Selasa, 19 November 2013

Malioboro, Wajah Yogya Sesungguhnya









 Malioboro, Wajah Yogya Sesungguhnya

 SEBAGAI sebuah kota, Yogyakarta pada 7 Oktober tahun ini genap berusia 256 tahun. Sampai Yogyakarta memasuki usianya yang ke-257 tahun, Malioboro masih saja tetap menarik diperbincangkan. Malioboro, inilah nama sebuah jalan atau kawasan yang melegenda di Yogyakarta. Kepopuleran namanya pun tidak kalah dengan nama Yogyakarta itu sendiri.
Banyak yang berpandangan nama Malioboro itu identik dengan kebesaran dan keharuman nama yang disandang Yogyakarta. Bahkan ada yang menyatakan, Malioboro adalah napas dan jantungnya Yogyakarta. Tidak sedikit pula yang berkata, jika ingin mengetahui bagaimana Yogyakarta datanglah ke Malioboro, karena Malioboro merupakan cerminan dari wajah Yogyakarta yang sesungguhnya.
Hingga hari ini, Malioboro tidak pernah berhenti diperbincangkan. Dari sudut pandang manapun, Malioboro tetap saja menarik untuk menjadi bahan perbincangan, perdebatan, maupun diskusi.
Dari sudut budaya misalnya, Malioboro bagaikan sebuah museum yang di dalamnya sarat dengan literatur tentang kebudayaan, reliji, sejarah, filsafat kehidupan, pariwisata, maupun perilaku kehidupan manusia. Dan, ‘literatur-literatur’ itu seakan tak pernah ada habisnya untuk dibaca. Sedang dari sudut niaga atau bisnis, Malioboro ibaratkan pasar tradisional yang luas, lengkap, riuh, padat, ruwet dan semerawut tapi memiliki pesona khas tersendiri.
Hubungan  Malioboro dengan Keraton Yogyakarta pun tidak dapat dipisahkan. Jalan Malioboro (dulu termasuk Jalan Ahmad Yani) yang membentang dari Selatan ke Utara, dan seakan membelah kota Yogyakarta itu, sejak dulu diyakini sebagai garis imajiner. Garis imajiner ini menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Tugu Yogyakarta dan Gunung Merapi. Bahkan bila dihubungkan dengan Panggung Krapyak dan Laut Selatan, maka akan terdapat satu garis lurus dari Selatan (Laut Selatan) sampai ke Utara (Gunung Merapi). Bagi masyarakat Jawa, bentangan garis imajiner itu memiliki arti dan nilai filosofis yang tinggi.
Sekarang ini, di tengah-tengah beragam keriuhannya, Malioboro diakui atau tidak memang memiliki daya tarik tersendiri, tidak saja bagi warganya, tapi juga bagi para wisatawan, baik wisatawan asing maupun wisatawan nusantara atau para pendatang lainnya. Sebab, di kawasan ini, selain terdapat pasar tradisional, toko-toko, pedagang kakilima, juga sejumlah pusat perbelanjaan. Selain itu masih diwarnai pula dengan warung-warung lesehan yang menggelar jualannya dari malam hingga pagi hari.

Tak Pernah Lepas Masalah

Malioboro memang sarat dengan beragam fasilitas kehidupan. Dan semuanya, baik itu warga kota, maupun pendatang dan wisatawan, seakan saling berebut untuk menikmati atau merasakan pelayanan fasilitas tersebut. Sementara para penyedia fasilitas juga seakan saling berebut dan berlomba untuk memberikan pelayanan maupun menarik perhatian para pengunjung.

Karenanya berbagai kepentingan menjadi saling bertarung dan berbenturan. Malioboro dari dulu hingga kini selalu sarat dengan berbagai kepentingan. Pertarungan dan benturan berbagai kepentingan itu mengakibatkan Malioboro dijejali berbagai permasalahan yang seakan sulit dicarikan jalan pemecahannya. Berbagai langkah kebijakan untuk mengatasi permasalahan yang timbul di Malioboro tersebut telah ditempuh oleh Pemerintah Kota Yogyakarta maupun Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Tapi, hingga hari ini, Malioboro tetap tak pernah bisa lepas atau terbebas dari permasalahan.  Bahkan, dari tahun ke tahun, Malioboro menjadi semakin ruwet, semakin padat dan semakin semerawut.  

        (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)

             Foto: discover indo-tierranet  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar