oleh ADEK ALWI
ENAM
belas cerpen Sutirman Eka Ardhana dihimpun dalam “Langit Biru
Bengkalis” (Surat Emas Pustaka, Yogya, Desember 2010). Tapi ini tak buku
pertama dia. Tahun 1976 terbit kumpulan sajak Sutirman “Risau”, di
tahun 1979 kumpulan sajak berdua Mayon Sutrisno “Emas Kawin”, dan
sajak-sajaknya terdapat pula di banyak antologi. Novel pertamanya
“Barter Pacar” terbit tahun 1978, disusul sejumlah novel lainnya.
Jadi Sutirman banyak menulis sajak dan novel daripada cerpen,
seperti juga diakuinya di pengantar kumpulan cerpen ini: “Sesungguhnya
saya bukanlah penulis cerpen yang produktif. Sekalipun saya sudah mulai
menulis sejak tahun 70-an, tapi jumlah cerpen yang saya tulis bisa
dihitung hanya dengan bilangan jari saja.”
Sutirman memang sudah lama menulis. Lahir di Bengkalis, Riau, 1952,
sejak 1972 ia kuliah/mukim di Yogya. Tahun 1969-1972, waktu SLA, ia
tinggal di Kebumen. Di Yogya dia aktif di Persada Studi Klab asuhan
penyair Umbu Landu Paranggi, seperti banyak anak muda Yogya dan
sekitarnya di awal 1970-an; Iman Budi Santosa, Linus Suryadi AG, Emha,
Korrie Layun Rampan, Suwarno Pragolapati, Atas Danusubroto, Achmad
Munif, Arwan Tuti Artha dan banyak lagi. Tahun 1974, Sutirman memasuki
dunia pers dan belakangan pemimpin redaksi di berbagai surat kabar.
Nama-nama tempat itu saya sebut, pun tahun-tahun yang telah lama
lewat, sebab yang amat kuat menonjol pada cerpen-cerpen di “Langit Biru
Bengkalis” (buku ini dikirim Sutirman ke alamat kampus tempat saya
mengajar dan saya terima 27 Januari 2011), hal-hal yang mengayakan
terkait dengan sang Waktu. Juga tempat; daerah asal, serta rantau.
Waktu, kita tahu, lazim dicap penyembuh ajaib, barangkali karena
timbunannya yang terus tiba tidak pernah henti kuasa menghadirkan lupa
atas luka, mengubah tangis jadi tawa. Tetapi tak selalu begitu. Alam di
luar bisa saja berubah ditimbun Waktu, rambut di kepalamu pun menjelma
putih-tipis, namun sang Waktu adakalanya bak tak hendak pergi dari
ingatan dan hati. Bahkan acap seraya mengiris. Mengapa begitu?
Penyebab-penyebab inilah yang merebak dalam cerpen-cerpen Sutirman.
Maka bersualah kita dengan laki-laki yang setelah sekian lama pergi
ke kota pacarnya, mendapati pacar telah ke kota besar “luruh duit”,
atau cari duit selaku pelacur (cerpen “Luruh Duit”). Atau, laki-laki
yang mencari keluarga setelah di bui 16 tahun, dihajar orang
babak-belur, diselamatkan pelacur yang tak lain anak yang dia cari-cari
(cerpen “Tamu Terakhir”). Ada pula lelaki setelah 30 tahun kembali ke
kota tempat sekolah, jumpa kekasih jadi tukang pijat (cerpen
“Pertemuan”). Lainnya, ada laki-laki ditemui anak yang hendak
mengenalkan calon istrinya, si calon ternyata putri hasil hubungan gelap
lelaki itu dengan seorang perempuan 23 tahun lalu (cerpen “Rahasia
Lelaki”).
Dalam cerpen-cerpen itu, sang Waktu jangankan pergi atau jadi
penyembuh, justru menghajar para lelaki tokoh utamanya. Penyebabnya
macam-macam. Di “Luruh Duit” dan “Pertemuan”, karena kemiskinan melilit
tokoh-tokoh wanitanya dan tokoh-tokoh lelaki tak kuasa tampil jadi
penyelamat.
Kemiskinan pula membuat sang Waktu bak tidak berpihak kepada tokoh
utama lelaki di cerpen “Lelaki Rindu Pulang”, yang hanya dapat melamun
bertahun-tahun melihat selat dan laut di Bengkalis, ingat keluarga di
Pulau Sumbawa, yang tidak terkunjungi. Atau lelaki eks TKI di negeri
jiran, terdampar di Bengkalis, bermalam-malam duduk di pelabuhan karena
rindu pulang ke Madura tapi tidak punya uang, lalu di suatu pagi
ditemukan orang mayatnya mengapung di laut (cerpen “Lelaki di Ujung
Pelabuhan”).
Alhasil, kemiskinan memang gawat, bahaya, maka agama pun
mengingatkan manusia mewaspadainya. Coba. Di cerpen “Batu-batu di Gunung
Parang”, saat tokoh aku pergi ke Kebumen tempat bersekolah belasan
tahun silam, ia lihat para penggali batu masih menggali batu seperti
dulu, namun mereka telah berubah jadi batu, mengeras, tak acuh pada
larangan pemerintah, yang menjadikan tempat itu cagar alam geologi.
Di cerpen “Tamu Terakhir” tadi Waktu menghajar perasaan tokoh utama
karena ironi. Tokoh ini dipenjarakan karena membela harga diri dan
keluarga dengan membunuh preman pengganggu istri. Akibatnya: keluarga
telantar, anak tercampak ke kompleks pelacuran karena ditinggal 16
tahun. Adalah ironi pula yang disodorkan sang Waktu pada orang tua dan
orang kampung (cerpen “Cerita Tentang Badrun”) yang berharap tinggi
karena telah mengirim Badrun nyantri ke Jawa 6 tahun, namun si Badrun
malah pulang sebagai penjahat yang dicari-cari polisi.
Ironi yang diberikan sang Waktu di kasus Badrun berbeda motifnya
dengan kehadiran ironi pada lelaki dalam cerpen “Tamu Terakhir”. Di
“Tamu Terakhir”, ironi itu hadir karena si tokoh membunuh (yang tentunya
juga keliru) untuk membela keluarga. Pada Badrun, karena ia membuang
waktu 6 tahun; bukan nyantri, malah jadi perampok dan pembunuh di
rantau, atau akibat perilaku buruk. Dan di cerpen “Rahasia Lelaki”, sang
Waktu pun mengiris hati tokoh lelaki dengan menyodorkan buah buruk ulah
masa lalu yaitu selingkuh.
Jadi, dalam hidup ini langkah seyogianya ditata agar tak macam si
Badrun atau serupa lelaki di “Rahasi Lelaki”. Termasuk, dengan tak murah
obral janji, karena sang Waktu rupanya tak pula toleran pada janji yang
tidak ditepati, bak dialami tokoh lelaki dalam cerpen “Karangsembung”.
Lelaki di “Karangsembung” itu, setelah 14 tahun, datang lagi ke
Karangsembung, lalu di jembatan tempat berjanji jumpa kekasih yang ia
tinggalkan. Di rumah sahabat yang mengundangnya datang, ia diberi tahu
bahwa sang kekasih sudah mati 7 tahun lalu. Nah, hingga di alam roh pun
janji rupanya tak jua pupus, tetap ditagih. Dan di cerpen “Sembilu”,
perasaan tokoh aku yang pulang kampung bersama anak-istri dari Yogya,
diiris Waktu ketika tahu Hasnah yang 10 tahun sebelumnya ia janjikan
akan dikawini, mengamuk di pasar karena kecewa, lalu berubah ingatan.
Begitulah sang Waktu dalam cerpen-cerpen Sutirman Eka Ardhana, tak
hadir sebagai penyembuh ajaib, justru bak tidak beranjak dari hati dan
ingatan, lantas mengiris-iris perasaan. Malah ketika 30 tahun sudah
berlalu, saat dua kekasih lama masing-masing telah bercucu lalu bertemu
di sebuah pantai serta dapat bicara disertai senyum (cerpen “Langit Biru
Bengkalis”) tetap ada yang mendera hati tokoh lelaki. Yaitu, sanggupkah
ia memenuhi undangan perempuan itu datang ke rumah, bertemu suami si
perempuan yang tak lain sahabatnya, pada siapa dia dulu pernah berucap
tak akan mengecewakan perempuan itu?
Di kumpulan ini ada cerpen yang terkesan mirip, pun nama tokoh,
namun itu kiranya lumrah. Karena seperti banyak kumpulan cerpen (pun
kumpulan cerpen saya), cerpen-cerpen Sutirman Eka Ardhana dipublikasikan
terlebih dulu di media berbeda, sebelum hadir dalam wujud buku; sebuah
kumpulan, yang menyiratkan kearifan: bagaimana menyikapi sang Waktu yang
dahsyat, ajaib, dan mungkin pula lucu, juga sedap.[]
Adek Alwi, sastrawan dan dosen Politeknik UI, tinggal di Jakarta.
(Dari JournalBali.Com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar