Kamis, 12 Desember 2013

Malioboro Kehilangan Harmoni Kehidupan

          Malioboro Kehilangan Harmoni Kehidupan
 MALIOBORO sempat melegenda sebagai tempat para seniman mencari inspirasi, berkumpul, dan berdikusi. Tapi kini tidak ada lagi tempat atau kesempatan bagi para seniman untuk mencari inspirasi karyanya di Malioboro, seperti yang sempat terjadi di tahun-tahun 50-an, 60-an sampai awal-awal 70-an. Di tahun-tahun itu masih banyak dijumpai para seniman lukis mencari obyek lukisannya di Malioboro. Dan, bila malam para pengarang, penyair dan semacamnya, menjadikan Malioboro sebagai tempat bertemu, berdiskusi dan berbagi cerita.

Sampai akhir tahun 60-an, Malioboro masih merupakan kawasan yang sejuk dan teduh. Pepohonan rindang yang daunnya rimbun menghijau masih banyak tumbuh. Sungguh betapa damai dan menyejukkan berjalan di bawah pepohonan yang dedaunannya menghijau serta mempesona itu.

Tapi kemudian wajah Malioboro berubah. Atas nama pembangunan dan penataan wajah kota, wajah Malioboro pun kemudian dirubah. Pepohonan penyejuk itu ditebang. Malioboro dibersihkan dari pohon-pohon besar yang semula penuh nuansa pesona itu. Kemajuan teknologi dan perkembangan perilaku serta sikap hidup warganya telah merubah wajah Malioboro dari kesan sejuk dan teduh, menjadi padat, riuh dan menyesakkan dada. Pepohonan sejuk dan menghijau itu telah berganti dengan bangunan kawasan pertokoan yang megah dan tinggi.

Keadaan yang berubah seperti itu telah melahirkan beraneka kesan sumbang terhadap Malioboro. Banyak pihak, tidak hanya warga kota, tapi juga para pendatang atau wisatawan yang menanamkan kesan bahwa Malioboro sebagai kawasan padat, semerawut, tidak nyaman, dan kehilangan daya tarik.

Bahkan, tidak sedikit warga Yogya yang seakan dijangkiti trauma ‘enggan’ ke Malioboro, karena di jalan yang melegenda itu tak lagi ditemui kedamaian dan kenyamanan. Malioboro tak lagi memberikan harmoni kehidupan yang indah. Malioboro tidak lagi bisa menyenandungkan lagu yang merdu dan meresap ke dalam jiwa.

 

Tinggal Kenangan

Apa yang ada dan terjadi di Malioboro, merupakan cerminan wajah Yogyakarta sekarang ini. Sebagai ‘jantung kota’, maka wajah Malioboro yang lusuh, penuh ketegangan, dan nyaris kehilangan senyuman itu, telah melekat di wajah Yogyakarta secara keseluruhan.

Imej Malioboro yang sejuk, penuh pesona, nyaman dan memiliki beragam daya tarik kini seakan musnah tak tentu rimbanya. Semuanya hanya tinggal kenangan indah atau nostalgia masa lalu.  Mereka-mereka yang dulu pernah tinggal di Yogya, dan kini berkunjung kembali tentu akan merasa kecewa bila ingin merasa atau menemukan suasana Malioboro seperti dulu.

Sampai kapan kondisi Malioboro seperti itu akan berlangsung? Sampai kapan keruwetan, kepadatan dan kesemerawutan itu akan menyesakkan dada warga kota, para pengunjung dan wisatawan? Kapan kita kembali dapat merasakan suasana yang nyaman dan menyenangkan di Malioboro? Dan, kapan kita akan melihat wajah Yogyakarta yang sejuk, damai, tenteram, tercermin di Malioboro?

Dalam beberapa tahun terakhir, Pemerintah Kota Yogyakarta telah mencoba menanam tanaman-tanaman hias dan penyejuk di Malioboro, tapi hal itu tetap tak mampu mengusir kesan panas, tak nyaman, dan sumpeg. Dengan kata lain, kesan Malioboro yang sejuk, nyaman, dan penuh senyum, tetap tak mampu dihadirkan.

                                                                     (Sutirman Eka Ardhana/bersambung) 

 Foto: belantaraindonesia.org


Tidak ada komentar:

Posting Komentar