Cerpen Sutirman Eka Ardhana
DESA itu seperti sedang disergap malam. Suara burung gagak di pucuk
pepohonan ikut mencekam. Dan, di kejauhan, di jalanan menuju desa,
sebuah truk menembus gelap malam.
Sekitar duapuluh orang berseragam dan bersenjata lengkap terguncang
di dalam truk. Mereka semua bersiaga. Mata-mata mereka berkeliling, ke
kiri-kanan jalan, ke depan dan belakang truk, bagai mencari-cari
sesuatu yang dicurigai di balik-balik gerumbul semak, di balik-balik
rimbun pepohonan, di balik gelap malam.
Lampu truk itu menyorot tajam ke depan. Cahayanya yang terang seakan
melalap apa saja yang ada di jalan. Mata pengemudinya senantiasa lurus
ke depan, seperti mata elang, seakan tak pernah berkedip sedikitpun.
Akan halnya, di samping sopir truk itu, Sersan Satu Faisal sedang
bergelut dengan perasaan dan kenangannya.
Tujuh tahun lamanya sudah ia tidak pernah melewati jalan ini. Padahal
dulu setiap hari ia melewati jalan ini, pergi dan pulang sekolah.
Setiap hari ia pulang-pergi dari desanya ke kota kabupaten. Dulu, untuk
sampai ke kota, ia memerlukan waktu sekitar satu jam dari desanya,
dengan mengendarai sepedamotor tua.
Sepedamotor tua itu merupakan hadiah dari ayahnya ketika ia naik ke
kelas tiga SMA. Sebelumnya ia harus bersepeda dulu sampai ke desa
tetangga, kemudian menitipkan sepedanya di sebuah warung, baru
melanjutkan perjalanan dengan menumpang angkutan colt penumpang.
Sebagai seorang pendidik, ayahnya sangat berharap agar setamat SMA ia
bisa melanjutkan kuliah sampai ke perguruan tinggi. Tapi harapan
ayahnya tak pernah kesampaian. Dua bulan menjelang tamat SMA, ayahnya
yang merupakan tumpuan keluarga mendadak sakit dan meninggal. Niat untuk
kuliah pun diurungkan.
Ia pun kemudian merubah niatnya. Keinginan untuk kuliah dikuburnya
dalam-dalam. Niat yang kemudian muncul adalah mencari kerja, dan pergi
dari desanya, merantau ke tempat lain untuk mencari pengalaman hidup.
Tangis ibu dan adik perempuan semata wayangnya yang waktu itu masih
duduk di kelas dua SMP tak kuasa membendung tekadnya. Ia tetap pergi.
Dengan berbekal uang hasil penjualan sepedamotor tua miliknya, ia
berangkat ke ibukota provinsi. Di kota provinsi ia berkenalan dengan
seseorang yang berasal dari Semarang, Jawa Tengah. Lelaki separuh baya
yang baru saja menjengguk keluarganya di kota provinsi itu mengajaknya
ikut ke Semarang. Tentu saja ajakan itu diterimanya dengan sukacita.
Jalan untuknya pergi merantau jauh sudah terbuka.
Setelah setahun di Semarang dan tinggal di rumah lelaki yang
mengajaknya itu, ia tertarik pada pembukaan pendaftaran bintara TNI
Angkatan Darat. Kebetulan lelaki yang diikutinya juga memberikan
dorongan agar ia mendaftar. Ia pun mendaftar untuk jadi tentara.
Keinginannya dikabulkan Tuhan. Ia diterima. Ia ditempatkan pada salah
satu batalyon infantri di Jawa Tengah. Pendidikan demi pendidikan
kemiliteran diikutinya. Tanpa terasa sudah enam tahun ia menjadi
tentara, dan kini berpangkat Sersan Satu.
Kini ia kembali ke desa ini. Tapi bukan kembali untuk melepas rindu.
Ia kembali demi tugasnya sebagai militer. Daerah ini, termasuk desa
kelahirannya, sedang menjadi daerah konflik. Ada kelompok perlawanan di
sini. Kelompok perlawanan yang ingin memisahkan diri dengan negara. Dan,
kelompok perlawanan itu harus ditumpas.
Tiba-tiba sebatang dahan kayu roboh dan melintang di tengah jalan.
Sopir truk menginjak rem keras-keras. Sersan Faisal terkejut. Suara
gemuruh dahan kayu yang jatuh dan bunyi rem yang diinjak mendadak telah
membuyarkan lamunannya.
Jalanan jadi gelap. Pekat. Tidak ada setitik sinar pun yang menjatuhkan cahayanya di jalan itu.
Faisal yang diberi tugas menjadi komandan patroli memerintahkan anak
buahnya untuk segera turun dari truk, dan memeriksa apa yang melintang
di jalan. Empat orang bergerak cepat dan taktis ke depan. Sementara
lainnya mengawasi sekeliling.
“Hanya sebatang dahan kayu kering,” seru salah seorang yang bergerak ke depan.
Jalan yang menuju ke desa itu seperti tidak punya suara kehidupan.
Satu-satunya yang terdengar hanya deru mesin truk yang memecah sunyi
malam.
Di jok truk, Faisal kembali dilamun masa lalu. Membayang wajah ibu
dan adik perempuannya, Nuraini. Wajah yang bertahun-tahun
dirindukannya. Ia pun digelisahkan dengan beragam kata-kata di dalam
hatinya. Pasti Emak sudah semakin tua. Semakin renta. Dan Nuraini, tentu
sudah gadis dewasa. Bahkan mungkin sudah bersuami.
Kemudian membayang pula wajah Rohana. Membayang senyumnya yang
lembut. Membayang tatap matanya yang teduh. Rohana, gadis sedesanya yang
manis, tempat hati dan cinta remajanya ditambatkan. Gadis yang sudah
memaut hatinya sejak kelas dua SMA. Sekitar dua tahun ia menjalani
hari-hari penuh cinta dengan Rohana, sampai akhirnya ia berangkat ke
Jawa.
Faisal ingat, ketika ia berpamitan akan merantau dulu, Rohana
menangis terisak-isak. Menangis sedih. Menangis pilu. Wajahnya basah
oleh air mata. Dan, isaknya sungguh mengharukan. Sampai-sampai ia pun
ikut meneteskan air mata.
“Kalau Bang Faisal pergi, bagaimana dengan Rohana? Bagaimana dengan
diri Rohana, Bang?” kata Rohana ketika itu di antara isak-isak
tangisnya.
“Sudahlah Ana, jangan menangis. Abang mau pergi merantau. Mau pergi
merubah nasib di rantau orang. Jagalah diri Ana baik-baik,” Faisal ingat
kata-kata inilah yang dulu diucapkannya kepada Rohana.
Ah, Rohana, bagaimana dia sekarang? Apakah dia masih seperti dulu?
Masih setia menunggu? Atau sekarang, sudah ada lelaki lain yang menjadi
pendamping hidupnya? Faisal digelisahkan beruntun tanya di hatinya.
Pratu Hamdan yang mengemudikan truk agak memperlambat laju truk.
“San, kita sudah memasuki kawasan pemukiman penduduk,” kata Hamdan
seraya kakinya memijak rem karena jalanan di depan dilihatnya
berlubang-lubang.
Faisal tersentak. Kata-kata Hamdan itu telah menyadarkannya dari
lamunan panjang. Ia melihat ke kiri dan kanan jalan. Rumah-rumah
penduduk yang disaput gelap terlihat sedang dipagut sunyi.
“Mengapa desa ini jadi begini sunyi? Mengapa jadi sunyi sekali?
Padahal hari masih sore, belum terlalu malam lagi. Ah, desa ini seperti
tidak berpenduduk saja,” Faisal seperti berkata dengan dirinya sendiri.
“Bukankah beberapa hari lalu ada penghadangan dan kontak senjata di
sini. Dan, beberapa penduduk desa ini ikut jadi korban, tertembak. Di
antara korbannya, ada dua orang perempuan,” ujar Hamdan.
Faisal terhenyak.
“Jangan-jangan kedua perempuan itu Emak dengan Nuraini. Atau Rohana……”
Faisal dicabik gelisah. Gelisah yang dahsyat. Sementara di kejauhan terdengar lagi suara burung gagak mengoyak malam.***
(Pembuka dari sebuah kisah - 2012)
(Dimuat tabloid TeRAS edisi minggu terakhir November 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar