Minggu, 29 Desember 2013

PERTEMUAN KE-4 MK: Pers Indonesia - AKY - SISTEM PERS MANIPOL



MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA

       PERTEMUAN KE-4


SISTEM PERS MANIPOL

DALAM pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mencanangkan Manifesto Politik (Manipol) yang dinyatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol yang dicanangkan Bung Karno itu terdiri dari lima unsur penting yakni UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Kelima unsur penting itu selalu disingkat dengan singkatan USDEK. Manipol-Usdek telah menjadi pegangan dan landasan ideologis bangsa.
Dengan pemberlakuan Manipol-Usdek itu media pers nasional pun diharuskan untuk menyesuaikan kerja jurnalistiknya kepada langkah-langkah atau pemberitaan yang berpedoman pada Manipol-Usdek tersebut. Media pers yang tidak mengindahkan kebijakan itu dipandang oleh pemerintah sebagai pers yang melawan arus perjalanan revolusi bangsa.
Seiring dengan Manipol-Usdek, pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno itupun menerapkan sistem demokrasi yang disebut Demokrasi Terpimpin. Media pers yang ada benar-benar dibawa ke alam Manipol dan Demokrasi Terpimpin. Kalangan pers seakan tidak lagi punya keberanian dan kemampuan untuk keluar dari rel atau jalur yang sudah ditetapkan pemerintah.
Berbagai kebijakan yang diambil pemerintah untuk memperkuat ‘ikatan’ pers terhadap Manipol dan Demokrasi Terpimpin di antaranya dengan dikeluarkannya Peraturan Peperti No 10 tentang keharusan semua media pers memiliki izin terbit dan Peraturan Peperti Nomor 2 Tahun 1961 mengenai keharusan percetakan pers menjadi alat untuk menyebarluaskan Manipol dan Dekrit Presiden. Kemudian Peraturan Peperti No 6 Tahun 1961 mengenai ketentuan pers untuk mendukung Demokrasi Terpimpin.
Pemerintah benar-benar bertekad sekuat mungkin untuk menghapus sistem Pers Liberal dari bumi Indonesia. Ini terlihat jelas dari langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dalam menegakkan kendali dan pengawasannya terhadap media pers yang ada. Dalam menegakkan tekadnya itu, pemerintah pun tidak segan-segan menempuh langkah keras kepada media pers yang dinilai tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang ada. Akibatnya sejumlah media pers yang menolak kebijakan pemerintah itu diberhentikan penerbitannya.
Dalam konteks kebebasan pers, maka apa yang terjadi di masa-masa itu adalah kondisi pers yang berada dalam posisi sulit dan rumit. Pers seakan sulit untuk menemukan alternatif lain selain menempatkan dirinya untuk berjalan ‘seiring-sejalan’ dan ‘seiya-sekata’ dengan semua kebijakan pemerintah, sekalipun langkah-langkah pemerintah itu dipandang tidak pada tempatnya. Pers harus ‘tunduk’, harus mau bekerjasama dengan segala langkah dan kebijakan pemerintah. Bila tidak mau bekerjasama, sudah dapat dipastikan media pers itu akan ‘ tergulung gelombang revolusi’ yang besar dan kuat.
Proyek Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis) yang dicanangkan Bung Karno, serta sejumlah kebijakan politik lainnya telah merubah wajah pers Indonesia ke warna yang tidak menentu. Terlebih lagi ketika pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan politik atau peraturan yang telah mewajibkan semua media pers terutama suratkabar untuk berinduk kepada partai politik maupun organisasi massa yang ada. Keharusan itu tidak hanya berlaku bagi media pers yang terbit di ibukota Jakarta, tetapi juga media-media pers yang terbit di daerah.
Keadaan seperti ini menyebabkan pertentangan atau konflik antar partai politik juga merembet ke media pers. Karena sudah menginduk ke parpol atau ormas tertentu, dengan sendirinya media pers itu memiliki beban moral dan keharusan untuk menyuarakan kepentingan dari parpol atau ormas yang diikutinya. Media pers kembali terjebak di dalam keadaan yang tidak bisa bersikap netral dan independen. Sehingga yang terjadi ketika itu munculnya tiga kelompok dominan yang mewarnai wajah pers Indonesia. Ketiga kelompok dominan itu: kelompok pers nasionalis, kelompok pers agamis (partai-partai Islam) dan kelompok pers komunis.
Pertentangan antar media pers menjadi semakin tajam. Menjelang meletusnya pemberontakan Gerakan Tigapuluh September (G 30 S/PKI) yang dilaksanakan tanggal 30 September 1965, puncak pertentangan semakin mengental antara media pers pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan media pers yang anti komunis.
Media pers yang anti PKI ketika itu bergabung dalam kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), yang merupakan kelompok perlawanan terhadap ofensif PKI yang dipandang membahayakan UUD 1945 dan Pancasila. Ketika itu hampir setiap hari, media pers pendukung PKI dengan yang anti PKI terlibat ‘saling serang’ dan ‘saling cerca’ melalui pemberitaan maupun tajuk rencananya masing-masing.
                                                                        (Sutirman Eka Ardhana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar