SENYUM DAN SEPOTONG SENJA
Cerpen : Sutirman Eka Ardhana
AKU menunggumu di pinggir jalan. Sendiri. Menunggumu lewat sambil
memandang semburat senja yang akan tenggelam di balik kota. Seperti
kemarin dan kemarinnya lagi, kaulewat di jalan ini, ketika senja mulai
temaram.
Sudah empat hari aku di kota ini setelah 40 tahun
kutinggalkan. Ya, sudah empat hari pula aku menghirup udaranya kembali.
Sudah empat hari pula aku berdiri di pinggir jalan ini, setiap senja
tiba. Dan, sudah empat kali senja pula aku melihat kaulewat di jalan
ini.
Setiap kali lewat, engkau tersenyum. Senyummu itu dahsyat
sekali. Aku tergagap. Terkesiap. Betapa tidak. Senyum itu, ya, senyummu
itu, seperti lontaran senyum yang datang dari masa lalu. Senyum yang
dulu pernah kukenal. Bahkan sangat kukenal. Tapi senyum siapa? Bukankah
teramat banyak senyum yang kukenal? Ya, teramat banyak senyum yang hadir
dalam perjalanan hidupku.
Sudah tiga malam ini, senyummu itu
mengaduk-aduk perasaanku. Mengaduk-aduk kenanganku. Entah mengapa
senyummu itu seakan telah membawaku jauh ke lorong kerinduan yang tak
bertepi. Ke lorong masa lalu yang samar, tapi pasti.
Hampir dua
jam lebih aku menunggu. Tapi kau belum juga datang. Belum juga lewat.
Padahal senja sebentar lagi tenggelam. Sebentar lagi cahaya semburatnya
yang indah dan mempesona itu hilang ditelan malam. Dan, bila malam telah
turun, cahaya lampu listrik di pinggir jalan itu tak akan mampu
membantu pandangan mataku untuk melihat senyummu. Melihat senyum yang
kutunggu-tunggu itu.
Aku ingat, ketika kaulewat di senja kemarin.
Dari jarak yang masih beberapa meter, senyummu sudah tersembul. Senyummu
itu sempat membuatku terpana beberapa saat. Kalau saja kau tak
bertanya, aku pasti hanyut bermenit-menit dalam keterpanaan itu.
“Mari,
Pak. Mau pilih apa? Pisang goreng, ketela goreng atau lainnya? Bakwan
dan nogosari juga ada lho, Pak,” rentetan kata dan tanyamu di senja
kemarin.
Engkau pun lalu menurunkan keranjang bakul dari gendongan di
punggungmu. Di bagian atas keranjang bakul itu terdapat sebuah baskom.
Baskom itu berisi penuh makanan yang kau jajakan. Ada pisang goreng,
ketela goreng, bakwan, nogosari, kueh lapis, donat dan banyak lainnya
lagi.
Andaikan kaulewat, dan tersenyum lagi seperti kemarin,
mungkin, ya mungkin saja aku akan dapat mengingat-ingat kembali siapa
sebenarnya pemilik senyum itu. Rasanya dulu, aku begitu sangat
mengenalnya. Begitu dekat dengannya. Sepertinya senyum itu sudah kukenal
sejak empatpuluh tahun lebih yang lalu. Sejak aku masih duduk di bangku
SMA, di kota ini.
Apakah itu senyum yang dulu dimiliki Astuti, adik
kelasku yang matanya selalu menggoda? Atau senyum Antin? Mirna? Dahlia?
Atau jangan-jangan itu senyum miliknya Miyanti? Ya, Miyanti, kembang
di kelasku itu. Miyanti yang dulu kucintai habis-habisan. Kucintai
sampai babak-belur. Aku ingat, siang itu ketika pulang sekolah bersama
Miyanti, empat lelaki muda mencegatku. Tanpa bertanya sepatah kata pun,
mereka langsung menghajarku. Tak pelak lagi, akibatnya wajahku biru
lebam dan badanku babak-belur.
Tiga hari kemudian baru aku tahu jika
empat lelaki yang menghajarku itu adalah suruhan tunangannya Miyanti.
Ternyata oleh orangtuanya, Miyanti sudah ditunangkan dengan pemuda
tetangganya. Tapi ia tak pernah mengatakannya kepadaku. Tak pernah
menceritakan perihal tunangannya itu.
Dan, sehari setelah peristiwa
itu, Miyanti tak pernah lagi datang ke sekolah. Beberapa minggu kemudian
tersiar kabar di sekolah, bila ia sudah resmi keluar dari sekolah
karena dinikahkan oleh orangtuanya dengan pemuda tunangannya itu.
Dalam
usiaku yang sekarang ini ternyata bukan persoalan yang mudah juga untuk
mencoba membongkar-bongkar kembali semua ingatan atau kenangan tentang
senyum-senyum yang dulu pernah kuterima. Terus terang memang teramat
banyak senyum yang kuterima. Senyum yang berarti. Senyum yang berkesan
dalam hidupku. Dan, salah satu yang berarti serta penuh kesan dalam
hidupku itu adalah senyum seperti yang dimiliki Miyanti. Seperti senyum
yang ada padamu dan kauberikan kepadaku dalam beberapa kali senja itu.
Tapi
kau tak datang juga. Tak kunjung lewat di jalan ini. Itu artinya,
senyummu tak akan kutemui. Senja menjadi terasa hambar. Semburat
cahayanya menjadi buram, tak seindah senja-senja yang kemarin.
Aku
kecewa. Sambil bersandar pada pohon rindang di pinggir jalan, kupandangi
senja yang mulai tenggelam dan hilang di balik kota. Pandanganku hampa.
“Sedang menunggu siapa, Pak?” sebuah tanya mengejutkanku.
Seorang
lelaki muda telah berdiri di sampingku. Aku ingat, lelaki muda ini
adalah pekerja di hotel tempatku menginap, yang jaraknya hanya beberapa
puluh meter dari pinggir jalan tempatku menunggumu.
“Sudah beberapa
senja ini saya melihat Bapak selalu di sini, seperti sedang menunggu
seseorang. Siapa yang ditunggu, Pak?” tanyanya lagi.
“Saya sedang menunggu perempuan penjual makanan yang setiap menjelang senja itu lewat di sini,” jawabku apa adanya.
“Perempuan
yang menjual pisang goreng, ketela goreng dan lainnya itu? Yang membawa
dagangannya dengan keranjang bakul di gendongannya itu?” lelaki muda
itu balik bertanya.
“Ya…, ya itu. Perempuan itu yang saya tunggu,” kataku spontan.
“Ooo…menunggu Bu Miyanti, tho?”
Aku terkesiap.
“Siapa? Miyanti!? Perempuan itu bernama Miyanti? Betul, dia bernama Miyanti!?” tanya beruntun pun tak mampu kutahan.
“Ya
betul, Pak. Perempuan penjual makanan itu bernama Bu Miyanti. Saya
sangat mengenalnya, karena dia tetangga saya. Tapi…..,” kata-kata lelaki
muda itu seperti terputus.
“Tapi .., kenapa?” tanyaku tak sabar.
“Dia tak akan lewat di jalan ini lagi, Pak.”
“Lho, kenapa?” tanyaku terkejut. Ya, aku memang terkejut dengan kata-kata itu.
“Dia
sudah meninggal dunia, Pak. Semalam, dalam perjalanan pulang sehabis
menjajakan dagangannya, ia tertabrak sepedamotor. Lukanya parah sekali.
Beberapa jam di rumah sakit, ia pun meninggal dunia. Dan, siang tadi,
jenazahnya telah dimakamkan,” kata lelaki muda itu lagi, seraya kemudian
pamit untuk bergegas ke hotel.
Betapa tak berdayanya aku setelah itu. Tubuhku lemas, tersandar di pepohonan. Lunglai. Senja pun menjadi buram.
Yogya, Januari 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar