Minggu, 29 Desember 2013

PERTEMUAN KE-2 MK: Pers Indonesia - AKY - SISTEM PERS KEBANGSAAN



MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA

       PERTEMUAN KE-2


SISTEM PERS KEBANGSAAN

Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang  muncul sejak tahun 1907 hingga 1945 itu mempunyai dinamika dan liku-liku perjalanan yang menarik untuk disimak. Sejak tahun 1907 itulah Pers Kebangsaan berusahaan sekuat daya dan tenaga untuk meletakkan eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah cengkeraman kekuasaan penjajahan. Baik penjajahan kolonial Belanda maupun pendidikan balatentara Jepang.
Media Pers Kebangsaan yang muncul hampir bersamaan dengan kelahiran organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan di masa itu tidak hanya sekadar tampil sebagai media pers penyampai informasi, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi salah satu alat perjuangan guna mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bagi segenap bangsa Indonesia. Pers bersama kekuatan-kekuatan pergerakan kebangsaan lainnya saling bahu-membahu menggelorakan semangat kebangsaan mewujudkan Indonesia Raya yang terbebas dari cengkeraman tangan-tangan penjajahan.
Lahirnya organisasi “Boedi Oetomo” di tahun 1908 telah membawa pengaruh yang sangat besar bagi eksistensi Pers Kebangsaan yang ketika itu sedang melangkah menapak dan memantapkan diri. Karena seiring dengan itu, kemudian bermunculan sejumlah media pers yang meramaikan dan menyemarakkan pertumbuhan pers di Nusantara. Dan, sebagian besar media pers yang muncul itu menyuarakan semangat dan gelora Pers Kebangsaan yang membara, menyusul langkah yang telah ditempuh koran Medan Prijaji. Beberapa media pers itu di antaranya Boemipoetera yang terbit di Jakarta (Batavia) tahun 1909, kemudian di Medan (Sumatera Utara) tahun 1910 terbit pula Pewarta Deli, di tahun yang sama terbit Neratja di Jakarta. Tahun 1911 di Padang (Sumatera Barat) terbit Al-Moenir, tahun 1912 di Padang terbit lagi media baru bernama Oetoesan Melajoe. Tahun 1913 di Surabaya terbit Oetoesan Hindia, kemudian disusul pula di Medan tahun 1916 terbit dua media yakni Soeloeh Melajoe dan Benih Merdeka.
Media Pers Kebangsaan dari tahun ke tahun waktu itu semakin berkembang dan tumbuh subur. Kontrol atau pengawasan dari penguasa penjajah kolonial Belanda yang ketat dan keras, ternyata tidak menyurutkan langkah tokoh-tokoh Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang notabene juga merupakan tokoh-tokoh perjuang pergerakan itu dalam membangun dan mengembangkan semangat perjuangan mencapai Indonesia merdeka melalui media pers.
Media Pers Kebangsaan yang menyuarakan semangat perjuangan itu terus bermunculan sepanjang tahun 1920-an hingga 1942. Di antaranya di Medan terbit Matahari Indonesia, Sinar Deli, Pedoman Masyarakat dan Panji Islam, kemudian di Jakarta terbit pula Bintang Timoer, Pemandangan, Kebangoenan dan Daoelat Rakjat. Di kota Bandung terbit Fikiran Rakjat, di Palembang ada Obor Rakjat dan di Surabaya terbit Soeara Oemoem.
Sedang di Yogyakarta telah lahir sejumlah media pers di antaranya Boeroeh Bergerak (1920), Wasita (1928), Bintang Mataram (1928), Fajar Asia (1929), Pusara (1931), Garoeda Merapi (1931), Banteng Ra’jat (1932), dan Sinar Mataram (1934).
Tetapi kemudian media Pers Kebangsaan yang menyuarakan semangat perjuangan kemerdekaan itu dilanda ‘badai bencana’ balatentara Jepang yang datang menduduki Indonesia di tahun 1942 setelah berhasil menyingkirkan kekuasaan kolonial Belanda. Media Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang dibangun dengan susah payah oleh tokoh-tokoh pers itu kemudian dimatikan oleh pemerintah atau penguasa pendudukan Jepang melalui peraturan yang disebut Osamu Seiri atau Undang-undang Pemerintahan Jepang Nomor 16. Tokoh-tokoh Pers Kebangsaan ketika itu tidak lagi mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk melawan ‘tangan besi’ pemerintah pendudukan militer Jepang, kecuali mematuhi perintah itu dengan menghentikan semua aktivitas penerbitan pers.
Tetapi kondisi itu tidak berjalan lama. Ketiadaan saluran informasi membuat pemerintah pendudukan militer Jepang berpikir ulang lagi tentang kebijakannya yang telah mematikan atau menutup media pers yang sebelumnya ada. Pemerintah pendudukan militer Jepang kemudian mempertimbangkan dan menyadari arti pentingnya media pers bagi keberlangsungan kekuasaan dan pendudukannya di Indonesia dengan menempuh kebijakan sedikit lunak, yakni mengizinkan terbitnya lagi beberapa media pers.
Namun dalam kebijakannya itu, pemerintah pendudukan militer Jepang mengajukan sejumlah persyaratan yang harus dijalankan yakni tidak lagi menyuarakan semangat kebangsaan untuk meraih kemerdekaan Indonesia, melainkan harus mengumandangkan geloran dan semangat kebangkitan “Asia Timur Raya”.
Meski dengan perasaan terpaksa, tokoh-tokoh pers ketika itu berusaha sebisa mungkin untuk memanfaatkan peluang dan kebijakan bersyarat yang diberikan pemerintah pendudukan militer Jepang tersebut. Tokoh-tokoh pers yang ada berharap, meski berada dalam kontrol dan pengawasan pihak Jepang, setidak-tidaknya masih terbuka peluang atau kesempatan untuk membangkitkan kembali semangat serta gelora kebangsaan menuju cita-cita Indonesia merdeka.
Dengan persyaratan seperti itu kemudian terbitlah beberapa media pers, di antaranya Pemandangan (Jakarta), Ekspres (Surabaya), Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baroe (Semarang), Kita Soematra Shimbun (Medan), Palembang Shimbun (Palembang) dan Padang Nippo (Padang). 
Hampir seluruhnya dari suratkabar atau media pers tersebut berada di bawah kontrol dan pengawasan pemerintah pendudukan militer Jepang. Jadi, sekitar tigasetengah tahun pendudukan militer Jepang itu dapatlah disebut sistem pers yang berkembang di Tanah Air kita adalah sistem pers otoritarian (otoriter). Media pers yang ada sama sekali tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menyampaikan sikap serta ekspresi dirinya, karena semuanya berada dalam kendali dan kontrol penguasa pendudukan Jepang.
Proklami Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sendirinya telah membawa perubahan besar dan angin baru bagi perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Wajah pers Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan itupun secara serta merta kemudian berubah menjadi lebih semarak lagi. Jika sebelumnya (selama pendudukan militer Jepang) hanya menyuarakan semangat gelora “Asia Timur Raya” serta hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan pendudukan militer Jepang berubah menjadi ajang mengumandangkan sorak-sorai gelora kemerdekaan.
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, media pers yang terbit atau ada ketika itu seakan saling bahu-membahu mengembangkan pers kemerdekaan dan menyuarakan semangat persatuan serta kesatuan bangsa. Misalnya Soeara Asia (Surabaya),  Tjahaja (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Kedaulatan Rakyat yang terbit 27 September 1945 di Yogyakarta (merupakan kelanjutan dari Sinar Matahari) serta Merdeka yang terbit di Jakarta pada 1 Oktober 1945 dan sejumlah media pers lainnya tampak tidak kunjung berhenti menggelorakan dan menginformasikan gelora kemerdekaan ke segenap penjuru Tanah Air. Media pers ketika itu seketika merasa telah menemukan jatidirinya sebagai pers pembela dan penjaga kemerdekaan.
Akan tetapi tahun-tahun di awal kemerdekaan bukanlah masa-masa yang mudah bagi rakyat Indonesia. Hambatan demi hambatan bermunculan di sana-sini. Negeri yang baru saja terbebas dari cengkeraman penjajahan ini diguncang berbagai persoalan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Tidak hanya konflik-konflik politik antara partai-partai politik yang ada, tetapi juga ganggung dari Belanda yang ternyata masih berhasrat besar untuk tetap ingin kembali mencengkeramkan kuku kekuasaan dan penjajahannya di Indonesia melalui dua kali agresi yang dilancarkan militernya.
Gegap gempita semangat kemerdekaan yang dikumandangkan media pers sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu akibatnya tidak sempat berlangsung lama. Karena apa yang terjadi kemudian adalah munculnya kondisi pers Indonesia yang disibukkan atau dilelahkan dengan suasana pertentangan dan saling curiga satu sama lain, sebagai dampai dari iklim politik yang rawan dan tidak stabil saat itu.
Sejak akhir 1949 telah terjadi sejumlah peristiwa politik yang penting di Indonesia. Di antaranya diawali dengan pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada tanggal 30 Desember 1949, yang kemudian disusul dengan diberlakukannya Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tanggal 1 Januari 1950. Akan tetapi UUD RIS ini tidak juga bisa berusia panjang, karena RIS kemudian dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1950. Sejak 15 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
                                                                                      (Sutirman Eka Ardhana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar