Dalang Wayang Kulit, Dulu dan Kini
KI DALANG, pada masanya dulu
merupakan tokoh terpandang, disegani, disanjung, dan diteladani. Sejak wayang
kulit diperkenalkan oleh para empu di bumi Jawa, para peyampai kisah-kisah
pewayangan yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Dalang itu mendapat tempat
yang terpandang di tengah-tengah tatanan kehidupan masyarakat.
Hal itu dikarenakan masyarakat memandang Ki Dalang sebagai seseorang yang
sarat dengan pengetahuan, paham dengan berbagai filsafat kehidupan serta
nilai-nilai moral, dan mampu menguraikan beragam kisah dalm pewayangan yang di
dalamnya penuh dengan wewarah maha
tinggi.
Seorang dalang di masa dulu, tidak hanya dipandang sebagai yang ‘serba
tahu’ dan ‘serba bisa’, tetapi juga diyakini sebagai penyampai kebenaran,
penggugar dan penyadar manusia agar bisa menjalani kehidupan sesuai dengan
tatanan dan norma-norma yang sudah diatur oleh Sang Maha Pencipta melalui
kisah-kisah di dalam lakon pewayangan.
Di masanya dulu juga, Ki Dalang memang sudah memposisikan dirinya sebagai
agen perubahan sosial, agen pembaharu, penyampai informasi atau komunikator
yang selalu menyampaikan informasi atau berita tentang kebenaran, kebaikan dan
kemuliaan kehidupan manusia. Bahkan ketika Islam berkembang dan menanamkan
pengaruh besarnya di Jawa, para Dalang tidak hanya sekadar dipandang sebagai
seorang pembawa cerita maupun penyampai informasi.
Tapi lebih dari itu. Ki Dalang juga memainkan perannya sebagai pembawa
kebenaran ajaran-ajaran Islam, atau dipandang sebagai pendakwah, penyampai
kebenaran Islam, yang selalu mengingatkan masyarakat untuk senantiasa berbuat
kebaikan dan kebajikan di dalam kehidupan, mematuhi perintah-perintah Allah SWT
agar kelak bisa menikmati kehidupan yang maha damai serta menyenangkan di
surga.
Peran mulia dan luhur itu memang masih disandang para Dalang hingga hari
ini. Kisah-kisah pewayangan yang dipentaskannya, masih tetap merupakan
kisah-kisah yang sarat dengan wewarah atau petunjuk kehidupan, agar manusia
dalam menjalani kehidupannya senantiasa berpegang pada ketentuan yang sudah
ditata oleh Sang Maha Pencipta. Akian tetapi, di mata masyarakat kini perannya
sudah tidak lagi semulia dan sehebat dulu.
Ki Dalang kini hanya dipandang atau dinilai sekadar sebagai pembawa
cerita wayang, dan pemberi hiburan. Bahkan kini, tidak sedikit pula masyarakat
yang memandang wayang tidak lebih hanya sekadar bentuk seni hiburan biasa, yang
tidak berbeda dengan bentuk-bentuk seni hiburan lainnya, seperti pentas musik
campursari, pentas musik dangdut, dan lainnya.
Di banyak tempat sekarang ini, masyarakat tak terlalu bergairah menonton
pentas wayang kulit bila tidak disertai pentas kolaborasi dengan musik
campursari atau musik dangdut. Pentas wayang kulit tidak lagi cukup dengan
menampilkan para pesinden, tapi juga menampilkan penyanyi-penyanyi campursari
atau penyanyi-penyanyi dangdut. Kemerduan suara pesinden, keluwesan dan
kelembutan tampilannya, kini harus bersaing dengan aksi genit penyanyi-penyanyi
campursari dan desah serta goyangan menggoda penyanyi-penyanyi dangdut.
Karenanya kini, pentas-pentas wayang kulit di banyak tempat hanya
dipandang sebagai bentuk hiburan semata yang sudah kehilangan greget dan nilai
adiluhungnya. Bukan wewarah atau nilai-nilai kehidupannya lagi yang diperlukan
kebanyakan penonton kini, tapi justru tampilan gemerlap, hiruk-pikuk dan nuansa
keduniawiannya yang dicari.
Menonton pergelaran atau pentas wayang kulit bukan lagi dijadikan media
penambah wawasan kehidupan, penambah semangat kehidupan, atau pemberi
pencerahan jiwa dan pikiran, tetapi hanya sekadar obat pelipur lara, penghibur
diri, agar terbebas dari himpitan dan belitan kehidupan. Tetapi menonton wayang
kulit agar bisa bebas tertawa, bebas berteriak Karena puas dan gembira.
Diakui atau tidak, sesungguhnya realitas yang seperti itu merupakan
sesuatu yang memprihatinkan. Bila hal seperti itu terus berlangsung tanpa ada
upaya untuk pengendaliannya, nilai-nilai adiluhung yang sudah beratus tahun
disandang oleh wayang, akhirnya akan punah. Dan, pentas wayang pada akhirnya
hanya sekadar hiburan biasa yang tidak lagi bermakna apa-apa. Pentas wayang
pada akhirnya hanya tempat pelarian mereka yang sekadar ingin mencari hiburan,
ingin tertawa bebas dan sesuka-hati.
Para Dalang dan komponen-komponen pewayangan lainnya, terutama yang
tergabung di dalam Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) semestinya tidak terlena
dengan realita seperti ini. Harus ada tindakan dan langkah nyata agar wayang
bisa tetap bertahan sebagai warisan budaya yang maha tinggi dan adiluhung.
Warisan budaya yang penuh dengan ajaran-ajaran kehidupan manusia.
Ini memang tugas berat. Tapi, seberat apa pun, tugas untuk mempertahankan
kemuliaan dan keagungan wayang harus tetap dijalankan. Kecuali bila memang
ingin melihat kemuliaan dan nilai-nilai adiluhung di dalam wayang itu hilang
tak berbekas.*** (Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar