Selasa, 19 November 2013

Pasar Kembang, Nama yang Melegenda








Pasar Kembang, Nama yang Melegenda

PASAR Kembang, inilah nama yang populer bila kita bicara perihal bisnis seks atau dunia prostitusi di tengah-tengah “Kota Budaya” Yogyakarta. Sejak puluhan tahun, bahkan lebih, nama Pasar Kembang telah memahatkan kesan ‘hitam kelam’ buat Yogyakarta, kota yang tidak hanya menyandang predikat sebagai Kota Budaya, tapi juga Kota Pelajar itu. Perubahan zaman dan perkembangan kota tidak sedikitpun membuat nama Pasar Kembang bergeming dari predikat yang disandangnya sebagai kawasan kelam.
Letaknya yang berdampingan dengan Malioboro, membuat nama Pasar Kembang tidak kalah populernya dengan Malioboro. Dan di Yogya, siapa yang tak mengenal Malioboro, pusat kota yang menjadi kebanggaan warga kota itu. Tidak hanya warga kota Yogya, tapi siapapun yang pernah datang ke Yogya tentu akan memiliki kesan yang khas dan mendalam terhadap Malioboro.
Disamping Malioboro, siapa pula yang tidak mengenal nama Pasar Kembang? Nama Pasar Kembang seakan sama melegendarisnya dengan Malioboro.
Rasanya tidak berlebihan bila mengatakan, bentuk penyelewengan seks di Yogya sudah muncul bersamaan dengan kemunculan kota ini sekitar duaratus tahun lebih yang lalu. Akan tetapi kemunculan Pasar Kembang sebagai kawasan khusus yang menyediakan wanita-wanita untuk komoditi seks yang ‘pelayanan jasanya’ dihargai dengan nilai uang baru terjadi sekitar seratus tahun lebih lalu. Ada yang menyebut bisnis seks di kawasan ini sudah dimulai sejak 1818. Lalu, kawasan sekitar menjadi ramai dan berkembang seiring dengan berfungsinya Stasiun Kereta Api Tugu (Stasiun Tugu) mulai 12 Mei 1887.
Secara kebetulan jalan di kawasan Pasar Kembang itu juga bernama Pasar Kembang. Akan  tetapi, yang disebut sebagai kawasan Pasar Kembang, yang terletak di sebelah Barat Jl Malioboro atau di tengah-tengah kota Yogya itu merupakan ‘perkampungan’ yang arealnya terdapat di wilayah kampung, menjuruk ke dalam, disi selatan jalan Pasar Kembang itu.
                                                          ***
NORMA-norma dalam masyarakat sudah terlanjur menanamkan pandangan bahwa pelacuran merupakan sisi kehidupan yang paling hitam. Bahkan pelacuran dipandang sebagai penyakit sosial yang membahayakan ketenteraman dan kelangsungan hidup bermasyarakat.
Akan tetapi, kalau kita mau jujur, siapakah yang sebenarnya mampu ‘meluluhlantakkan’ atau menghancurkan pelacuran? Siapakah yang mampu membendung kemiskinan, ketakberdayaan, kekecewaan, kegelisahan dan keluhan yang menyeret perempuan-perempuan tak berdaya itu terjerembab ke dalam kubangan lumpur pelacuran?
            Komplek lokalisasi pelacuran memang bisa ditutup, tapi aktivitas pelacuran tidak akan pernah ada yang mampu menghentikannya.
Persoalan pelacuran memang pelik. Namun bukan berarti hal itu boleh dibiarkan begitu saja. Pemda Kotamadya Yogyakarta (sekarang Pemerintah Kota) bersama DPRD setempat di tahun-tahun tujuhpuluhan sempat mengambil langkah-langkah nyata dalam penanganan pelacuran, khususnya yang ada di kawasan Pasar Kembang.
Dengan alasan demi menjaga citra Yogyakarta sebagai Kota Budaya dan Kota Pelajar, langkah-langkah pun kemudian diambil untuk segera menghapus praktik pelacuran di Pasar Kembang, sehingga diharapkan jantung kota Yogya akan bersih dari aktivitas kelam tersebut.
Menghapus dan menutup pintu-pintu losmen serta kamar-kamar sewaan dari bisnis seks, tentu bukan merupakan jalan keluar yang mampu menyelesaikan permasalahan sosial seperti itu. Untuk itu DPRD dan Pemda Kodya Yogyakarta (sekarang Pemerintah Kota) sepakat mencari jalan pemecahan dengan menyediakan lokasi pengganti yang jauh dari hiruk pikuk keramaian kota.
Setelah melalui sejumlah pembicaraan, akhirnya keluarlah Surat Keputusan Walikotamadya Yogyakarta bernomor 166/KD/1974 tentang pendirian komplek resosialisasi WTS (Wanita Tuna Susila) yang berlokasi di Mangunan, Mrican, Umbulharjo, Yogyakarta. Lokasi resosialisasi WTS itu kemudian menjadi populer dengan sebutan Resos “Sanggrahan”, karena letaknya yang berdekatan dengan kampung Sanggrahan, Kotagede, Yogyakarta.
                                                                (sutirman eka ardhana/bersambung) 
                 Foto: pesonajogja

Tidak ada komentar:

Posting Komentar