Bima, Satria Pembela Kebenaran
KETIKA
kebenaran tidak lagi menjadi pegangan dan panutan, serta manakala kebenaran
telah dikesampingkan dan dipandang sebagai sesuatu yang layak untuk
dikesampingkan, maka kita akan merasakan suatu kehidupan di padang sabana yang gersang. Kita pun akan
merasakan suatu kemarau panjang dan dahaga yang mencekik di kerongkongan. Kita
tersiksa. Kita terkekang. Kita menderita.
Dalam kondisi ketakberdayaan seperti itu kita pun lalu merindukan dan
berharap munculnya seorang ‘satria pembela dan penegak kebenaran’. Kita
berharap akan muncul seseorang yang dengan gagah berani, berjuang tanpa pamrih,
membela dan menegakkan kembali kebenaran pada hakekat dan eksistensinya sebagai
pegangan kehidupan manusia.
Di dalam jagad pewayangan, tokoh yang selalu disebut sebagai ‘satria
pembela dan penegak kebenaran’ itu adalah Bima. Dia seorang satria Pandawa,
yang merupakan putera kedua dari Prabu Pandudewanata dan Dewi Kunti.
Bima mempunyai sejumlah nama lainnya, di antaranya Werkudara, kemudian
Wijasena yang berarti pelindung keselamatan keluarga (bangsa), dan Kusumayudha
atau pahlawan perang yang tak pernah gentar menghadapi musuh yang angkaramurka.
Kenapa Bima menyandang nama harum sebagai seorang kesatria pembela dan
penegak kebenaran? Dalam berbagai lakon pewayangan, Bima selalu ditampilkan
sebagai tokoh yang tak pernah kompromi dengan keangkaramurkaan, kemunafikan,
kelicikan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan.
Bima senantiasa tampil sebagai kesatria yang mendobrak atau melawan
kebathilan. Ia merupakan tokoh yang sepanjang perjalanan hidupnya diabdikan
untuk melawan kebathilan dan ketidak-adilan. Sekali pun ia sadar, bahwa apa
yang dilakukannya itu mungkin mengandung resiko besar dan berbahaya bagi
dirinya.
Apa pun resiko dan bahaya yang dihadapi, asalkan itu semua demi
keselamatan keluarga (bangsa), Bima tak pernah gentar menghadapinya. Bima
sangat gandrung dengan kebenaran dan keadilan, karenanya ia tidak pernah diam
manakala menyaksikan kesewenang-wenangan, kebathilan dan ketidak-adilan terjadi
di sekitarnya.
Sejak Kecil
Sifat kesatria yang tangguh sudah dimiliki Bima sejak ia masih kecil.
Lakon pewayangan “Bima Bungkus” misalnya, menceritakan bagaimana keperkasaan
dan keberanian Bima ketika masih kecil dalam menghadapi musuh negara Astina
yang datang menyerang.
Di saat kerajaan Astina dan keluarga Pandawa sedang berduka karena
wafatnya Prabu Pandudewanata, ayah para Pandawa, tiba-tiba datang serangan
secara serentak dari dua kerajaan. Kedua kerajaan yang menyerang itu
masing-masing Kerajaan Garbasumanda dengan rajanya Prabu Kaladaksa dan Kerajaan
Paranggubarja dengan rajanya Prabu Kalagubarja.
Sekali pun waktu itu ia masih kecil, tapi Bima sadar bahwa serangan dari
dua kerajaan itu sangat mengancam keselamatan dan eksistensi keluarga atau
bangsanya. Jika serangan musuh itu berhasil, maka yang akan terjadi kemudian
adalah kesewenang-wenangan,
keangkaramurkaan dan ketidakstabilan. Bila itu terjadi, maka yang akan
menanggung akibatnya adalah rakyat. Rakyat Astina tentu akan mengalami suatu
penderitaan karena berada dalam penindasan, tekanan dan ketidakbebasan.
Pikiran kanak-kanaknya sudah menyatakan ketidaktegaannya melihat hal
semacam itu terjadi. Karena itulah ia kemudian bertekad untuk melakukan upaya
apapun untuk mengusir para musuh penyerang tersebut. Ia telah bertekad untuk
berjuang sampai titik darah penghabisan membendung laju serangan para musuh
yang akan menciptakan ketidakstabilan dan keangkaramurkaan.
Bima sungguh luar biasa. Prabu Kaladaksa dan Prabu Kalagubarja langsung
dihadapinya sendiri. Semula banyak yang mengkhawatirkan kemampuan ‘si kecil’
Bima dalam menghadapi kedua musuh yang perkasa itu. Tetapi Bima sudah tidak
peduli. Ia bertekad akan melakukan apa pun untuk mengusir musuh-musuh bangsa
dan negaranya.
Bima melawan habis-habisan. Akhirnya, dengan senjata kuku sakti yang
dimilikinya, yakni kuku Pancanaka, Bima berhasil mengalahkan kedua raja perkasa
itu. Kedua pimpinan para penyerang itu tewas. Dengan tewasnya Prabu Kaladaksa
dan Prabu Kalagujarba di tangan Bima itu, maka kerajaan Astina, segenap
keluarga Pandawa dan rakyat terhindar dari malapetaka kehancuran. Kebathilan
dan ketidak-adilan yang nyaris terjadi dan dialami oleh rakyat Astina dapat
terhindar. Kebenaran telah mengalahkan segala-galanya.
Lakon-lakon lainnya, seperti lakon “Bale Sigala-gala”, “Dewa Ruci”, “Bima
Palakrama”, “Pandawa Timbang”, “Kangsa Adu Jago”, “Babad Alas Mertani” dan
“Bondhan Paksa Jandhu” juga sarat dengan gambaran betapa Bima tidak pernah mau
berkompromi dengan kebathilan dan ketidak-adilan.
Bima benar-benar tokoh atau figur dambaan. Terlebih-lebih ketika kita
sedang berada dalam suatu tatanan kehidupan yang penuh ketidakpastian,
keputus-asaan karena kebathilan, ketidak-adilan, kesewenang-wenangan,
keangkaramurkaan dan korupsi semakin merajalela, maka tokoh seperti Bima
benar-benar kita harapkan kedatangannya.
Persoalannya sekarang, di saat Bhatara Kala dan dajjal sedang
gencar-gencarnya mencengkeramkan ‘kuku dan taringnya’ untuk merusak,
melemahkan, memporak-porandakan dan menterpurukkan kita ke dalam
ketakberdayaan, tokoh seperti Bima yang didambakan hanya muncul dalam
angan-angan dan khayalan semata.
Dalam ketakberdayaan seperti ini, seharusnya kita tak pernah berhenti
berdoa dan berharap agar, agar segera datang kesatria gagah perkasa pembela dan
penegak kebenaran yang mampu mengusir Bhatara Kala dan dajjal. Kita benar-benar
berharap datang tokoh Bima yang bisa membela dan menegakkan kebenaran serta
melawan kebathilan maupun ketidak-adilan di negeri ini. ***
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar