Cerpen: Sutirman Eka Ardhana
(1)
MALAM baru saja turun. Tapi kesunyian sudah menelan desa di lereng
Merapi itu. Dari ujung desa, dua ekor burung gagak terbang beriringan
dan meneriakkan suaranya yang menyibak sunyi malam. Oak! Oak! Oak!
Dua ekor burung gagak itu kemudian melintas di atas rumah-rumah
penduduk sambil terus berteriak-teriak – Oak! Oak! Oak! – lalu hinggap
secara bersamaan di sebuah pohon besar di depan rumah. Meski
sudah bertengger di sebuah dahan, keduanya masih saja mengepak-ngepakkan
sayapnya sambil tetap berteriak – Oak! Oak! Oak! Sepertinya ada yang
ingin dikabarkan oleh kedua burung gagak itu kepada warga desa yang
sejak petang sudah mengurung diri di dalam rumah.
Sejak malam
turun, jalanan desa yang kiri-kanannya dipenuhi rimbun pepohonan itu
dipagut sepi. Tidak seorang warga pun ada di jalanan. Entah mengapa,
dalam beberapa hari terakhir, semua warga desa seakan sepakat bila
sehabis mahgrib tidak lagi berada di jalanan atau di luar rumah. Mereka
seakan-akan sedang berjaga-jaga di dalam rumah dengan penuh kecemasan.
Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak di langit malam.
Teriakan nyaringnya mencemaskan empat orang lelaki yang sedang berkumpul
di sebuah rumah. Keempat lelaki itu bertetangga. Rumah-rumah mereka
saling berdekatan. Dan, keempatnya berkumpul di rumah Parmo, yang paling
tua di antara mereka.
“Burung-burung gagak itu datang lagi. Berteriak-teriak lagi,” kata salah seorang yang bertubuh tinggi dan berkumis.
“Ya, suara-suara gagak itu membuat aku jadi cemas,” ujar si pemilik rumah, Parmo.
“Jangan-jangan
akan ada ……….., ah aku tak bisa meneruskannya. Aku ngeri. Aku takut
untuk mengatakannya. Aku khawatir apa yang akan kukatakan itu nanti
benar-benar terjadi. Ah, aku tak ingin lagi itu terjadi. Cukuplah …. Ya
cukuplah sudah …….,” timpal salah seorang di antaranya yang berbadan
kurus.
“Beberapa waktu lalu, ketika ada burung gagak
berteriak-teriak seperti itu, sehari kemudian ada dua orang yang
terbunuh di desa ini. Mereka adalah para pencuri sapi yang kepergok
warga desa. Mereka diamuk, dan tewas,” kata seorang lagi yang berbadan
gempal. “Malam ini burung-burung gagak itu datang lagi. Entah kabar
buruk apa yang disampaikannya,” tambahnya.
Oak! Oak! Oak! Teriakan
burung-burung gagak itu membahana lagi membelah malam. Suaranya semakin
nyaring. Semakin keras. Semakin panjang.
“Sepertinya burung-burung itu hinggap di pohon rumah sebelah,” ujar Parmo.
“Rumah Pak Kasan, maksudmu?” tanya yang kurus.
“Ya.
Cobalah dengar baik-baik, suara burung-burung gagak itu menjerit-jerit
di depan rumah sebelah. Itu pasti di pohon rambutan depan rumah.
Suaranya begitu nyaring. Begitu dekat.”
Oak! Oak! Oak! Terdengar
pula suara ranting pohon yang jatuh. Sebatang ranting kering yang sudah
lama rapuh patah, tak kuat menahan pijakan burung-burung gagak itu.
“Ah, kalau saja aku punya senapan, sudah kutembak burung-burung sial itu,” suara si kurus bernada geram.
“Heh,
kenapa pula? Apa salahnya gagak-gagak itu hingga mau kau tembak?”
lelaki tinggi dan berkumis terpancing pula untuk bertanya.
“Gagak-gagak
itu pembawa bencana. Kalau dia datang dan berteriak-teriak malam-malam
seperti ini, pasti akan ada bencana di desa kita. Akan ada jiwa yang
melayang. Akan ada yang mati lagi. Besok entah siapa lagi yang mati?”
“Itu
bukan salahnya gagak. Justru sebaliknya kita harus berterimakasih
kepada gagak-gagak itu. Karena dia sudah memberitahu kita lebih dulu
tentang akan adanya bahaya, adanya bencana, atau kematian. Dengan
pertanda yang diberikan gagak-gagak itu, kita bisa berjaga-jaga dan
bersiap-siap lebih dulu. Jadi, jangan salahkan gagak. Burung-burung itu
tak bersalah dan tidak membawa bencana. Pembawa dan penyebab bencana itu
biasanya ya manusia sendiri,” kata Parmo serius.
Burung-burung gagak itu kembali berteriak-teriak.
(2)
Akan halnya di rumah Pak Kasan, Narti kembali membaca isi pesan singkat di telepon selularnya – Minggu
dpn aku akn plang ke yogya. Aku pasti ke rumahmu. Aku ingin sekali
mmandang Merapi yang indah itu lagi bsamamu. Tunggu, ya. – Wahyu.
Sejak
diterimanya petang hari, setidaknya lebih dari enam kali sms dari Wahyu
itu dibacanya. Hatinya berbinar-binar. Gembira. Betapa tidak, minggu
depan ia akan bertemu lagi dengan Wahyu, pemuda sedesanya yang merantau
ke Jakarta, dan yang selama ini diyakininya dengan sepenuh hati sebagai
satu-satunya lelaki pujaan.
Pertemuannya yang terakhir dengan
Wahyu terjadi enam bulan lalu. Dan, Narti ingat, sederetan kata-kata
Wahyu ketika itu, yang diucapkan ketika mereka berdua duduk di pinggiran
sungai, sambil memandang ke puncak Merapi yang mempesona. “Jika aku
nanti pulang lagi ke desa, sudah kubulatkan tekad, bahwa aku tak akan
ingin berjauhan lagi denganmu. Aku akan selalu berada di dekatmu,” ini
kata-kata Wahyu saat itu.
“Maksudmu?” Narti ingat, tanya inilah yang spontan dilontarnya sore itu.
“Ya,
maksudnya, kita akan selalu bersama. Berdua. Aku akan melamarmu. Lalu
kita menikah. Akan kita jalani kehidupan ini bersama. Pendek kata, aku
ingin sehidup dan semati denganmu. Kau bersedia kan, Nar?”
Narti
tersenyum sendiri. Lalu, ia pun membayangkan saat-saat mendebarkan itu.
Wahyu dan keluarganya datang ke rumahnya melamar, kemudian mereka
menikah, duduk berdua di pelaminan, disaksikan sanak keluarga,
kawan-kawan, para tetangga dan handai-tolan lainnya. Ah, kebahagiaan
yang tiada tara!
Narti melangkah ke jendela, lalu dibukanya
jendela itu sedikit. Dipandangnya malam di luar rumah. Malam seperti
dipeluk kelam. Cahaya lampu listrik di depan rumah yang hanya 25 watt
tak mampu melawan kegelapan. Tapi dengan cahaya yang tipis itu ia sempat
melihat awan hitam seakan bergerombol tebal di pucuk-pucuk pepohonan.
(3)
Wahyu
gelisah membaca berita di koran-koran dan menonton tayangan berita di
televisi bahwa Gunung Merapi beraksi lagi. Mulai meletus lagi! Dan,
melontarkan awan panas! Ia pun sontak teringat desanya di lereng Merapi.
Teringat kedua orangtuanya, adik-adiknya dan kerabatnya. Juga, Narti!
Tak
ada pilihan lain. Selain secepatnya pulang ke Yogya. Hari itu juga ia
minta izin di tempat kerjanya, lalu ke stasiun kereta api, naik kereta
api apa pun yang paling awal bisa membawanya pulang ke Yogya.
Wahyu
naik kereta api jurusan Jakarta – Surabaya yang berhenti di Yogya.
Tengah malam ia sampai di Yogya. Lalu, sepedamotor ojek membawanya
menembus dingin malam menuju desanya. Semula pengemudi ojek agak
keberatan membawanya ke desa di lereng Merapi itu, tapi setelah disodori
ongkos yang berlipat, pengemudi ojek itu pun mengangguk.
Ketika memasuki desa, kedatangannya disambut dengan suara nyaring burung-burung gagak – Oak! Oak! Oak!
(4)
KEESOKAN
harinya stasiun-stasiun televisi sibuk memberitakan sebuah desa di
lereng Merapi, yang terletak di pinggiran sungai diterjang awan panas
yang dimuntahkan Gunung Merapi pada dini hari. Sejumlah warga desa itu
ditemukan tewas.
Keesokan harinya lagi, tim evakuasi yang
terdiri para relawan, anggota TNI dan Polri menemukan mayat Parmo
tergeletak di depan rumahnya. Di sebelah rumah Parmo, tim evakuasi
menemukan mayat seorang gadis tergeletak di depan pintu rumah. Dari
dalam dompet di saku celana panjang yang dikenakannya ditemukan KTP atas
nama Sunarti, usia 23 tahun. Kemudian di dalam rumah, ditemukan jasad
lelaki tua berdampingan dengan perempuann tua. Sementara di depan rumah,
tak sampai empat meter dari depan pintu, ditemukan pula seorang lelaki
muda tergeletak tak bernyawa.
Desa di lereng Merapi itu sunyi, bagaikan desa mati. Burung gagak pun pergi.
Yogya, November 2010
(Harian "Kedaulatan Rakyat" edisi Minggu, 14 November 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar