Minggu, 29 Desember 2013

PERTEMUAN KE-5 MK: Pers Indonesia - AKY - SISTEM PERS PANCASILA (1)



MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA

       PERTEMUAN KE-5


SISTEM PERS PANCASILA

(1)

            MATINYA pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI melalui media-media pers pendukungnya.
Perjalanan pers Indonesia kembali memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam Undang-undang yang disahkan pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden Soekarno itu dinyatakan secara tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat dengan pertimbangan antaralain bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila; sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers; pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa; pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa darma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif.
Dalam babak baru pers Indonesia pasca matinya pers pendukung komunis itu, mengenai fungsi, kewajiban dan hak pers telah disebutkan secara jelas pada pasal 2 Bab II UU Nomor 11 Tahun 1966 tersebut. Ayat 1 pasal 2 itu menyebutkan: Pers Nasional adalah alat revolusi dan merupakan media massa yang bersifat aktif, kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresif meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia.
Kemudian ayat 2 pasal 2 UU itu menyebutkan bahwa Pers Nasional berkewajiban: a. Mempertahankan, membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen; b. Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan Rakyat, berlandaskan Demokrasi Pancasila; c. Memperjuangkan kebenaran dan keadilan atas dasar kebebasan pers; d. Membina persatuan dan kekuatan-kekuatan progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme, neo-kolonialisme, liberalisme, komunisme dan fasisme/diktator; e. Menjadi penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progresif revolusioner. Sedangkan pasal 3 UU No 11 Tahun 1966 itu menyatakan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan kosntruktif.
Di dalam pasal 2 Bab II UU No 11 Tahun 1966 itu terlihat dengan jelas ke mana arah dan sasaran pers Indonesia pasca matinya pers pendukung komunisme di Indonesia. Arah dan sasaran pers Indonesia sudah jelas yakni mempertahankan, membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila serta UUD 1945. Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru ketika itu semakin mempertegas sikap dan langkah nyata pers Indonesia dalam mempertahankan dan membela eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara.
Di awal-awal kemunculan Orde Baru, pers Indonesia merasa berada dalam suatu situasi dan suasana yang penuh dengan ‘sukacita kegembiraan’. Pers Indonesia ketika itu telah mendapatkan dukungan yang kuat dan nyata dari pemerintah termasuk di dalamnya kekuatan militer yang memang sedang melaksanakan kerja besar melakukan penghancuran terhadap kekuatan-kekuatan PKI sampai ke akar-akarnya.
Dalam menghancurkan kekuatan-kekuatan PKI tersebut, pers menyatukan langkah dan geraknya bersama pemerintah. Ketika itu, pers senantiasa memiliki penilaian dan pandangan yang positif terhadap semua tindakan dan kebijakan yang diambil pemerintah, termasuk militer, di dalam penghancuran sisa-sisa PKI dan menghapus jejak-jejak pengaruh ajaran komunisme dari bumi Indonesia. Pers dan pemerintah saling bahu-membahu dalam ‘kerja besar’ membela serta mempertahankan Pancasila dan UUD 1945, disamping mengikis habis seluruh pengaruh PKI yang sebelumnya sempat mendominasi kehidupan politik di Tanah Air.
Masa-masa itu dapatlah disebut sebagai masa terjalinnya hubungan yang harmonis antara pers dengan pemerintah. Pers dan pemerintah tampak seiring dan seiya-sekata dalam berbagai sikap dan kebijakannya. Pers yang sebelumnya merasa hidup terpenjara dalam sistem Demokrasi Terpimpin merasa telah menemukan pelindung dalam mengekspresikan kebebasannya. Pers seakan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sementara pemerintah, terutama kalangan militer yang memiliki peran penting dalam pemerintahan, merasa telah mendapatkan mitra atau kawan seiring yang kuat dalam membangun pemerintahan yang terbebas dari pengaruh serta ancaman PKI, dan yang terpenting semakin memperkokoh peran maupun eksistensinya di pemerintahan.
Sejumlah pengamat dan tokoh pers nasional menyatakan bahwa tahun-tahun di awal kekuasaan Orde Baru itu merupakan masa-masa yang sangat menggembirakan dan menyenangkan, atau sering pula disebut sebagai masa-masa ‘bulan madu’ antara pers dan pemerintah. Dalam masa-masa ‘penuh bahagia’ itu terlihat suatu jalinan hubungan yang sangat harmonis, tidak terlihat adanya konflik dan perbedaan kepentingan antara pemerintah dengan pers. Semua terlihat berjalan mulus, lancar dan tanpa persoalan.
Prinsip-prinsip yang tertuang di dalam  Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 itu terlihat berjalan mulus tanpa ganjalan dan hambatan. Kesan yang terlihat sepintas, pers nasional seakan larut dan hanyut dalam keceriaan serta keharmonisan suasana ‘bulan madu’ tersebut.
Akan tetapi suasana keharmonisan ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah itu ternyata tidak berlangsung lama. Kondisi yang begitu menggembirakan itu hanya sempat berjalan beberapa tahun saja. Masa-masa ‘bulan madu’ yang penuh kegembiraan dan menyenangkan itu kemudian terganggu dengan kondisi serta iklim politik yang berkembang menjelang dan sesudah peristiwa “Malari” 1974 atau dikenal juga dengan sebutan peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.
Peristiwa Malari yang sempat menggegerkan tatanan politik di Tanah Air itu berupa aksi demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang ekonomi, terutama dalam penanganan modal asing yang dipandang justru telah menyesengsarakan rakyat dan memperburuk keadaan perekonimian nasional.
Aksi para mahasiswa itu berbuntut dengan meletusnya kerusuhan massa yang memporak-porandakan Jakarta. Ribuan massa mengamuk menghancurkan dan membakar bangunan-bangunan gedung dan kendaraan-kendaraan bermotor yang diproduksi Jepang. Ribuan massa itu seperti mendapat kesempatan dan peluang untuk menumpahkan rasa kecewa dan sakit hatinya terhadap kondisi perekonomian yang terjadi saat itu.
Menurut keterangan pemerintah saat itu, peristiwa Malari 1974 telah mengakibatkan kerugian besar dan kerusakan yang parah di ibukota Jakarta. Berdasarkan inventarisasi pemerintah, sedikitnya 144 bangunan gedung rusak dan hancur, 807 mobil dan 187 sepedamotor produksi Jepang dibakar dan hancur, 160 kilogram emas hilang dijarah, 11 orang tewas, 17 orang menderita luka-luka berat dan 120 orang menderita luka-luka ringan.
Retaknya hubungan yang semula harmonis antara pers dengan pemerintah ditandai oleh langkah atau tindakan pemerintah yang mencabut izin terbit sejumlah suratkabar. Suratkabar yang dibreidel itu antaralain Harian Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian Kami, Ekspres, The Jakarta Times dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Bahkan sekitar setahun sebelum peristiwa Malari meletus, pemerintah dalam hal ini Panglima Kopkamtib telah mencabut sementara izin terbit Harian Sinar Harapan.
Sejak peristiwa Malari 1974, setelah pemerintah melakukan tindakan ‘pembunuhan massal’ terhadap media pers yang dinilai telah melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan dengan sikap dan kebijakan pemerintah itu, hubungan harmonis antara pers dengan pemerintahan tidak lagi dapat terjalin sebagaimana mestinya.
Andaikata pun ada pihak-pihak yang merasa menemukan keharmonisan, tetapi sesungguhnya keharmonisan itu hanyalah keharmonisan yang semua. Yakni, keharmonisan yang diciptakan secara terpaksa, karena ketiadaan daya untuk menemukan pilihan lain kecuali ‘menerima’ peran serta campurtangan terhadap keberadaan pers.
Sejak saat itu pula terbentang garis jarak antara pers dan pemerintah. Sikap saling curiga antara pers dengan pemerintah pun tidak bisa dihindari kemunculannya. Pers curiga bahwa pemerintah kembali akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang terhadap eksistensi kebebasan pers sebagaimana yang sempat dirasakan semasa sistem Demokrasi Terpimpin. Pers juga mencurigai pemerintah tidak akan konsisten terhadap UU No 11 Tahun 1966, terutama pasal 4 yang menyebutkan: “Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan”.
Kekhawatiran dan kecurigaan pers terhadap sikap pemerintah itu didasarkan para kenyataan bahwa ternyata pemerintah telah melakukan tindakan pembreidelan atau pencabutan izin terbit sejumlah media pers setelah meletusnya peristiwa Malari. Hal itu dipandang sebagai langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi atau mengekebiri kebebasan pers.
Sedangkan sebaliknya di lingkungan dan jajaran pemerintah telah mencurigai pers akan melakukan kebijakan-kebijakan pemberitaan yang tidak seirama atau seiring dengankebijakan pemerintah dalam berbagai sektor pembangunan. Bahkan pemerintah telah pula mencurigai kebebasan pers yang tanpa kendali, karena hal itu cenderung bisa mempengaruhi masyarakat untuk tidak berpartisipasi sepenuh hati terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Di tengah-tengah kondisi iklim kecurigaan seperti itulah seorang tokoh pers di Yogyakarta, M Wonohito, memperkenalkan sistem Pers Pancasila di tahun 1977. Di tahun itu buku Teknik Jurnalistik Sistem Pers Pancasila diterbitkan oleh Departemen Penerangan untuk menjadi buku pegangan dan acuan masyarakat pers Indonesia dalam mempertegas fungsi serta perannya sebagai pers pembela dan pendukung Pancasila.
Apa yang dilakukan oleh M Wonohito (1912 – 1984) yang waktu itu adalah Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan sistem Pers Pancasila ternyata tidak sia-sia. Sistem Pers Pancasila dengan cepat menjadi bahan pembicaraan sekaligus pegangan masyarakat pers dalam menempatkan dirinya sebagai penyampai informasi serta penggerak partisipasi masyarakat. 
                    (Sutirman Eka Ardhana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar