Rabu, 10 Juli 2013

Puisi-puisi ‘yang hilang” itu kembali saya temukan

BAHAGIA sekali, ketika mendapat ‘kiriman’ puisi-puisi lama saya (tahun 70-an) yang dimuat di surat kabar Suara Merdeka, Semarang, (sekitar  1975-1976) dan majalah PUSARA (sekitar 1973-1974) dari Mas Arief Joko Wicaksono. Saya memang tidak memiliki lagi arsip-arsip atau dokumentasi sebagian karya-karya lama saya di tahun 70-an, bahkan juga 80-an. Beruntunglah saya, karena Mas Arief masih menyimpan dokumentasinya. Bahagia, sungguh bahagia, karena karya-karya ‘yang hilang’ itu kembali saya temukan. Terimakasih, terimakasih untukmu Mas Arief.
            Salah satu kelemahan saya adalah dalam hal pendokumentasian karya-karya itu. Beberapa puisi saya yang pernah dimuat majalah DEWAN SASTERA Malaysia di tahun 70-an, dan sejumlah media lainnya lagi, termasuk di Harian KOMPAS (1970-an), arsip atau dokumentasinya tak juga saya miliki. Bahkan cerita bersambung saya yang dimuat Harian SINAR HARAPAN (1981?) berjudul “Terbanting”, arsipnya pun hilang tak berbekas.
            Di bawah ini saya tampilkan kiriman dan catatan dari Mas Arief Joko Wicaksono perihal puisi-puisi lama saya di Suara Merdeka dan Majalah PUSARA itu. (SEA)

Arief Joko Wicaksono IX
  • Puisi "Surat Kepada Ibunda" dan "Ada Khabar Dari Jauh" aku klipping dari rubrik budaya "Minggu Ini" Suara Merdeka, Semarang, saat aku masih SMA dan mulai menggilai sastra. Waktu itu, Eka Ardhana kukenal sebagai penyair dan wartawan di Yogya. Ternyata setelah bertemu di awal 1978 di kantor redaksi "RENAS" (Berita-Nasional) aku baru nggeh kalau dia pernah jadi tetanggaku di Gang Kendeng, Prumpung, Kebumen. Saat itu Eka pelajar SLTA dan aku SD, jadi tak pernah bertegur sapa. Klipping puisi ini, setelah kusimpan lebih dari empat windu akhirnya kuketikkan dan kukirimkan; karena guntingan kertas korannya mulai buram dan, tanggal pemuatan sajaknya telah 'hilang'.



Sajak-sajak: Sutirman Eka Ardhana
SURAT KEPADA IBUNDA

Engkaulah yang bernama rindu itu
sebab dimatamu telah terbentang lautan biru
yang di dasarnya akan kuselami makna kehidupan
cinta dan kemisterian.

Engkaulah yang bernama kasih sayang itu
karena di dadamu telah kutemukan pemberhentian
dimana kegelisahan kuteduhkan
dan dimana akhirnya kembara kupulangkan.

--Yogya, 1975—


ADA KHABAR DARI JAUH
(kepada kota kelahiran)

Ada khabar dari jauh, datang senja hari
diantara daun-daun luruh, lagu yang tak sepi
cemara-cemara telah kering, karena kemarau memanjang
dan dermaga jadi sunyi, karena camar tak pernah pulang

Bila nanti kau datang
aku tak menunggumu di simpang
dan dedaunan para telah kuyu
tak sebiru waktu dulu

Ada khabar dari jauh, datang senja hari
dalam dada gemuruh, kembara tak pernah teduh
saat-saat resah, burung-burung terbang pulang
dalam kepaknya, ada rindu
petualang.

--Yogya, 1975—


Arief Joko Wicaksono IX
  • Dua Sajak di Majalah PUSARA: (Maaf, tanggal pemuatannya sudah terkelupas, mas)

Sutirman Eka Ardhana


SEORANG PENYADAP TUA MENGELUH DUKANYA

di pagi yang gerimis
seorang penyadap tua mengeluhkan dukanya
ketika angin pertautan meluruhkan daun-daun para
dan matahari segan memperlihatkan senyumnya.

ah, ini entah kali yang ke berapa
pagi turun dengan gerimis
ah, ini entah kali yang ke berapa
pagi-pagi anaknya menangis.

di pagi yang gerimis
seorang penyadap tua mengeluhkan dukanya
ketika wajah kerut istrinya menatap hiba
dan bola mata anaknya menikam jantungnya.

--Bengkalis, November, 1973—

DI TEPI PELABUHAN SEORANG PENGAIL TUA MEMPERMAINKAN NASIBNYA

di tepi pelabuhan
seorang pengail tua mempermainkan nasibnya
sewaktu sepasang ikan
mempermainkan mata kailnya.

di tepi pelabuhan
seorang pengail tua mempermainkan kailnya
sementara rindu serta harapan
menggumul anak isterinya.

--Bengkali, November, 1973--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar