TERHENYAK
Cerpen : Sutirman Eka Ardhana
PERNAHKAH kau merasakan keterkejutan seperti yang kurasakan ini?
Pernahkah kau terhenyak dan gugup sedahsyat ini? Pernahkah kaualami
peristiwa seperti yang kualami? Peristiwa yang tak pernah kuduga dan
tak pernah kubayangkan akan terjadi di saat usiaku sudah mulai merambat
tua.
Gadis itu masih duduk di depanku. Dia cantik. Usianya sekitar 20 tahunan
lebih. Matanya yang tak berhenti menatapku, bagaikan ujung sebilah
belati yang tajam berkilau. Aku bagaikan seorang pesakitan, atau seorang
terdakwa yang terhenyak tak berdaya di depan hakim. Di depan gadis itu,
aku benar-benar kehilangan daya.
Sehari sebelumnya ia meneleponku. Tak kutahu, entah dari mana ia
memperoleh nomor hp-ku. Ia mengaku sebagai seorang mahasiswi yang
mengikuti mata kuliahku di kampus. Ia mengatakan keinginannya untuk
bertemu denganku.
“Ya, kita bisa ketemu besok di kampus,” ini jawabku.
“Tapi, saya tidak ingin bertemu di kampus, Pak. Saya ingin bertemu di luar kampus saja,” katanya cepat menanggapi jawabanku itu.
“Koq…serius banget. Ada masalah apa? Sepertinya penting sekali?” ujarku heran.
“Ada hal sangat penting yang ingin saya sampaikan ke Bapak,” katanya lagi.
Meski dadaku dijejali beragam tanda tanya dan rasa penasaran, akhirnya
kupenuhi permintaannya itu. Disepakati kami bertemu sore hari di café
ini.
Aku datang lebih dulu di café. Lalu mengambil posisi di meja paling
sudut, yang tak jauh dari pintu masuk. Sembari duduk, sambil
mendengarkan alunan musik lembut di café ini, pandanganku tak
henti-hentinya tertuju ke arah pintu masuk, mencari tahu siapa gerangan
mahasiswi yang ingin bertemu denganku itu.
Waitres yang mengantarkan segelas coklat hangat pesananku baru saja
berlalu, ketika aku dikejutkan dengan kemunculan seorang gadis muda di
depanku.
“Sudah lama, Pak?” tanyanya seraya tersenyum. Dan, senyum itu manis.
Manis sekali. Seperti sebuah senyum yang datang dari masa lalu.
“Oh…., kamu yang ……?” tanyaku tergagap.
“Ya …., saya yang …..kemarin menelepon Bapak. Maaf…., kemarin saya
mengaku sebagai ….. mahasiswi Bapak. Tapi….. itu terpaksa saya lakukan,
agar bisa bertemu dengan Bapak,” entah mengapa gadis itu menjawabnya
dengan agak terbata-bata, sambil menarik kursi dan duduk.
“Lho, sebenarnya kamu ini siapa?” sebenarnya tanyaku ini bisa meninggi,
tapi begitu melihat wajahnya, aku terpaksa menurunkan volume atau
tekanan suara.
Gadis itu diam sesaat. Tapi pandangan matanya tetap tertuju ke arahku.
Di balik pelupuk matanya seperti ada yang coba ditahannya.
“Itulah yang ingin saya katakan kepada Bapak sore ini. Saya berharap
Bapak bersedia mendengarkannya,” ujarnya kemudian, dan bola matanya
mulai berkaca-kaca.
Aku mengangguk pelan, sebagai tanda mempersilakannya untuk mengutarakan apa yang ingin dikatakannya.
“Apakah Bapak masih ingat dengan seorang perempuan bernama Miranti?” tanya gadis itu pelan.
Sekalipun pelan, tapi pertanyaan itu telah membuatku tergagap dan terhenyak.
“Apakah Bapak masih ingat dengannya? Dengan Miranti itu?” ulangnya lagi.
Ya, tentu saja aku ingat! Miranti, sebuah nama yang pernah mengukir cerita indah di dalam hatiku.
“Bagaimana, Pak? Ingat?” kejarnya.
“Ya….,” jawabku lirih, nyaris tak terdengar.
“Syukurlah, kalau Bapak masih mengingatnya. Dan, satu hal yang perlu
Bapak ketahui, saya adalah anaknya. Anak perempuan yang diakui oleh
lelaki lain yang baik hati sebagai anaknya, sekali pun sesungguhnya
lelaki yang seharusnya menjadi ayah kandungnya itu bernama Ardhian
Suherman,” pelupuk mata gadis itu terlihat jelas tak mampu membendung
luapan air mata ketika mengatakan hal ini.
Rentetan kata-kata gadis itu bagaikan sambaran petir yang menggelegar
dahsyat di telingaku. Betapa tidak. Nama Ardhian Suherman yang
disebutnya itu adalah namaku. Jadi??!! Kalau begitu dia….??!! Beribu
tanya saling bergebalau di hatiku. Dadaku sesak.
“Lelaki yang baik hati itu bernama Sumarwan. Dialah yang menjadi suami
ibu saya, Miranti. Dan, dia jugalah yang telah membesarkan dan mengakui
saya sebagai anaknya sendiri. Tapi setahun lalu lelaki yang sangat saya
hormati dan sayangi itu telah berpulang. Setengah tahun kemudian, ibu
saya, Miranti, menyusulnya berpulang ke sisi Allah. Seminggu sebelum
meninggal, ibu menceritakannya semua kepada saya. Menceritakan siapa
saya sesungguhnya. Menceritakan siapa sesungguhnya ayah kandung saya.
Ibu bercerita, ketika saat kehamilannya diketahui, ia berharap lelaki
bernama Ardhian Suherman itu datang. Tetapi setelah ditunggu sekian
lama, lelaki itu tetap tak pernah datang. Sehingga kemudian datanglah,
lelaki bernama Sumarwan, yang katanya merupakan sahabat dekat Ardhian
Suherman, dan menyatakan kesediaannya untuk menikahi. Ibu juga sempat
berpesan, agar saya mencari lelaki bernama Ardhian Suherman itu, dan
menyampaikan semua kisah ini,” gadis itu menarik napasnya dalam-dalam
sambil menyeka air mata di pipinya.
Aku terhenyak dahsyat. Bahkan juga terhempas sangat dahsyat. Terhempas
dari ketinggian yang tak terkira. Terhempas dan terpuruk ke lubang bumi
yang dalam dan penuh bebatuan tajam. Bebatuan tajam dan keras itu bagai
menghimpit tubuhku. Rongga dadaku seperti remuk. Aku seperti sulit
bernapas. Dan, aku benar-benar seperti kehilangan daya untuk memandang
dalam-dalam wajah gadis yang mengaku anakku itu. .
Aku tak bisa mengingkari semua itu. Miranti benar. Setelah malam penuh
cinta dan nafsu itu, aku memang tak pernah datang lagi menemuinya.
Ketika itu begitu cepat semuanya berubah. Dan, Sumarwan, sahabat
karibku, ternyata dialah yang telah menyelamatkan Miranti.
“Sudah ya, Pak. Saya lega, sudah bisa melaksanakan pesan dari ibu saya
untuk menemui Bapak dan menceritakan semuanya. Maaf, saya tidak
bermaksud mengganggu kehidupan Bapak, saya hanya sekadar ingin
melaksanakan pesan ibu saya. Itu saja. Tapi, kalau Bapak ingin
mengatakan sesuatu, mungkin ingin membantah atau menyanggah cerita itu,
Bapak bisa menghubungi saya. Ini alamat rumah, dan nomor hp saya,” kata
gadis itu, seraya berdiri, kemudian meletakkan sehelai kartu nama di
atas meja, dan kemudian melangkah pergi.
Aku terpana. Tak tahu harus berbuat apa-apa. Aku benar-benar kehilangan daya.
“Ya Allah, beri aku jalan keluar. Atau beri aku hukuman yang setimpal
untuk itu semua,” hanya ini yang terucap dari mulutku setelah adzan
mahgrib terdengar mengejutkan
keterpakuanku.
Yogya, Mei 2012
(Dimuat: Harian "MERAPI" - Yogyakarta, edisi Minggu, 3 Juni 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar