Minggu, 29 Desember 2013

PERTEMUAN KE-1 MK PERS INDONESIA- AKY SISTEM PERS DUNIA



MK: PERS INDONESIA – AKADEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA

       PERTEMUAN KE-1

SISTEM PERS DUNIA

DALAM sejarah perjalanan pers dunia, sejak pertama kali diperkenalkan oleh Kaisar Romawi Julius Caesar melalui media Acta Diurna, disusul munculnya koran pertama di Jerman Avisa Relation oder Zeitung pada tahun 1690 hingga sampai hari ini secara umum dikenal empat sistem pers. Keempat sistem pers yang dikenal luas oleh masyarakat dunia itu terdiri: pers otoriter atau otoritarian (authoritarian press), pers liberal (libertarian press), pers komunis – Soviet (Soviet Communist press) dan pers tanggungjawab sosial (social responsibility press).

            Pers otoriter merupakan sistem pers yang tertua. Dalam sistem pers otoriter ini, media pers sama sekali tidak memiliki kebebasan bersikap karena senantiasa berada dalam kungkungan atau belenggu kekuasaan. Peran pemerintah atau penguasa sangat besar, kuat dan dominan dalam perkembangan serta kelangsungan kehidupan pers. Dengan kata lain, pers sama sekali tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mandiri, melainkan benar-benar tunduk dan patuh pada segala keinginan, kebijakan, ketentuan-ketentuan maupun aturan yang datang dari penguasa. Pemerintah atau penguasa bisa menggunakan bermacam-macam dalih dalam mengatur dan mengawasi pers, di antaranya dalih demi menjaga stabilitas dan keamanan negara.
Sistem pers otoriter ini menghalalkan lembaga sensor. Artinya, lembaga sensor yang merupakan kepanjangan tangan dari penguasa itu memiliki peranan dan kekuasaan besar untuk mengawasi pers. Karena dengan lembaga sensor maka media pers benar-benar dapat dikendalikan dan dikontrol, sehingga pemberitaannya bisa dijaga dari hal-hal yang dapat merugikan kepentingan-kepentingan penguasa atau rezim pemerintah. Akibat dari sistem pers otoriter atau otoritarian ini, media pers tidak hanya menjadi corong penyalur suara rezim penguasa dalam menyampaikan berbagai kebijakan pemerintahannya, tetapi juga dapat dijadikan alat penekan untuk memperkuat kekuasaan.
Pers liberal merupakan sistem pers yang mengedepankan kebebasan media pers dalam menyampaikan pemberitaannya tanpa memiliki keterikatan dengan pengaruh dan ancaman rezim penguasa. Sistem pers ini sangat bertolakbelakang dengan pers otoriter.
Dalam sisten pers liberal ini, pemerintah atau penguasa tidak mempunyai peluang untuk ‘campurtangan’ menggunakan media pers sebagai alat penekan maupun penguat kekuasaan. Di dalam sistem ini, tidak dikenal istilah lembaga sensor. Dengan tidak adanya lembaga sensor, maka pemerintah atau penguasa tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mengendalikan serta mengontrol ke mana serta bagaimana arah pemberitaan media pers.
Pers di dalam sistem pers liberal benar-benar memiliki kebebasan untuk menyampaikan atau memberitakan apapun tanpa ada keraguan apakah pemberitaannya itu nanti akan merugikan maupun mendiskreditkan pemerintah atau tidak. Sistem pers liberal hingga hari ini banyak dianut oleh pers di negara-negara maju terutama Barat serta negara-negara yang menyatakan dirinya sebagai negara yang menempatkan demokrasi teratas dari segala-galanya.
Pers komunis merupakan sistem pers yang berkembang dan dianut di negara-negara berideologi komunis, terutama di negara-negara yang dulu tergabung dalam Uni Soviet. Di dalam sistem pers ini, media pers mempunyai kewajiban untuk mematuhi atau tunduk pada semua langkah dan kebijakan partai (partai komunis) sebagai pengendali serta pemegang kekuasaan negara.
Melihat kepada sistem dan tatacara pengendaliannya, sistem pers komunis jelas-jelas merupakan pengembangan dari sistem pers otoriter. Karena seperti halnya pada sisten pers otoriter atau otoritarian, media pers sama sekali tidak memiliki kemerdekaan atau kebebasan untuk mengekspresikan sikap dan pendiriannya. Sikap pers haruslah disesuaikan dengan setiap kebijakan dan sikap negara. Dengan kondisi seperti itu, maka pers di negara-negara komunis senantiasa berada dalam kendali serta kontrol kelas pekerja dan partai.
Menurut Dennis McQuail (1987), dalam sistem pers komunis ini pers memainkan peran positif dalam pembentukan masyarakat serta gerakan ke arah komunisme, dan hal ini menunjukkan sejumlah fungsi yang penting bagi media dalam sosialisasi, pengendalian sosial informal dan mobilisasi untuk mencapai tujuan sosial dan ekonomi yang terencana.
Sedangkan pers tanggungjawab sosial merupakan perkembangan dari sistem pers liberal yang dipandang memiliki kebebasan tanpa batas. Sistem pers ltanggungjawab sosial merupakan pilihan jalan keluar dari kekhawatiran bahwa pers liberal memiliki kebebasan yang tidak jarang mengancam berbagai kepentingan di dalam kehidupan masyarakat.
Meskipun masih memegang teguh prinsip-prinsip kebebasan pers, tetapi sistem pers tanggungjawab sosial memberikan penekanan serta perhatian yang sangat besar kepada prinsip hak-hak masyarakat. Dalam pengertian, kebebasan yang dimiliki media pers itu bukanlah kebebasan yang bisa menyeret atau menjerumuskan masyarakat kepada keterpurukan kehidupan. Dengan kebebasan yang dimilikinya, media pers dalam sistem pers tanggungjawab sosial ini senantiasa berusaha menghindar agar pemberitaan atau sajiannya tidak mengarah pada hal-hal yang bisa menimbulkan kekacauan, ketidakstabilan keamanan serta saling permusuhan antar sesama masyarakat.
Perbedaan-perbedaan maupun kedekatan di antara keempat sistem pers itu telah diuraikan secara mendalam oleh Frederick S Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm dalam bukunya Four Theories of the Press (1956).  Siebert, Peterson dan Schramm menyebutkan, sistem pers komunis merupakan perkembangan dari sisten pers otoriter atau otoritarian. Sedangkan sistem pers tanggungjawab sosial merupakan perkembangan dari sistem pers liberal.
Pada dasarnya baik sistem pers liberal maupun sistem pers tanggungjawab sosial sama-sama mengedepankan prinsip-prinsip kemerdekaan atau kebebasan pers. Meskipun begitu di antara kedua sistem pers ini, seperti dikemukakan Siebert, Peterson dan Schramm, terdapat sejumlah perbedaan yang cukup signifikan. Di antaranya, kontrol di dalam sistem pers tanggungjawab sosial dilakukan oleh pandangan masyarakat selaku konsumen dan etika profesional. Sementara di dalam sistem pers liberal, semua tergantung pada pasar bebas.
Meskipun secara umum dikenal empat sistem pers (seperti dilontarkan Siebert, Peterson dan Schramm), tapi sejumlah pakar telah pula mengemukakan pendapatnya bahwa keempat sistem pers itu tidak lagi bisa dijadikan pegangan, karena telah muncul dan berkembang sistem pers yang lainnya.
William A. Hachten misalnya, telah mengemukakan adanya lima sistem atau lima konsep pers. Kelima konsep pers itu: konsep otoritarian, konsep Barat, konsep Komunis, konsep revolusioner dan konsep pembangunan. (lihat William A. Hachten, Bentrokan Ideologi: Lima Konsep Pers, dalam Dedy Djamaluddin Malik, Jalaluddin Rakhmat dan Mohammad Shoelhi (ed.), Komunikasi Internasional, LP3K – PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993).
Menurut Hachten, konsep pers Revolusioner sebenarnya berangkat dari pemikiran Lenin (pemimpin Komunis Soviet) yang menyatakan bahwa suratkabar atau media pers akan menjadi peliput bagi organisasi revolusioner yang besar dan alat komunikasi di antara para pengikutnya. Dalam pandangan Lenin, pers revolusioner merupakan suatu pers yang sangat diyakini rakyat bahwa pemerintah tidak mampu memenuhi kepentingan mereka dan karenanya harus ditumbangkan.
Dengan pengertian lain, pers Revolusioner merupakan sistem atau konsep pers yang digunakan untuk melawan atau menumbangkan kekuasaan pemerintahan yang dipandang bertindak sewenang-wenang dan tidak memihak rakyat. Di dalam pemerintahan yang tiran dan otoriter, pers revolusioner kebanyakan berkembang secara ‘bawah tanah’.
Tentang sistem atau konsep pers Pembangunan, di dalam buku Komunikasi Internasional (Dedy Djamaluddin Malik, Jajaluddin Rakhmat dan Mohammad Shoelhi – ed) telah diuraikan lima ukuran yang dikemukakan Hachten, yakni: 1. Semua sarana komunikasi massa – suratkabar, radio televisi, gambar hidup, dan berbagai pelayanan informasi lainnya – harus digerakkan oleh pemerintah pusat untuk membantu tugas agung pembangunan bangsa seperti memerangi buta huruf dan kemiskinan, membangun kesadaran politik rakyat, membantu perkembangan ekonomi. Juga termasuk di sini adalah tanggungjawab sosial bahwa pemerintah harus memberikan pelayanan dan bantuan secukupnya terhadap media massa bila mereka tidak mampu membantu dirinya sendiri; 2. Oleh karena itu, media harus mendukung pemerintah  dan tidak boleh menentangnya. Tidak ada tempat perbedaan pendapat dan kritik, karena ada sebagian alasan bagi pemerintah yang sedang berkuasa untuk membela diri melalui media bila terjadi kekalutan; 3. Dengan demikian, informasi (kebenaran) menjadi milik negara, arus kekuasaan (dan kebenaran) antara pemerintah dan yang diperintah berlangsung dari atas ke bawah seperti dalam konsep otoritarianisme tradisional. Informasi atau berita merupakan sumber daya nasional yang sangat langka, informasi atau berita itu harus digunakan untuk mengembangkan tujuan nasional; 4. Termasuk di dalamnya, tetapi tidak sering diartikulasikan adalah pandangan bahwa hak individu untuk menyatakan pendapat dan kebebasan sipil lainnya agak kurang relevan bila dikaitkan dengan masalah besar kemiskinan, penyakit, buta huruf, dan kesukuan yang melanda kebanyakan negara-negara Dunia Ketiga; 5. Konsep pers terpimpin ini lebih jauh mengandung pandangan bahwa setiap bangsa berdaulat berhak mengontrol para wartawan asing dan mengontrol arus keluar dan masuknya berita yang melintasi perbatasan negara.
Bagaimana dengan pers di Indonesia sebagai bagian dari komunitas masyarakat pers dunia? Sistem pers apa yang berkembang dan digunakan atau dijadikan pegangan oleh pers Indonesia dalam melaksanakan aktivitasnya sebagai penmyampai informasi dan alat kontrol sosial selama ini? Apakah sistem-sistem atau konsep-konsep pers seperti yang dikemukakan Siebert, Peterson dan Schramm serta Wachten itu mendapat tempat dalam kehidupan pers di Indonesia?
Dewasa ini pers Indonesia tidak berpedoman dan tidak menggunakan secara terbuka satu pun dari sistem-sistem pers yang diakui masyarakat pers internasional itu. Karena sejak era Orde Baru lalu, pers di Indonesia telah menggunakan sistem Pers Pancasila. Sebelum berbicara lebih jauh tentang Pers Pancasila itu ada baiknya kita menoleh lagi jauh ke belakang untuk melihat dan mencermati sekilas liku-liku, pasang-surut serta dinamika perjalanan pers di Tanah Air.
Sejarah perjalanan pers di Indonesia sangatlah panjang. Sejarah perjalanan pers yang panjang sejak masa penjajahan hingga di alam kemerdekaan sekarang ini sangatlah menarik untuk disimak dan dicermati. Bila membuka kembali lembar-lembar sejarah perkembangan dan perjalanan panjang pers Indonesia, maka kita akan menemukan beberapa tahapan atau periodesasi.
Sejarah peradaban pers di Indonesia dimulai pada tahun 1744 ketika suratkabar pertama terbit di Hindia Belanda (Indonesia) bernama Batavia Nouvelles. Suratkabar ini terbit di Batavia (sekarang Jakarta) yang waktu itu juga sudah menjadi pusat pemerintahan atau kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Meskipun demikian, periodesasi perjalanan pers di Indonesia baru dapat dimulai dari tahun 1907 yang ditandai dengan terbitnya koran Medan Prijaji. Koran Medan Prijaji ini diterbitkan oleh RM Tirtohadisuryo di Bandung, dengan demikian koran ini merupakan media pers pertama di tanah Hindia Belanda yang diterbitkan atau dimiliki oleh pribumi Indonesia.
Karena koran Medan Prijaji tercatat sebagai media pers pertama yang menyuarakan semangat nasionalisme dan kebangsaan Indonesia di tengah-tengah kekuasaan penjajahan Belanda itu, maka sejak tahun 1907 hingga 1945 disebut sebagai periode Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan. Kemudian periode Pers Kemerdekaan berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1950. Disusul periode Pers Liberal sepanjang tahun 1950 sampai 1958, lalu dilanjutkan dengan periode Pers Manipol/Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sejak 1958 sampai 1966, dan periode Pers Pembangunan (versi Indonesia) yang kemudian berkembang menjadi Pers Pancasila. Periode ini berlangsung dari 1966 sampai sekarang. 
                                                                                               (Sutirman Eka Ardhana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar