Salah satu contoh "zaman edan" itu adalah merajalelanya korupsi.
Zaman Edan
DALAM beberapa
tahun terakhir ini kita terlalu sering mendengar dan membaca tentang apa yang
disebut sebagai “zaman edan”. “Sekarang kita sedang berada di zaman edan. Di
zaman yang serba tidak menentu. Di zaman yang sulit, zaman penuh angkara murka
dan kesewenang-wenangan,” demikian antara lain rentetan kalimat tentang zaman
edan yang sering muncul dan diucapkan oleh sejumlah orang, baik yang tokoh
kasepuhan, atau memiliki kemampuan daya linuwih, maupun hanya yang sekadar bisa
bicara saja..
Berbagai
contoh peristiwa yang terjadi dan dialami bangsa ini sekarang memang cukup
beralasan untuk menyebutkan bahwa kita kini sedang berada di zaman edan atau
menuju ke zaman kehancuran. Bangsa ini memang seakan sedang menjalani kehidupan
di zaman edan dan zaman yang terkutuk.
Cobalah lihat,
betapa kehancuran peradaban itu kini sedang menimpa negeri kita. Kita saling
bunuh satu sama lain, aksi-aksi teror dengan ledakan bom dan lainnya terjadi di
sejumlah tempat, saling bacok, saling melukai, juga saling menganiaya.
Kerusuhan dan kebringasan sepertinya sedang menjadi bagian dari kehidupan kita.
Bencana pun selalu bermunculan. Dari tsunami, gempa bumi, tanah longsor,
kebakaran hutan, luapan Lumpur, dan banyak lainnya lagi.
Perihal zaman
edan “jauh-jauh hari” memang sudah dilontarkan oleh pujangga R Ng Ronggowarsito
dalam beberapa karyanya, di antaranya dalam salah satu karya terkenalnya,
“Serat Kalatidha”.
Budayawan H
Karkono Partokusumo dalam buku “Zaman Edan – Pembahasan Serat Kalatidha
Ranggawarsitan (Proyek Javanologi, 1983) menyebutkan istilah “zaman edan”
terdapat di dalam Serat Kalatidha yang berisikan 12 bait tembang sinom.
Berbicara soal
zaman edan, ada dua bait Serat Kalatidha yang menarik untuk dibaca dan
direnungkan, yakni bait pertama dan bait ketujuh.
Bait
pertamanya berbunyi :
Mangkya darajating praja, kasuryan wus sunya
ruri, rurah pangrehing ukara, karana tanpa palupi, ponang paramengkawi,
kawilating tyas malatkung, kongas kasudranira, tidhem tandhaning dumadi,
hardoyengrat dening karoban rubeda.
(Terjemahannya:
Sekarang martabat negara, tampak telah
sunyi sepi, (sebab) rusak pelaksanaan peraturannya, karena tanpa teladan, maka
sang pujangga diliputi oleh kesedihan hati, merasa tampak kehinaannya, bagaikan
kehilangan tanda-tanda kehidupannya, karena ia mengetahui kesengsaraan dunia
yang tergenang oleh berbagai kalangan.)
Bait ketujuh
berbunyi:
Amenangi zaman edan, ewuh aya ing pambudi, melu edan nora tahan, yen tan melu
anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, dilalah karsa Allah,
begja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lawan waspada.
(Terjemahannya:
Mengalami zaman edan, serba sulit dalam
pemikiran, ikut menggila tak tahan, kalau tidak iku tidak mendapat bagian,
akhirnya kelaparan, takdir karena Allah, untung-untungnya yang lupa, lebih
beruntung yang ingat dan waspada.)
Apa yang
ditulis Ronggowarsito dalam bait pertama dan ketujuh Serat Kalatidha itu memang
sedang terjadi sekarang ini. Kini, negara dan pemerintahan memang sudah
kehilangan martabatnya. Korupsi merajalela, dan sulit terberantaskan, sekalipun
ada lembaga yang paling berwenang untuk memberantasnya seperti KPK. Tindak
kriminalitas tak pernah reda. Para elit
politik dan elit kekuasaan sering saling hujat, saling mencemooh dan saling
jelek-menjelekkan. Tampaknya para elit sudah tidak lagi bisa membedakan antara
kritik dengan hujatan dan cacimaki. ***
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar