Minggu, 29 Desember 2013

PERTEMUAN KE-6 MK: Pers Indonesia - AKY - SISTEM PERS PANCASILA (2)



MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA

       PERTEMUAN KE-6


SISTEM PERS PANCASILA

(2)

DENGAN munculnya sistem Pers Pancasila itu, pers Indonesia yang masih trauma dengan kebijakan pemerintah setelah peristiwa Malari 1974 seakan telah menemukan semangat, gairah dan ‘darah’ baru. Sebab dengan sistem Pers Pancasila itu telah ditemukan garis pijakan yang tepat bagi pers nasional dalam melaksanakan kerja jurnalistiknya tanpa dihantui kekhawatiran bahwa langkah-langkahnya akan berseberangan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Pemerintah sendiripun tampak memberikan dorongan yang nyata dalam menyebarluaskan sistem Pers Pancasila tersebut.
Keberadaan sistem Pers Pancasila semakin diperkuat dan dipertegas dengan hasil rumusan Dewan Pers dalam sidang plenonya ke-25 yang berlangsung pada tanggal 7 dan 8 Desember 1984 di Solo. Rumusan Dewan Pers itu semakin mempertegas dan memperjelas identitas tentang apa dan bagaimana sesungguhnya Pers Pancasila itu.
Di dalam rumusan Dewan Pers itu disebutkan:
-         Pers Indonesia adalah Pers Pancasila, dalam arti pers yang orientasi, sikap
Dan tingkahlakunya berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
-         Pers Pembangunan adalah Pers Pancasila dalam arti mengamalkan      Pancasila  dan Undang-undang Dasar 1945 dalam pembangunan berbagai aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk pembangunan pers itu sendiri.
-         Hakekat Pers Pancasila adalah pers yang sehat yakni pers yang bebas dan bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
-         Melalui hakekat dan fungsi itu, Pers Pancasila mengembangkan suasana saling percaya menuju masyarakat terbuka yang demokratis dan bertanggungjawab.
-         Dalam mengamalkan Pers Pancasila, mekanisme yang dipakai adalah interaksi positif antara masyarakat, pers dan pemerintah. Dalam hal ini, Dewan Pers berperan sebagai pengembang mekanisme tersebut.

Penjelasan lebih mendalam mengenai Pers Pancasila yang dirumuskan Dewan Pers itu telah menjadi topik bahasan utama dalam seminar tentang upaya pemantapan kedudukan dan peranan Pers Pancasila yang berlangsung tanggal 19 sampai 21 Februari 1985 di Solo.
Seminar yang diselenggarakan Departemen Penerangan bersama Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu antaralain telah merumuskan bahwa Pers Indonesia menganut pandangan hidup Pancasila sebagai landasan pola pikir, pola sikap dan pola perilaku dalam melaksanakan atau mengaktualkan peran dan kedudukannya sebagai salah satu lembaga kemasyarakatan di Indonesia. Kemudian demi menunjang keberhasilan tugasnya, Pers Pancasila berpegang pada kebebasan yang bertanggungjawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi masyarakat, penggerak motivasi masyarakat serta pengawas sosial yang konstruktif.
Disebutkan juga dalam rumusan hasil seminar di Solo itu bahwa aktualisasi peran Pers Pancasila dimungkinkan apabila semua pihak yang terlibat dalam interaksi positif, yakni pers, pemerintah dan masyarakat ikut membina kondisi kerukunan, saling percaya mempercayai, berpandangan luas, saling menghormati dan kejujuran.
Sejumlah pakar telah pula memberikan penambahan dan penajaman terhadap bagaimana sesungguhnya sikap dan perilaku Pers Pancasila. Prof. Dr Selo Soemardjan misalnya, dalam salah satu makalah seminarnya tentang Pers Pancasila di Yogyakarta pada Februari 1986 antaralain menyatakan ada tiga hal yang harus dilakukan oleh Pers Pancasila dalam mengaktualisasikan peran dan fungsinya.
Pertama, pers itu untuk memenuhi warnanya Pancasila, dapat memilih sumber-sumber berita yang sesuai dengan filsafatnya itu. Jadi sumber berita dipilih yang cocok dengan filsafat yang dianut. Kalau tahu sumber berita itu cocok dengan filsafatnya, diambil secara positif kemudian disebarkan. Bisa juga diambil sumber berita lain yang anti Pancasila. Dalam hal ini, diambil beritanya, tapi kemudian harus dikomentari bahwa itu adalah dari sumber yang anti Pancasila.
Kedua, pers itu bisa memilih berita-berita yang sesuai dengan ideologi atau dengan filsafat Pancasila. Diambil beritanya, bukan sumbernya saja. Sebab meskipun sumbernya berwarna Pancasila, berita yang timbul dari padanya mungkin tidak sesuai dengan Pancasila. Karena itu, berita yang digali itu harus diolah terlebih dahulu, atau entah diproses dahulu sehingga cocok dengan Pancasila.
Ketiga, dalam menunaikan tugas sebagai Pers Pancasila dalam negara yang ber-Pancasila, maka pers harus mampu mengolah dan kemudian menyajikan berita-berita itu sedemikian rupa sehingga effeknya kepada masyarakat umum atau kepada para pembaca itu selaras, seimbang dan serasi dengan Pancasila.
Sejak sistem Pers Pancasila dipertegas eksistensinya oleh Dewan Pers dalam sidang pleno Desember 1984 itu, maka pemahaman mengenai Pers Pancasila semakin memasyarakat dan menjiwai perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Akan tetapi, meskipun kemudian Pers Pancasila dapat memasyarakat dan menjiwai ‘roh’ pers Indonesia, namun pada kenyataan dan realita pelaksanaannya ternyata tidaklah seirama atau sesuai dengan hakekat nilai-nilai serta semangat Pers Pancasila itu sendiri.
Peran pemerintah terasa begitu besar dan kuat dalam menggiring pers nasional untuk membatasi diri dalam memilih pengertian mengenai hakekat Pers Pancasila yang dinyatakan sebagai pers yang bebas dan bertanggungjawab. Pers nasional seakan digiring dan dipaksa untuk tidak memiliki kemampuan dan keberanian menentukan pilihan yang tepat mengenai pengertian pers yang bebas dan bertanggungjawab tersebut.
Pers nasional dibawa dan digiring ke posisi untuk senantiasa berpegang teguh pada pemahaman dan pengertian pers yang bebas dan bertanggungjawab dari sudut pandang atau kacamata pemerintah. Dan, rumusan Dewan Pers yang menyebutkan bahwa dalam mengamalkan Pers Pancasila mekanisme yang dipakai adalah interaksi antara masyarakat, pers dan pemerintah, telah dijadikan senjata, alat atau dalih yang kuat oleh pemerintah untuk ‘memaksa’ pers agar tidak mencari pengertian lain mengenai “pers bebas dan bertanggungjawab” itu selain dari pemahaman serta pengertian yang digunakan maupun disebarluaskan pemerintah.
Kondisi seperti ini berlangsung terus dari tahun ke tahun, sampai akhirnya era reformasi datang dan menyingkirkan kekuasaan Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun lebih. Meskipun demikian, dalam kondisi tak berdaya seperti itu masih juga terdapat beberapa media pers yang mencoba ‘bersuara lantang’ dan berusaha membangunkan kembali semangat serta idealisme pers sesungguhnya. Akan tetapi ‘tangan-tangan’ pemerintah masih terlalu keras dan kuat untuk dilawan. Pemerintah masih merasa risih dengan keberanian-keberanian yang dicoba untuk dibangkitkan kembali itu. Akibatnya, pembreidelan atau pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) kembali terjadi. Peristiwa ini terjadi pada bulan Juni 1994 menimpa tiga media pers, yaitu majalah berita Tempo, Editor dan tabloid Detik.
Berakhirnya kekuasaan Orde Baru yang ditandai dengan pengunduran diri Presiden Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 dan kemudian digantikan oleh BJ Habibie yang sebelumnya adalah Wakil Presiden, telah membawa suasana, nuansa dan iklim baru bagi perjalanan serta perkembangan pers nasional.
Datangnya era reformasi telah membangunkan kesadaran bari bagi pers nasional untuk kembali menemukan jatidirinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Pers nasional yang sebelumnya seakan tidak memiliki kemampuan dan tak berdaya untuk melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan pemerintah yang kuat, mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya. Pers mendapatkan angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Seiring dengan itu, pemerintah yang tanggap dengan semangat dan angin reformasi yang bertiup kencang dalam waktu relatif singkat serta cepat melakukan langkah-langkah penyeimbangan. Pemerintah melalui Departemen Penerangan yang sebelumnya oleh kalangan pers selama bertahun-tahun dipandang sebagai instansi ‘garang’ dengan cepat mengambil kebijakan-kebijakan berani, melakukan reformasi di bidang peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pers.
Reformasi di bidang peraturan mengenai pers itu di antaranya meninjau kembali Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor 01/Per/Men/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dengan mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor 01/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Permenpen baru yang ditandatangani Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah itu telah membuka pintu kemudahan selebar-lebarnya dalam proses perolehan SIUPP.
Di era reformasi, terlebih lagi setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disahkan oleh Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999, angin segar kebebasan dan kemerdekaan pers terasa meniup begitu kencang. Pers Pancasila yang selama bertahun-tahun berada dalam jaring pengertian dan kekuasaan pemerintah, telah menemukan nuansa dan semangat baru. Nuansa demokrasi dan kemerdekaan pers membuat wajah pers nasional secara tiba-tiba berubah drastis dan cepat. +++
                                          (Sutirman Eka Ardhana)




Daftar Pustaka


1.      Denis McQuail, Teori Komunikasi Massa (terjemahan), Erlangga, Jakarta,
       1989. 
2.      Frederick S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm, Four
      Theories of The Press, Urbana: University of Illinois Press, 1957.
3.      Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat dan Mohammad Shoelhi
      (ed), Komunikasi Internasional, LP3K – PT Remaja Rosdakarya,
       Bandung, 1993.
4.      Edward C. Smith, Pembreidelan Pers Indonesia, terjemahan Atmakusumah, Alex A Rahim dan Arie Wikdjo Broto, Pustaka Grafitipers, Jakarta, 1983.
5.  Tribuana Said dan DS Moeljanto, Perlawanan Pers Indonesia BPS
     Terhadap Gerakan PKI, Sinar Harapan, Jakarta, 1983.
6.      Tribuana Said, Sejarah Pers Nasional dan Perkembangan Pers Indonesia, 1988.
7.      Amanat Sejarah – Dari Pekik Merdeka Hingga Suara Hati Nurani Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta, 1996.
8.      Prof Dr Selo Sumardjan, Pers Dalam Negara Pancasila, makalah Seminar Hari Pers Nasional II,  Februari 1986 di Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar