Bhatara Kala, Sang Penyebab
Zaman Edan
Zaman Edan
MASA-MASA
sulit dan penuh beragam persoalan seperti yang terjadi sekarang ini dipandang
oleh sejumlah pihak sebagai “zaman edan”. Karenya tidak sedikit para pelaku
spiritual, atau para “kasepuhan”
menyatakan, untuk bisa terbebas dari kungkungan “zaman edan” tersebut maka
negeri ini harus segera diruwat.
Dalam jagad
pewayangan, Bhatara Kala merupakan tokoh yang selalu diidentikkan dengan zaman
edan, zaman yang penuh kesemerawutan dan kehancuran. Karena itulah di dalam cerita
pewayangan dikisahkan sejak awal kelahirannya, Bhatara Kala sudah
memporak-porandakan jagad raya. Tidak hanya dunia mayapada yang tergoncang
dilanda bencana gempa bumi besar, tetapi juga jagad marcapada atau kayangan
tempat bersemayamnya para dewa bagai terkena gempa yang teramat dahsyat.
Kelahiran
Bhatara Kala itu membuat dunia dan kayangan jadi gonjang-ganjing, kepanikan dan
ketidakstabilan terjadi, bencana dan penyakit seperti mewabah di banyak tempat.
Dunia dan kayangan mengalami kehidupan yang semerawut dan serba tidak teratur.
Kenapa kelahiran Bhatara Kala menyebabkan dunia dan kayangan mengalami
malapetaka yang dahsyat itu?
Buah Nafsu
Bhatara Kala
sesungguhnya putera dewa kenamaan penguasa kayangan, Bhatara Guru atau Bhatara
Manikmaya, dari perkawinannya dengan Dewin Umayi. Ia merupakan anak bungsu dari
enam bersaudara. Saudara-saudaranya yang lain terdiri dari Bhatara Sambo,
Bhatara Brahma, Bhatara Indra, Bhatara Bayu dan Bhatara Wisnu. Sealin itu
Bhatara Kala juga mempunyai tiga saudara lagi dari lain ibu (Dewi Umarakti)
yakni Bhatara Cakra, Bhatara Mahadewa dan Bhatara Asmara.
Sekalipun ia
berstatus dewa, tapi wujud Bhatara Kala sangat jauh berbeda dengan
saudara-saudaranya yang lain. Sedikit pun tidak ada kesan kelemah-lembutan dari
wujudnya. Ia dilahirkan dengan wujud raksasa yang berperilaku dan berwatak
gandarwa.
Dikisahkan, kelahiran Bhatara
Kala dikarenakan Bhatara Guru tak mampu mengendalikan nafsu birahinya setelah
menyaksikan ada gandarwa yang wajahnya seram dan menakutkan memperkosa peri.
Ketika itu
Bhatara Guru sedang dalam perjalanan di marcapada bersama Bhatara Narada. Dalam
perjalanan itulah ia menyaksikan peristiwa pemerkosaan terhadap peri yang
dilakukan gandarwa secara brutal. Sang peri menolak keinginan gandarwa, tapi
gandarwa tak peduli. Ia terus memaksa. Peri memberontak. Terjadilah pergumulan
yang seru. Sekali pun sang peri melakukan perlawanan sekuat tenaganya, tapi
pertahanannya runtuh juga. Sang peri tak kuasa melawan kekuatan gandarwa yang
sudah terbakar api nafsu birahi itu. Gandarwa berhasil memperkosa peri,
sekalipun wajah dan tubuhnya luka berdarah terkena cakaran kuku peri yang
tajam.
Peristiwa
pemerkosaan terhadap peri itu ternyata sangat membekas di hati Bhatara Guru.
Bayangan geliat tubuh peri yang meronta-ronta dalam paksaan dan dekapan
gandarwa itu seakan tak pernah lepas dari natanya. Jiwa dan perasaannya
benar-benar sudah terpengaruh. Sekali pun ia seorang dewa yang dihormati, tapi
pengaruh dari peristiwa perkosaan yang dilihatnya itu tidak mampu ditepis dan dibuang
dari dalam jiwanya.
Bahkan
setibanya kembali di kayangan, rasa birahinya yang terpengaruh perilaku
gandarwa saat memperkosa peri itu semakin memuncak. Tanpa membuang waktu lagi,
Bhatara Guru langsung masuk ke kamar isterinya, Dewi Umayi. Saat itu di dalam
kamar, Dewi Umayi sedang terlentang di atas tempat tidur dengan tanpa sehelai
kain pun menutupi tubuhnya, dikarenakan ia memang sedabg kegerahan akibat udara
panas yang menyengat di kayangan.
Kondisi Dewi
Umayi seperti itu semakin membuat nafsu birahi Bhatara Guru menyala-nyala.
Apalagi saat itu dilihatnya pula rambut isterinya yang tergerai panjang,
spontan ingatannya tertuju lagi kepada sang peri yang rambutnya juga tergerai
panjang saat digagahi gandarwa. Tentu saja Dewi Umayi terkejut melihat perilaku
suaminya yang aneh dan tidak seperti biasanya itu. Apalagi, biasanya Bhatara
Guru terlebih dulu mengetuk pintu kamar sebelum masuk. Tapi kali itu tidak. Ia
masuk begitu saja. Terlebih lagi mata dan wajah Bhatara Guru menyala-nyala
merah terbakar nafsu birahi.
Tanpa rayuan,
Bhatara Guru langsung menubruk isterinya. Dewi Umayi benar-benar terkejut. Ia
mencoba menghindar. Tapi usahanya tak berhasil. Dewi Umayi mencoba berkata
halus dan lembut meminta Bhatara Guru untuk mandi dan membersihkan diri
terlebih dulu, karena baru saja pulang dari bepergian jauh.
Tapi
peringatan isterinya itu tidak ditanggapi Bhatara Guru. Ia benar-benar sudah
terbakar api nafsu birahi, sehingga lupa jika dirinya adalah dewa terhormat,
penguasa jagad raya, panutan manusia di dunia maupun dewa di kayangan.
Mata dan
pandangannya sudah gelap. Tak ada lagi kelemah-lembutannya. Tidak ada lagi
kehalusan perilakunya sebagai dewa, yang ada hanya nafsu dan
kesewenang-wenangan. Akhirnya, Dewi Umayi pun tak kuasa menolak. Sekali pun ia
melawan dan meronta, namun kemudian ia pun jadi ajang pelampiasan nafsu birahi
Bhatara Guru yang tergoda perilaku gandarwa saat memperkosa peri.
Keduanya
saling mengumpat. Umpatan-umpatan itu membuat mereka berubah jadi raksasa.
Ketika berubah jadi raksasa, nafsu Bhatara Guru semakin tak terkendali lagi.
Mereka berdua terlibat perkelahian seru. Tapi Dewi Umayi tetap kalah, sehingga
akhirnya hubungan seks itu pun terjadi.
Buah dari
hubungan seks penuh paksaan adalah mengandungnya Dewi Umayi. Kandungan itu
kemudian melahirkan seorang bayi raksasa yang diberi nama Bhatara Kala.
Kelahirannya telah membuat hancur dan porakporandanya tatanan kehidupan dan
mayapada dan kayangan.
Itulah zaman
edan. Zaman kehancuran dan porak-porandanya tatanan kehidupan di dunia dan kayangan.
Dan, semua itu terjadi, karena kemunculan Bhatara Kala. Sehingga ada yang
menyebut bahwa Bhatara Kala adalah ‘penguasa’ di zaman edan. ***
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar