Minggu, 29 Desember 2013

PERTEMUAN KE-3 MK: Pers Indonesia - AKY - PERS LIBERAL DI IN DONESIA



MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA

       PERTEMUAN KE-3


PERS LIBERAL DI IN DONESIA

SETELAH kembali menjadi negara kesatuan, pers Indonesia memasuki suatu masa baru yang sebelumnya tidak pernah dialami, yakni masa berlangsungnya sistem Pers Liberal. Sejak tahun 1950 itulah pers Indonesia memasuki masa-masa atau suatu keadaan yang oleh banyak pihak serta tokoh-tokoh pers ketika itu bahkan juga sekarang ini disebut sebagai saat-saat ‘bebas dan leluasa’.
Sistem Pers Liberal yang berkembang di masa-masa itu tidak bisa melepaskan diri dari iklim dan kondisi politik yang sedang berlangsung, terutama seputar persaingan di antara sesama partai politik dalam berebut menanamkan pengaruhnya di masyarakat, maupun demi mencapai tujuan menguasai kekuasaan di dalam pemerintahan.
Di masa-masa ini hampir semua partai politik, terutama partai-partai politik yang berpengaruh memiliki suratkabar atau media pers yang digunakan sebagai corong atau kepanjangan tangan partai dalam menyuarakan kepentingan-kepentingannya kepada masyarakat luas.
Dalam situasi sedang menapakkan identitas dan jatidiri itu, kebebasan yang dimiliki sistem Pers Liberal di tengah-tengah kondisi kerasnya persaingan kepentingan antar partai politik tersebut ternyata telah menyeret media pers ke arah terjadinya kerawanan dan kerapuhan persatuan bangsa maupun kestabilan politik. Suratkabar-suratkabar yang menjadi corong partai politik itu lebih dominan membela kepentingan partai politiknya sendiri dibanding dengan kepentingan yang lebih luas dan besar lagi, yakni persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga apa yang terjadi ketika itu adalah suasana saling serang, saling kecam dan saling mencerca satu sama lain.
Kebebasan pers yang ada dan berkembang di awal-awal tahun 1950-an itu ternyata telah ditafsirkan serta diartikan secara tidak tepat oleh media pers yang ada, karena kebebasan yang ada diartikan atau diterjemahkan sebagai kebebasan pers untuk menyuarakan kepentingan partai maupun golongan dalam mencapai sasaran tujuannya, dan bukan menyuarakan kepentingan yang lebih luas, kepentingan bangsa dan negara. Terutama tujuan dan sasaran dalam mempengaruhi serta meraih tempat di dalam pemerintahan.
Akibatnya yang terjadi, seakan tanpa ada kendali dan rambu-rambu yang menghalangi aktivitas pers. Pers ketika itu seakan bebas untuk mencerca, bebas mencemooh maupun mencacimaki pihak-pihak yang menjadi ‘lawan politik’, pemerintah bahkan pemimpin-pemimpin bangsa yang semestinya berada dalam posisi dihormati.
Selain itu, akibatnya yang lebih jauh, dalam menyampaikan informasi kepada khlayak pembaca, banyak media pers yang terperosok atau terperangkap dengan mengedepankan opini ketimbang fakta. Opini seakan dianggap memikiki nilai yang jauh lebih penting artinya dibandingkan dengan fakta. Karena dengan mengedepankan opini, maka ‘sasaran tembak’ dari suatu media pers akan lebih mudah mencapai dan menghunjam ke sasaran tujuannya.
Misalnya, dalam upaya mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat untuk tidak mempercayai langkah-langkah kebijakan kabinet atau pemerintah maupun untuk mendiskreditkan keberadaan tokoh-tokoh tertentu, tanpa terkecuali apakah ia pemimpin pemerintahan atau bukan. Tidak jarang dalam mencapai tujuannya ada media pers yang justru menghalalkan fitnah atau berita tanpa fakta yang jelas. Maka tidak berkelebihan bila kemudian muncul kesimpulan bahwa sistem Pers Liberal ketika itu telah dimanfaatkan sebagai ajang dan arena saling cerca, saling cemooh, saling jelek-menjelekkan, saling caci-maki dan saling jatuh-menjatuhkan.
Pada bulan Juni 1954, Persbreidel Ordonantie yang merupakan peraturan warisan dari pemerintah kolonial Belanda telah dicabut keberadaannya oleh pemerintah Republik Indonesia. Ordonansi yang memberikan wewenang atau hak kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk membreidel penerbitan pers yang sajiannya bisa mengancam dan mengganggu keamanan di wilayah-wilayah jajahan itu disahkan oleh pemerintah Kerajaan Belanda pada tahun 1931 dan 1932.
Meskipun ordonansi yang menghambat kebebasan pers itu dicabut oleh pemerintah, tapi menurut Edward C. Smith (1969), masalah yang sebenarnya tidak banyak berbeda, dikarenakan peraturan-peraturan yang baru disusun dan pemerintah tetap akan mempunyai cukup rasionalisasi untuk menekan pers.
Apa yang terjadi dan berkembang pada masa-masa sistem Pers Liberal berlangsung di Indonesia pada periode 1950 hingga 1958 itu merupakan fenomena yang menarik dalam sejarah perjalanan pers di Indonesia. Meskipun pers telah mendapatkan kebebasan untuk menyuarakan atau menyampaikan pemberitaannya, namun pemerintah tetap melaksanakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan ketentuan pelanggaran pers terhadap hukum.
Sehingga ketika itu tidak sedikit pimpinan-pimpinan media pers yang dihadapkan ke depan persidangan Pengadilan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di dalam KUHP. Akan tetapi dikarenakan kondisi politik yang belum stabil ketika itu, menyebabkan langkah-langkah tegas pemerintah yang memproses melalui jalur hukum atau pengadilan terhadap media pers yang dipandang ‘melakukan kesalahan’ dinilai oleh kalangan pers sebagai ancaman yang membahayakan eksistensi kebebasan pers. Karenanya banyak media pers yang bersikap mengabaikan saja ancaman-ancaman pemerintah tersebut, sehingga praktek saling cacimaki, saling cemooh dan penyebaran fitnah masih saja tetap berlangsung.
Sistem Pers Liberal yang berkembang dan menjadi pegangan pers saat itu memang cukup menggangu kinerja dan kewibawaan pemerintah. Langkah-langkah dan kebijakan pemerintah sering terganggu atau terganjal oleh sikap ‘tak bersahabat’ dan apriori media pers. Penerapan pasal-pasal di dalam KUHP yang berkaitan dengan pemberitaan media pers ternyata tidak banyak membantu usaha-usaha pemerintah dalam membatasi ruang gerak pers agar tidak leluasa ‘bicara seenaknya’ dan ‘mengumbar opininya’ sendiri.
Kondisi seperti itu agaknya dipandang oleh pemerintah sebagai sesuatu yang ‘berbahaya’ dan tidak menguntungkan. Perilaku pers yang ‘sangat liberal’ itu bila diterus-teruskan dan tidak segera dibatasi akan bisa menghambat upaya-upaya keras membangun bangsa dan negara serta menjaga persatuan dan kesatuan, yang memang sedang dalam tahapan membangun tersebut.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, pemerintah kemudian menyimpulkan perlunya segera diambil sikap dan langkah-langkah cepat agar kebebasan pers yang dipandang sudah berada dalam kondisi ‘terlewat batas’ dan ‘berbahaya’ itu tidak semakin berkepanjangan dan tidak semakin memperkeruh keadaan. Sehingga yang terjadi kemudian, adalah suatu langkah atau kebijakan yang sebelumnya nyaris tidak sempat terpikirkan oleh kalangan pers, tiba-tiba telah diambil oleh pemerintah dalam upaya menegakkan kewibawaan dan kehormatannya.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya mengeluarkan suatu surat keputusan yang sangat mengejutkan kalangan pers ketika itu, terutama yang berada di Jakarta. Keputusan mengejutkan itu adalah mengharuskan semua media pers, khususnya media pers yang terbit di ibukota Jakarta untuk mempunyai Surat Izin Terbit (SIT).
Peperda Jakarta Raya itu memberi batas waktu kepada media pers perihal ketentuan memiliki SIT itu sampai tanggal 1 Oktober 1958. Bila sampai batas waktu yang ditentukan tersebut, kewajiban atau keharusan memiliki SIT itu tidak dipenuhi oleh media pers, maka akan diberlakukan larangan terbit. Artinya, media pers yang sejak tanggal 1 Oktober 1958 belum memiliki Surat Izin Terbit (SIT) tidak akan mendapatkan hak untuk terbit. Sehingga bila tetap terbit tanpa menggunakan SIT, maka media pers itu dianggap sebagap media pers yang illegal.
Sehubungan dengan kebijakan pemberlakuan SIT itu, Peperda Jakarta Raya menegaskan ancamannya bahwa bila media pers yang tidak memiliki SIT itu tetap memaksakan diri terbit, maka pihaknya akan mengambil tindakan tegas.
Angan-angan dan harapan para wartawan atau pengelola media pers untuk tetap terus bertahan menghirup serta menikmati ‘kenikmatan dan kebebasan’ sistem Pers Liberal yang mereka pandang ‘sangat menyenangkan’ itupun menjadi musnah, hancur dan pupus. Impian untuk tetap dapat bersuara ‘lantang dan bebas’ dalam bersikap, mengkritisi siapapun, atau ‘mencacimaki’ kelompok dan tokoh manapun akhirnya menjadi musnah. Bahkan kalangan pers ketika itu beranggapan bahwa tanggal 1 Oktober 1958 sebagai tanggal ‘kematian’ dan berakhirnya ‘kejayaan dan kekuasaan’ Pers Liberal di bumi Indonesia.
Terlebih lagi setelah itu Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) menindaklanjuti kebijakan yang telah ditempuh Peperda Jakarta Raya tersebut dengan mengeluarkan keputusan yang senada yakni menerapkan keharusan memiliki Surat Izin Terbit (SIT) bagi seluruh media pers di Tanah Air, tanpa terkecuali. Langkah pemberlakuan ketentuan SIT bagi media pers di seluruh Indonesia itu dinyatakan Peperti di tahun 1959.
Dengan keputusan Peperti itu, maka tidak hanya media pers di wilayah ibukota Jakarta saja yang dikenakan ketentuan keharusan memiliki SIT, tapi semua media pers yang terbit di seluruh Indonesia juga memiliki keharusan yang sama. Media pers di seluruh Tanah Air ketika itu memang sempat terkejut dan resah dengan kebijakan yang dipandang sebagai salah satu bentuk pengekangan serta pengendalian terhadap kebebasan pers. Tetapi karena kuatnya ‘tangan-tangan kekuasaan’, maka kalangan pers tidak mempunyai keberanian atau kekuatan untuk menolak dan membendung kebijakan keharusan memiliki SIT tersebut. Media pers yang ingin tetap bertahan hidup, ingin tetap terbit, tidak mempunyai alternatif lain selain memenuhi persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan ketentuan SIT.
Sistem Pers Liberal ketika itu menjadi semakin tidak berdaya dan memiliki kekuatan lagi, setelah Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan penting yakni mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menegaskan diberlakukannya kembali UUD 1945 dan pembubaran Konstituante. Dengan Dekrit Presiden itu maka benar-benar habislah ‘nyawa’ Pers Liberal yang sempat memarakkan perjalanan pers di Indonesia sejak awal tahun 1950 itu.
Semenjak diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah pun kemudian mengeluarkan sejumlah peraturan dan ketentuan yang semakin ‘mengikat’ pers untuk senantiasa berpihak kepada kepentingan-kepentingan politik pemerintah.
                                                                    (Sutirman Eka Ardhana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar