Rabu, 10 Juli 2013

Perempuan Yang…….
Cerpen Sutirman Eka Ardhana

            PEREMPUAN yang sendiri di kamar itu adalah perempuan yang semalaman menenggelamkan dirinya ke dalam sunyi. Perempuan yang menenggelamkan dirinya ke dalam sunyi itu adalah perempuan yang bermalam-malam telah mencoba membunuh birahinya pada lelaki. Dan, perempuan yang mencoba membunuh birahinya pada lelaki itu telah memastikan dirinya untuk segera pergi.
Pergi! Ya, pergi, dan tak akan kembali lagi. Pergi dari tempat yang bertahun-tahun telah menjadi tempatnya melabuhkan gelisah, dan menyandarkan keluh-kesah kehidupan. Pergi dari tempat yang bertahun-tahun telah menjadi tumpuan hidupnya. Tempat ia bertahun-tahun berkubang dengan nestapa dan tawa. Bergumul dengan senyum dan air mata.
Meski menyakitkan, tapi perempuan itu sadar, sepahit apa pun tempat ini telah menyelamatkan hidupnya dari keputus-asaan. Menyelamatkannya dari ketakberdayaan dan kehampaan. Tempat ini pun telah menjadi penawar kepedihannya. Ia pun ingat, betapa tak berdayanya dulu menghadapi nestapa kehidupan.  Menghadapi kenyataan yang tiba-tiba muncul dan memporak-porandakan kehidupannya. Betapa tak berdayanya ia dulu mencegah suaminya pergi dengan perempuan lain, dan kemudian meninggalkannya begitu saja. Dan, betapa tak berdayanya ia mencegah perceraian.
Ada yang bergejolak di dada perempuan itu. Ada rasa amarah, kecewa dan pedih. Gejolak rasa yang membuatnya seperti tersudut tak berdaya. Perempuan itu pun kemudian menitikkan air mata. Menangis. Tanpa sadar, air matanya menetes, membasah di pipi. Padahal sudah bertahun-tahun ia mencoba tak menangis di tempat ini. Bertahun-tahun ia mencoba untuk tegar. Mencoba untuk kuat dan tidak cengeng.
Tapi kini ketegarannya mulai rapuh. Kekuatan jiwanya mulai melemah. Ia seperti telah didera ketakberdayaan yang sangat dalam. Beberapa bulan terakhir ia mudah sekali bersedih. Ia sering bermenung diri. Terlebih bila malam, setelah aktivitas kesibukan di tempat ini berakhir, ia pun tenggelam dalam kesepian dan kesendirian. Ia merasakan hidup yang sunyi. Teramat sunyi. Dan, hidup yang pahit. Teramat pahit. Kepahitan yang menyayat. Kepahitan yang menunjam pedih ke relung-relung hati.
Perempuan yang sendiri di kamar itu pun kembali mengingat-ingat perjalanan dirinya. Kembali mengingat langkah demi langkah yang telah membawanya masuk ke tempat ini dan bergelut dengan rona kehidupan di dalamnya. ”Ah, sudah lama aku hanyut dengan gelombang kehidupan di sini,” keluhnya.
Ia pun ingat, suatu hari, sekitar lima tahun lalu. Wardani, tetangganya di kampung, dan teman satu sekolahnya semasa masih di SMP, datang ke rumahnya. Ketika itu ia sedang duduk sendiri, di kursi panjang, di bawah pohon jambu merah, depan rumahnya, sambil memandang semburat senja yang turun di balik desa.
”Apa kau tidak tertarik pergi ke kota?” tanya Dani, begitu ia selalu memanggil perempuan teman semasa sekolahnya itu.
”Ke kota? Untuk apa?” ia balik bertanya.
”Ya, bekerjalah. Dari pada di sini, kau hanya bermenung-menung seperti ini, mengingat-ingat lelaki bekas suamimu yang sudah pergi itu. Lebih baik kau lupakan semuanya. Kau lupakan semua kepedihan. Apalagi kau juga memerlukan biaya untuk membesarkan anakmu, dan menyekolahkannya nanti.”
”Tapi, bagaimana dengan Dimas, anakku itu? Tahun depan dia harus sudah masuk sekolah. Siapa nanti yang harus mengurusnya masuk sekolah. Dan, bila sudah sekolah, siapa nanti yang harus mengantarkannya ke sekolah?”
”Pasrahkan atau titipkan saja kepada Bapak dan simbokmu. Bapak dan Simbok pasti bisa merawatnya, apalagi kalau hanya ngurusi bagaimana dia masuk sekolah nanti. Yang penting, ada biayanya. Nah, dengan bekerja di kota, nanti kamu bisa memberikan atau mengirimi biaya untuk anakmu itu.”
Perempuan itu pun ingat, bagaimana ia dulu mengangguk, menyetujui ajakan Dani untuk bekerja di kota. Dan, ia pun ingat, teramat ingat, bagaimana Dani pertama kali membawanya ke tempat ini.
”Di sini tempat yang termudah untuk bekerja, dan mencari uang. Jangan khawatir, aku juga bekerja di sini. Jadi kita akan selalu berdekatan. Akan selalu bersama,” ini kata-kata Dani ketika itu, saat ia terpana, kehilangan daya, terhenyak, dan tak tahu harus berkata apa-apa lagi.
”Di sini, kita hanya bertugas melayani laki-laki. Itu saja. Bekerja ala-kadarnya, tapi dapat uang,” kata Dani lagi saat itu.
 Perempuan yang hanyut dengan keluhnya itu lalu memandang ke arah cermin. Di dalam cermin yang kacanya tak lagi bersih dan buram itu, ia memandang wajahnya sendiri dalam-dalam. Terlihat jelas di kaca cermin, wajahnya tak lagi sekencang dan semulus lima tahun lalu. Kecantikan di wajahnya seperti telah memudar. Padahal kecantikan itulah yang dulu menjadi kebanggaan dan andalannya. Kecantikan itulah yang selama bertahun-tahun telah membuat dirinya populer dan menjadi idola banyak lelaki yang bertandang ke tempat ini.
”Aku harus pergi. Ya, aku harus pergi. Tak ada lagi yang kupertahankan di sini. Tak ada lagi........,” kata-kata ini seperti saling berdesakan di dalam hatinya.
Perempuan itu mengusap air matanya yang masih membekas di pelupuk mata. Perempuan itu pun berusaha meyakinkan dirinya bahwa keinginan untuk pergi bukan semata dikarenakan alasan kecantikannya yang sudah memudar. Bukan karena takut, tak akan ada lagi lelaki yang datang mencari, dan mengajaknya masuk ke dalam kamar. Bukan karena takut bersaing dengan pendatang-pendatang baru, yang jauh lebih muda, lebih kenes dan cantik.
Tapi, semuanya bermula dari sms Dani yang diterima handphonenya lima hari lalu. Dani yang kebetulan sedang pulang ke desa itu mengabarkan, jika Dimas, anaknya, bersama kakek dan neneknya telah tewas disambar truk. ”Menurut informasi bapakmu naik sepeda menggonceng ibumu dan Dimas, sehabis menjemput Dimas di sekolah. Mereka disambar truk. Peristiwanya sudah terjadi seminggu lalu. Tapi tak ada yang memberitahumu, karena tak ada yang tahu alamatmu di kota,” begini tulis Dani di sms-nya.    
Perempuan itu kembali mengusap air matanya. Ia berpikir, tak ada lagi yang bisa dipertahankannya di tempat ini. Tak ada lagi gunanya bekerja di sini. Ia dulu nekad bekerja begini, demi untuk anaknya semata wayang, Dimas. Demi untuk menyekolahkannya. Untuk membesarkannya. Namun, kini semuanya sudah sirna.
Perempuan itu lalu mengalihkan pandangannya ke sebilah pisau, yang sejak sore tergeletak di atas meja kecil, tak jauh dari ranjangnya. Pisau tajam itu sore tadi digunakannya untuk mengupas buah mangga, pemberian teman di kamar sebelahnya.
Perempuan itu menguatkan tekadnya untuk pergi.
                                                                                      Yogya, Juli 2011

(Dimuat Tabloid Berita Mingguan TeRAS Investigadi edisi  21-27 Juli 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar