Cerpen Sutirman Eka Ardhana
PEREMPUAN yang sendiri di kamar itu adalah perempuan yang semalaman
menenggelamkan dirinya ke dalam sunyi. Perempuan yang menenggelamkan
dirinya ke dalam sunyi itu adalah perempuan yang bermalam-malam telah
mencoba membunuh birahinya pada lelaki. Dan, perempuan yang mencoba
membunuh birahinya pada lelaki itu telah memastikan dirinya untuk segera
pergi.
Pergi! Ya, pergi, dan tak akan kembali lagi. Pergi dari
tempat yang bertahun-tahun telah menjadi tempatnya melabuhkan gelisah,
dan menyandarkan keluh-kesah kehidupan. Pergi dari tempat yang
bertahun-tahun telah menjadi tumpuan hidupnya. Tempat ia bertahun-tahun
berkubang dengan nestapa dan tawa. Bergumul dengan senyum dan air mata.
Meski
menyakitkan, tapi perempuan itu sadar, sepahit apa pun tempat ini telah
menyelamatkan hidupnya dari keputus-asaan. Menyelamatkannya dari
ketakberdayaan dan kehampaan. Tempat ini pun telah menjadi penawar
kepedihannya. Ia pun ingat, betapa tak berdayanya dulu menghadapi
nestapa kehidupan. Menghadapi kenyataan yang tiba-tiba muncul dan
memporak-porandakan kehidupannya. Betapa tak berdayanya ia dulu mencegah
suaminya pergi dengan perempuan lain, dan kemudian meninggalkannya
begitu saja. Dan, betapa tak berdayanya ia mencegah perceraian.
Ada
yang bergejolak di dada perempuan itu. Ada rasa amarah, kecewa dan
pedih. Gejolak rasa yang membuatnya seperti tersudut tak berdaya.
Perempuan itu pun kemudian menitikkan air mata. Menangis. Tanpa sadar,
air matanya menetes, membasah di pipi. Padahal sudah bertahun-tahun ia
mencoba tak menangis di tempat ini. Bertahun-tahun ia mencoba untuk
tegar. Mencoba untuk kuat dan tidak cengeng.
Tapi kini
ketegarannya mulai rapuh. Kekuatan jiwanya mulai melemah. Ia seperti
telah didera ketakberdayaan yang sangat dalam. Beberapa bulan terakhir
ia mudah sekali bersedih. Ia sering bermenung diri. Terlebih bila malam,
setelah aktivitas kesibukan di tempat ini berakhir, ia pun tenggelam
dalam kesepian dan kesendirian. Ia merasakan hidup yang sunyi. Teramat
sunyi. Dan, hidup yang pahit. Teramat pahit. Kepahitan yang menyayat.
Kepahitan yang menunjam pedih ke relung-relung hati.
Perempuan
yang sendiri di kamar itu pun kembali mengingat-ingat perjalanan
dirinya. Kembali mengingat langkah demi langkah yang telah membawanya
masuk ke tempat ini dan bergelut dengan rona kehidupan di dalamnya. ”Ah,
sudah lama aku hanyut dengan gelombang kehidupan di sini,” keluhnya.
Ia
pun ingat, suatu hari, sekitar lima tahun lalu. Wardani, tetangganya di
kampung, dan teman satu sekolahnya semasa masih di SMP, datang ke
rumahnya. Ketika itu ia sedang duduk sendiri, di kursi panjang, di bawah
pohon jambu merah, depan rumahnya, sambil memandang semburat senja yang
turun di balik desa.
”Apa kau tidak tertarik pergi ke kota?” tanya Dani, begitu ia selalu memanggil perempuan teman semasa sekolahnya itu.
”Ke kota? Untuk apa?” ia balik bertanya.
”Ya,
bekerjalah. Dari pada di sini, kau hanya bermenung-menung seperti ini,
mengingat-ingat lelaki bekas suamimu yang sudah pergi itu. Lebih baik
kau lupakan semuanya. Kau lupakan semua kepedihan. Apalagi kau juga
memerlukan biaya untuk membesarkan anakmu, dan menyekolahkannya nanti.”
”Tapi,
bagaimana dengan Dimas, anakku itu? Tahun depan dia harus sudah masuk
sekolah. Siapa nanti yang harus mengurusnya masuk sekolah. Dan, bila
sudah sekolah, siapa nanti yang harus mengantarkannya ke sekolah?”
”Pasrahkan atau titipkan saja kepada Bapak dan simbokmu. Bapak dan Simbok pasti
bisa merawatnya, apalagi kalau hanya ngurusi bagaimana dia masuk
sekolah nanti. Yang penting, ada biayanya. Nah, dengan bekerja di kota,
nanti kamu bisa memberikan atau mengirimi biaya untuk anakmu itu.”
Perempuan
itu pun ingat, bagaimana ia dulu mengangguk, menyetujui ajakan Dani
untuk bekerja di kota. Dan, ia pun ingat, teramat ingat, bagaimana Dani
pertama kali membawanya ke tempat ini.
”Di sini tempat yang
termudah untuk bekerja, dan mencari uang. Jangan khawatir, aku juga
bekerja di sini. Jadi kita akan selalu berdekatan. Akan selalu bersama,”
ini kata-kata Dani ketika itu, saat ia terpana, kehilangan daya,
terhenyak, dan tak tahu harus berkata apa-apa lagi.
”Di sini, kita hanya bertugas melayani laki-laki. Itu saja. Bekerja ala-kadarnya, tapi dapat uang,” kata Dani lagi saat itu.
Perempuan
yang hanyut dengan keluhnya itu lalu memandang ke arah cermin. Di dalam
cermin yang kacanya tak lagi bersih dan buram itu, ia memandang
wajahnya sendiri dalam-dalam. Terlihat jelas di kaca cermin, wajahnya
tak lagi sekencang dan semulus lima tahun lalu. Kecantikan di wajahnya
seperti telah memudar. Padahal kecantikan itulah yang dulu menjadi
kebanggaan dan andalannya. Kecantikan itulah yang selama bertahun-tahun
telah membuat dirinya populer dan menjadi idola banyak lelaki yang
bertandang ke tempat ini.
”Aku harus pergi. Ya, aku harus pergi.
Tak ada lagi yang kupertahankan di sini. Tak ada lagi........,”
kata-kata ini seperti saling berdesakan di dalam hatinya.
Perempuan
itu mengusap air matanya yang masih membekas di pelupuk mata. Perempuan
itu pun berusaha meyakinkan dirinya bahwa keinginan untuk pergi bukan
semata dikarenakan alasan kecantikannya yang sudah memudar. Bukan karena
takut, tak akan ada lagi lelaki yang datang mencari, dan mengajaknya
masuk ke dalam kamar. Bukan karena takut bersaing dengan
pendatang-pendatang baru, yang jauh lebih muda, lebih kenes dan cantik.
Tapi, semuanya bermula dari sms Dani yang diterima handphonenya
lima hari lalu. Dani yang kebetulan sedang pulang ke desa itu
mengabarkan, jika Dimas, anaknya, bersama kakek dan neneknya telah tewas
disambar truk. ”Menurut informasi bapakmu naik sepeda menggonceng ibumu
dan Dimas, sehabis menjemput Dimas di sekolah. Mereka disambar truk.
Peristiwanya sudah terjadi seminggu lalu. Tapi tak ada yang
memberitahumu, karena tak ada yang tahu alamatmu di kota,” begini tulis
Dani di sms-nya.
Perempuan itu kembali mengusap air
matanya. Ia berpikir, tak ada lagi yang bisa dipertahankannya di tempat
ini. Tak ada lagi gunanya bekerja di sini. Ia dulu nekad bekerja begini,
demi untuk anaknya semata wayang, Dimas. Demi untuk menyekolahkannya.
Untuk membesarkannya. Namun, kini semuanya sudah sirna.
Perempuan
itu lalu mengalihkan pandangannya ke sebilah pisau, yang sejak sore
tergeletak di atas meja kecil, tak jauh dari ranjangnya. Pisau tajam itu
sore tadi digunakannya untuk mengupas buah mangga, pemberian teman di
kamar sebelahnya.
Perempuan itu menguatkan tekadnya untuk pergi.
Yogya, Juli 2011
(Dimuat Tabloid Berita Mingguan TeRAS Investigadi edisi 21-27 Juli 2011)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar