“Kunjarakarna” Uraikan
Siksaan di Neraka
SALAH satu buku atau kitab Jawa kuno yang populer di zamannya adalah
kitab “Kunjarakarna”. Kitab yang ditulis dalam bentuk kakawin atau tembang ini
ditulis pada masa Kerajaan Kediri
diperintah oleh Dharmawangsa (991 – 1016). Seperti banyak buku atau kitab Jawa
kuno lainnya di masa itu, di kitab ini tidak diketahui siapa nama sang pujangga
atau penulisnya. Sang pujangga hanya menyebut dirinya sebagai “kadi ngwang
adusun”, yang artinya pujangga atau penulis dari dusun.
“Kunjarakarna” buah karya pujangga yang rendah hati itu di masanya tentu
layak dikategorikan sebagai sebuah karya buku yang spektakuler. Betapa tidak.
Buku atau kitab ini, berbeda dengan kebanyakan kitab karya lainnya. Kitab ini
membahas dan menguraikan tentang “apa dan bagaimana’ dengan neraka.
Di dalam ajaran-ajaran agama selalu ditemukan kata-kata tentang sorga dan
neraka. Sorga adalah tempat untuk manusia yang semasa hidupnya selalu beriman
dan patuh dengan ajaran-ajaran agamanya. Sedangkan neraka adalah sebaliknya.
Neraka dikhususkan untuk manusia yang tidak beriman dan menolak kebenaran
ajaran agama Allah.
Dengan kata lain, sorga adalah suatu tempat yang paling menyenangkan dan
penuh keindahan. Sementara neraka adalah tempat yang paling tidak menyenangkan, sangat
menyakitkan, tempat menjalani siksaan atau hukuman bagi orang-orang yang semasa
hidupnya selalu berbuat kejahatan, mengingkari agama dan lain-lainnya yang
serba buruk.
Neraka yang mengerikan, menakutkan, dan tempatnya menjalani siksaan, atau
tempatnya Tuhan memberikan hukuman kepada orang-orang yang semasa hidupnya tak
pernah mengindahkan ajaran-ajaran agama itulah yang diuraikan di dalam kitab
“Kunjarakarna”.
Imajinasi sang pujangga atau penulis kitab ini memang sungguh luar biasa.
Ia telah membawa pikiran, jiwa dan rasa segenap pembaca kitab ini ‘melesat
jauh’ untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya ‘alam neraka’ yang sangat
mengerikan dan penuh siksaan itu. Para pembaca di masa itu telah dibawa oleh
sang pujangga untuk menyelusup se dalam-dalamnya ke ‘alam neraka’, guna
mengetahui bagaimana sesungguhnya yang ada dan terjadi di sana. Misalnya, ragam atau bentuk siksaan apa
saja yang ada, dan kenapa siksaan-siksaan yang mengerikan dan sangat pedih itu
diberikan.
Membersihkan Diri
Seperti kebanyakan kitab Jawa kuno lainnya di masa itu, “Kunjarakarna”
juga berangkat dari latar belakang cerita dunia pewayangan. Dikisahkan oleh
sang pujangga, tentang kisah perjalanan raksasa Kunjarakarna yang ingin merubah
dirinya menjadi manusia.
Perubahan jati diri raksana menjadi manusia seperti yang diinginkan oleh
Kunjarakarna itu ternyata tidaklah mudah. Sesakti apa pun atau sehebat apa pun
ilmu yang dimiliki Kunjarakarna, tapi untuk merubah dirinya agar bisa menjadi
manusia biasa bukanlah sesuatu yang mudah.
Tapi sebagai raksasa yang sudah bertekad bulat untuk meninggalkan
kehidupannya sebagai raksasa, Kunjarakarna tak pernah putus asa. Ia pun lalu
bergegas menemui Sang Bhatara Wairocana
yang berada di kayangan. Di hadapan Bhatara Wairocana, sambil
terisak-isak menangis Kunjarakarna menyampaikan keinginannya untuk meninggalkan
kehidupannya sebagai raksasa dan berganti dalam kehidupan sebagai manusia.
Kehidupan sebagai raksasa membuatnya menjadi berwatak seperti setan,
selalu berbuat kerusakan dan kejahatan. Kunjarakarna mengaku, dirinya tak
sanggup lagi menjalani kehidupan seperti itu. Ia ingin menjalani kehidupan baru
yang serba damai, tenteram, penuh kesabaran, penuh kelembutan, terhindar dari
perbuatan yang penuh keangkaramurkaan.
Pada mulanya Sang Bhatara Wairocana terkejut dan heran dengan kedatangan
Kunjarakarna. Karena tidak pernah ada raksasa yang mau bersimpuh dan menangis
tersedu di depan Dewa. Tetapi hal yang tak pernah terjadi itu telah terjadi di
hadapannya. Raksasa Kunjarakarna bersimpuh dan menangis di depannya, meminta
agar dirubah menjadi manusia.
Setelah meyakini bahwa keinginan Kunjarakarna itu memang tulus keluar
dari dalam hati sanubarinya, Bhatara Wairocana pun kemudian menyatakan
kesediaan dirinya untuk membantu. Tapi caranya tidak mudah. Ada ‘syarat laku’ cukup berat yang
harus dijalani oleh Kunjarakarna. Salah satu syaratnya, Bhatara Wairocana
meminta Kunjarakarna menemui Bhatara Yama Dipati di Tegal Petrabhuwana
untuk membersihkan diri atau meruwat
diri.
Tanpa membuang waktu, Kunjarakarna pun bergegas menemui Yama Dipati di
Tegal Petrabhuwana. Tegal Petrabhuwana adalah suatu tempat untuk para arwah
manusia yang semasa hidupnya selalu melakukan kejahatan dan keangkaramurkaan
menjalani hukuman siksaannya. Tegal Petrabhuwana ini adalah tempat yang bernama
neraka itu. Setelah bertemu dengan Bhatara Yama Dipati, Kunjarakarna pun
kemudian menjalani ruwatan atau pembersihan diri di Tegal Petrabhuwana.
Apa yang dialami atau diperolehnya selama mengikuti pembersihan diri di
Tegal Petrabhuwana itu merupakan balasan atau hukuman dari apa yang telah
dilakukannya selama menjalani kehidupan sebagai raksasa. Dan, Kunjarakarna
menjalani semua proses ‘hukuman’ di Tegal Petrabhuwana itu, demi niat dan
kesungguhan hatinya untuk menjadi manusia yang bersih dan jauh dari
keangkaramurkaan.
Siksaan Panjang
Di dalam buku atau kitab “Kunjarakarna” dijelaskan betapa panjangnya
siksaan yang diterima oleh para pendosa di neraka. Ada tingkatan hukuman. Tingkatan hukuman itu
misalnya lama hukuman atau siksaan bagi pendosa yang mencapai 1,8 miliar tahun.
Siksaan itu akan dialami sepanjang hari tanpa henti. Raungan dan jeritan tangis tidak akan pernah bisa
menghentikan siksaan maha pedih itu.
Sang pujangga di dalam “Kunjarakarna” menguraikan pula tentang ragam
kejahatan yang dibaginya dalam duapuluh jenis. Masing-masing jenis kejahatan
itu mempunyai bentuk hukuman yang berbeda satu sama lain. Di antaranya ada dua
jenis yang masuk kategori terberat, yakni kejahatan anidya paradrwya dan
anidra parawadha.
Mereka yang termasuk sebagai pelaku kejahatan anidya paradrwya
adalah yang semasa hidupnya suka memiliki atau menguasai harta milik orang lain
dengan cara melawan hukum, seperti perampok, pencuri, dan tentu juga termasuk
para koruptor. Sedangkan yang masuk jenis kejahatan anidra parawadha
adalah mereka yang semasa hidupnya bergelimang dengan kejahatan seksual.
Misalnya memperkosa, terlibat perdagangan seks, berselingkuh, suka mengganggu
isteri atau suami orang lain, dan lainnya lagi.
Mau tahu apa hukuman atau siksaan yang dialami oleh mereka yang masuk
dalam kategori pelaku kejahatan anidya paradrwya? Di dalam “Kunjarakarna”
disebutkan, di dalam neraka hukuman yang akan diterima antaralain tubuhnya
dipotong-potong dengan gergaji besi yang teramat panas. Bayangkan, bagaimana
jerit raung saat tubuh digergaji. Tak terbayang bagaimana sakitnya. Potongan
tubuh itu disatukan kembali, lalu digegerjai lagi. Begitu seterusnya
berulang-ulang.
Sedang bagi yang masuk dalam kategori anidra parawadha, di dalam neraka
mereka akan mendapat hukuman dihimpit batu sebesar gunung, tubuhnya akan
ditusuk-tusuk tombak api dan digulung lempengan tembaga panas membara. Sungguh
mengerikan. *** (Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar