“Cipto Waskito”
Ajaran Jawa yang Penting bagi Politikus
KERAJAAN-kerajaan di Jawa, sejak zaman Mataram Kuno, Majapahit hingga
Mataram (Yogyakarta dan Surakarta)
kaya akan para pemikir kehidupan atau pujangga. Para
pujangga yang besar dan terkenal di zamannya itu telah menghasilkan karya-karya
besar yang sulit tertandingi hingga kini. Dan, tidak sedikit di antara para
pujangga itu adalah para raja itu sendiri.
Sri Susuhunan Paku Buwono IV, raja di Keraton Surakarta, merupakan salah seorang raja yang
juga menjadi pujangga. Salah satu karya besar darinya adalah “Cipto Waskito”. Cipto Waskito merupakan
karya agung dari Sri Susuhunan Paku Buwono IV yang berbentuk serat atau puisi. Buah
karya dari raja di Keraton Surakarta ini benar-benar sarat dengan ajaran
falsafah hidup manusia. Ajaran-ajaran kehidupan di dalamnya penuh dengan
tuntunan bagi kehidupan manusia dalam menuju ke arah kesempurnaan hidup.
Menurut Ki Hudoyo Doyodipuro Occ yang telah ‘mewedarkan’ atau
menterjemahkan Serat “Cipto Waskito” ke Bahasa Indonesia, falsafah dan tuntunan
bagi manusia dalam menjalani hari-hari kehidupan menuju kesempurnaan hidup yang
hakiki tersebut terurai jelas di dalam bait demi baitnya. Seperti tuntunan
dalam memilih guru, pengertian tentang Ilmu dan Ngelmu, pemahaman tentang
Bawana Ageng dan Bawana Alit. Terurai juga pengertian tentang Ngelmu Mistik
Terapan dalam kehidupan sehari-hari, syarat-syarat khusus bagi calon penghayat
Ngelmu Mistik, tentang Rahasia Rasa Sejati serta peran empat warna dalam
kehidupan.
Tentang memilih guru di dalam Serat “Cipto Waskito” antaralain diuraikan
bahwa siapapun harus mempelajari dan mengenal suatu syarat mutlak untuk
menentukan seseorang apakah pantas atau tidak untuk diangkat sebagai guru.
Karena guru itu adalah seseorang yang akan menjadi narasumber dari ilmu-ilmu
yang akan kita pelajari.
Guru yang dimaksud bukan hanya para pengajar di sekolah, perguruan tinggi
atau padepokan-padepokan, tetapi juga termasuk di dalamnya para politikus,
tokoh atau elit-elit politik, tentu juga para wakil rakyat di lembaga
legislative, yang menjadi tumpuan dan harapan rakyat. Serat “Cipto Waskito” mengajarkan kita agar
mencari guru yang berilmu tinggi, karena ilmu akan membuka jalan kemandirian
“di sini dan di sana”.
Rahasia Hidup
Para politikus atau kader-kader partai politik yang kini sedang sibuk dengan
aktivitas politiknya, baik sebagai pimpinan atau pengurus partai maupun sebagai
anggota legislatif, baik DPRD Kota/Kabupaten, DPRD Provinsi, bahkan sampai DPR
RI perlu mempelajari Serat “Cipto Waskito” ini. Karena Cipto Waskito juga
memesankan agar manusia yang pandai itu harus benar-benar mengetahui rahasia
hidup ini, rahasia lahir maupun batin. Atau “kamuksan sandi sastra” kata bijak
yang menjurus sempurnanya ilmu pengetahuan. Sempurnanya ilmu pengetahuan, bagi
pemiliknya adalah manusia yang dapat menempatkan diri di manapun “kanggo ing
kene-kana (berguna di sini dan di sana).
Namun serat “Cipto Waskito” itu juga mengingatkan kepada kita yang sedang
menggandrungi suatu ilmu atau ngelmu, untuk tidak terperosok menjadi gandrung
kepada gurunya. Sebab bila terjadi hal seperti itu maka keadaannya akan menjadi
lain. Tujuan untuk mendapatkan ilmu menjadi sirna, karena perhatian kita hanya
tercurah kepada kekaguman terhadap sang guru tersebut. Gandrung atau cinta yang dimaksudkan adalah
yangh identik dengan seks, bukan cinta murid dengan guru seperti cinta anak
kepada orangtuanya.
Serat itu pun mengingatkan, agar kita waspada karena untuk mencapai suatu
tujuan haruslah menempuh jarak. Seperti dijelaskan Ki Hudoyo Doyodipuro,
ibaratnya orang akan memasuki pintu, dari terik matahari yang menyengat. Pintu
itu adalah gerbang ilmu. Setelah daun pintu terbuka, maka kita masuk dan lubang
pintu itu kita lewati begitu saja. Kita terus masuk dan lubang pintu yang kita
lihat tadi kita tinggalkan.
Satu hal yang terpenting, serat “Cipto Waskito” mengajak kita untuk paham
bahwa belajar ilmu dan ngelmu ibarat orang menimba di sumur. Kalau sumur itu airnya
keruh, maka keruh pula air yang kita timba. Kalau sumur itu sumber atau mata
airnya kurang, maka sedikit pula kita mendapatkan air. Tetapi kalau mata airnya
besar dan jernih, tak akan habis-habisnya kita timba dan jernih pula air yang
didapatkan. ***
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar