setidaknya ada gambaran buku Manusia Jawa ini memang layak disimak bila kita akan mencoba menambah wawasan atau pengetahuan dalam memahami Jawa.
     Saya pernah mendengar pernyataan "Orang Jawa itu kalau marah bisa dengan senyum". Buku Manusia Jawa ini memperkuat pernyataan itu. Jadi, berpandai-pandailah dalam menyimak atau membaca wajah orang Jawa, karena senyum tak selalu bisa diartikan sebagai sesuatu yang menyenangkan. *** (Sutirman Eka Ardhana)