Cerpen:
Sutirman Eka Ardhana
PESANTREN tempatku belajar
mengaji Al-Quran setiap sore itu sebenarnya lebih pantas disebut sebagai
madrasah biasa. Bangunannya sederhana, tidak terlalu besar, dan ruangannya pun
hanya ada tiga lokal. Setiap lokal idealnya hanya untuk 35 sampai 40 orang.
Tapi kenyataannya, di pesantrenku, setiap lokal dijejali murid atau santri
sampai 50 orang lebih. Pengajarnya pun
hanya tiga orang, Ustadz Nurdin dibantu isterinya, Ustadzah Syarifah, dan
Ustadz Maksum.
Di
kampungku, Pesantren Al-Islam itu satu-satunya sekolah agama. Para
santri di pesantren ini hanya diberi pelajaran tentang agama. Tentu saja
pelajaran-pelajaran yang berkaitan dengan Islam. Seperti membaca Al-Quran,
tafsir Al-Quran, pengetahuan tentang hadist, fiqih, tarikh, dan lainnya.
Selama
bulan Ramadhan, kegiatan di pesantren berlangsung sampai malam hari. Ada buka puasa bersama,
dilanjutkan sholat tarawih berjamaah yang diisi pula dengan ceramah-ceramah
keagamaan, serta tadarus Al-Quran.
Menurut
cerita beberapa tetua di kampung, dulu, setelah mendengar banyak cerita tentang
pesantren di Jawa, orang-orang di kampungku pun rindu punya pesantren.
Karenanya, ketika ada yang mendirikan sekolah agama, warga kampung
beramai-ramai sepakat menyebutnya sebagai pesantren. Mereka tak mau menyebutnya
hanya sebagai madrasah.
Seperti
pernah diuraikan Ustadz Nurdin, kalau di Jawa, yang dinamakan pesantren atau
seringpula disebut pondok pesantren adalah suatu komplek yang di dalamnya tidak
hanya terdapat bangunan untuk mengaji saja, tetapi juga terdapat masjid, rumah
kyai, dan asrama para santri. Bahkan terdapat juga warung-warung yang
menyediakan berbagai macam kebutuhan santri.
Tetapi
di komplek pesantrenku yang sederhana itu, yang ada hanyalah bangunan untuk belajar
mengaji dan sebuah surau. Tak ada rumah kyai. Tak ada asrama santri. Rumah
Ustadz Nurdin berada di luar komplek pesantren. Jaraknya dari pesantren sekitar
500 meter. Biasanya, dari rumahnya yang tak terlalu jauh itu, Ustadz Nurdin
berangkat ke pesantren dengan mengayuh sepeda.
Sedang
para santri, hampir seluruhnya berasal dari kampungku yang tempat tinggalnya
masih berdekatan dengan komplek pesantren. Hanya ada beberapa santri saja yang
berasal dari kampung tetangga.
“Kalau
di Jawa, santri-santri seperti kalian ini namanya santri kalong,” kata Ustadz Nurdin suatu ketika di depan para
santri.
“Santri
kalong? Santri apa itu, Ustadz?” aku mencoba memberanikan diri bertanya.
“Santri
di pondok pesantren itu biasanya terbagi dalam dua kelompok, yakni santri mukim dan santri kalong. Santri mukim itu sebutan untuk para santri yang
tinggal atau menetap di asrama santri yang ada di pesantren. Biasanya, santri
mukim ini berasal dari kampung-kampung atau daerah-daerah yang jauh dari lokasi
pondok pesantren. Sedang santri kalong adalah santri-santri yang berasal dari
kampung-kampung di sekitar pesantren, yang bolak-balik dari rumahnya ke
pesantren, dan tidak tinggal di asrama santri,” jelas Ustadz Nurdin.
“Kenapa
disebut kalong, Ustadz? Padahal, kalong kan
sejenis dengan kelelawar yang binatang malam itu?” tanyaku lagi.
Para santri lainnya tertawa mendengar
pertanyaanku.
“Saya
sendiri pun sampai hari ini masih belum tahu, kenapa santri-santri yang tidak
tinggal di pesantren disebut santri kalong,” jawab Ustadz Nurdin seraya
tersenyum.
Sejak
diperkenalkan oleh Ustadz Nurdin, istilah ‘kalong’ dan ‘kelelawar’ menjadi
populer sebagai bahan gurauan di kalangan para santri, terutama santri remaja.
Arifin yang rambutnya keriting misalnya, selalu dijuluki kelelawar keriting. Marwan
yang badannya gelap sering dipanggil kekelawar keling. Dan, santri-santri
perempuan yang cantik, mendapat julukan kelelawar cantik.
***
DAN,
malam ini, ‘kelelawar cantik’ itu berdiri di depanku. Ya, Zamilah yang
‘kelelawar cantik’ itu sudah berada sekitar satu meter di depanku, selang
beberapa menit aku bersama Furqon, teman kentalku, keluar dari surau setelah
selesai mengikuti acara takbiran bersama menyongsong datangnya Idul Fitri esok
pagi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap malam Lebaran tiba, seusai sholat
Isya para santri dipimpin langsung oleh Ustadz Nurdin bersama-sama melantunkan
kumandang takbir.
Furqon
mencuil lenganku, memberi tanda kalau ada Zamilah. Dadaku berdegup ketika
Zamilah tersenyum. Betapa tidak. Baru saja sehabis buka bersama di serambi
surau senja tadi, aku dan Furqon membicarakan dirinya, kini dia sudah berada di
depanku. Tersenyum pula. Senyum itu terlihat jelas, selain karena bantuan
cahaya lampu di teras surau, juga berkat cahaya bulan yang sedang berada persis
di atas surau.
“Ke
mana rencanamu di hari pertama Lebaran besok? Tak ada rencana bersilaturahim ke
rumah Pak Haji Mahmud, ayahnya Zamilah itu?” inilah pertanyaan Furqon sehabis
berbuka tadi.
“Aku
takut, Fur. Nanti aku diusirnya lagi seperti dulu. Kau masih ingat kan, bagaimana malam itu
ia begitu marah kepadaku, hanya karena aku mengantarkan Zamilah pulang dari acara
malam Israq Mi’raj di pesantren,” dan, aku ingat inilah jawabanku tadi.
“Kenapa
kaujadi penakut seperti ini? Kenapa menjadi lemah tak berdaya? Ayo, cinta itu
harus diperjuangkan! Ibaratnya, sekali pun ada lautan api yang menghadang,
kauharus tetap menyeberanginya. Tunjukkan kepada Pak Haji Mahmud itu bahwa kau
benar-benar jatuh cinta pada anak gadisnya, Zamilah itu,” kata Furqon lagi.
Lamunanku
mendadak buyar, dan aku tergagap, ketika tiba-tiba Zamilah berkata, “Kenapa ni,
diam terpaku seperti itu? Terkejutkah dengan kehadiran Milah di sini?”
Aku
pun seketika bagaikan kehilangan kata-kata, tak tahu harus berkata apa.
Seakan-akan di kerongkonganku ada batu tajam yang menyekat, membuat aku seperti
sulit untuk berkata, walau hanya sepatah kata sekali pun. Untunglah Furqon,
cepat memahami hal itu. “Bagaimana tak terkejut, Mil. Kami baru saja
membicarakan tentang Milah. Dia ni menanyakan, kenapa Milah sekarang semakin
sombong……,” ujar Furqon seraya telunjuk jari tangannya tertuju kepadaku.
“Siapa
bilang Milah sombong. Buktinya, sekarang Milah ada di sini. Ada di depan Bang Arman dan Bang Furqon,”
kata Zamilah lembut, dan dalam waktu bersamaan dari cahaya lampu di teras surau,
maupun cahaya bulan di atas surau, terlihat jelas senyumnya juga begitu lembut,
sejuk.
Kegugupanku
mulai reda. Suara degup di dadaku pun terasa kembali beraturan. Aku pun mulai
menyusun kata-kata.
“Mau
ke mana, Milah?” serangkai tanya singkat inilah yang mampu terucap dariku
setelah kegugupan dan degup di dada itu benar-benar mereda.
“Tak
ke mana-mana. Milah sengaja ke sini, mau jumpa Bang Arman,” ucapnya dengan
senyum tak juga hilang.
Aku
terkesiap mendengar kata-katanya. Betapa tidak. Kata-kata yang diucapkannya itu
di luar dugaanku. Ingin jumpa denganku?! Hah, ada apa gerangan? Beruntun tanya seketika muncul di benakku.
Dadaku kembali berdegup. Tapi tidak begitu kencang.
Spontan
aku mengarahkan pandangan ke Furqon. Furqon tampak tersenyum seraya
mengernyitkan mata kirinya.
“Ada apa Milah? Sepertinya
serius betul,” tanyaku sambil menahan degup di dada.
“Tampaknya,
ada hal yang menggembirakan ni…..,” timpal Furqon.
Tak
bisa kupungkiri, dadaku berdegup juga menunggu jawaban Zamilah.
“Bang
Furqon bisa meninggalkan kami sekejap. Milah hanya ingin bercakap berdua dulu
dengan Bang Arman. Setelah selesai nanti, Bang Furqon bisa segera kemari lagi,”
Zamilah kemudian berkata begini kepada Furqon.
“Alahmak,
ada masalah penting dan rahasia rupanya, sehingga orang lain pun tak boleh
tahu,” seru Furqon cepat.
“Sudahlah,
menjauhlah dulu Fur,” pintaku pula.
Seraya
meninggalkan tawa, Furqon pun melangkah meninggalkan kami.
“Ada apa Milah?” tanya ini
kuulang lagi setelah Furqon menjauh.
“Milah
hanya ingin menyampaikan pesan dari Abah,” ujarnya.
“Pesan
dari Abah? Abahnya Milah?”
“Ya,
dari Abah Milah.”
Pesan
apa?! Koq?! Dadaku berdegup lagi.
“Abah
berpesan, agar besok Bang Arman datang ke rumah. Terserah Bang Arman, mau
datang sesudah sholat Ied, siang, petang atau malam,” kata Milah kemudian,
sebelum aku sempat bertanya lagi.
Aku
terdiam sesaat. Pesan Pak Haji Mahmud itu mengejutkan dan menggelisahkanku. Ada apa ini?! Sementara di
sekitar bangunan surau, para santri tampak sibuk mempersiapkan diri untuk pulang.
Di sisi selatan surau, Furqon tampak pula sedang berbincang-bincang dengan
beberapa santri lainnya. Dan, di atas surau, yang juga di atas pesantren, bulan
masih mengirimkan cahaya indahnya.
“Kenapa
Abah berpesan begitu, Mil?! Apa Abah akan memarahi abang lagi?” tanyaku bernada
heran.
“Baiklah,
agar Bang Arman tak penasaran dengan pesan Abah itu. Milah kasi bocoran. Tapi,
bocorannya sedikit saja ya, Bang. Begini, Bang Ar masih ingat ketika sehabis
malam Israq Mi’raj itu, kan?
Ketika Bang Ar dimarahi habis-habisan oleh Abah, gara-gara mengantar Milah
pulang sampai ke depan pintu rumah itu. Nah, ternyata menjelang Ramadhan tiba,
Abah dapat informasi bila Bang Arman mengantarkan Milah pulang malam itu karena
disuruh oleh Ustadz Nurdin, dan bukan karena keinginan Abang sendiri. Tak tahu
siapa yang memberitahu informasi itu. Mungkin juga Ustadz Nurdin sendiri yang
memberitahukannya. Setelah tahu, bahwa Bang Ar mengantarkan Milah karena
menjalankan perintah Ustadzs Nurdin, Abah sepertinya menyesal telah marah sama
Abang. Karena itulah Abah ingin bertemu dengan Bang Arman di saat Lebaran
besok,” jelas Zamilah.
***
PESANTREN
dan juga surau sudah mulai menyepi, tak seramai tadi. Di dalam surau hanya
tinggal lima
orang santri saja. Mereka secara bergantian masih tetap mengalunkan gema
takbir. Zamilah sudah pulang bersama santri-santri putri yang lain, sekitar
setengah jam lalu. Ustadz Nurdin, serta ustadz-ustadz lainnya juga sudah
pulang.
Aku
dan Furqon masih duduk di bangku panjang, di bawah pohon jambu merah, tak jauh
di depan surau. Furqon sesekali menyenandungkan gema takbir dengan lirih.
Sedangkan aku, tak henti-hentinya memandang ke arah bulan, walau posisinya
sudah bergeser, tak lagi tepat di atas surau seperti tadi. Cahaya bulan di
malam Lebaran itu telah mendorong semangatku untuk pagi-pagi sesudah sholat
Idul Fitri segera ke rumah Pak Haji Mahmud, ayahnya Zamilah. Cahaya bulan itu
telah membuat hidupku kembali bergairah. ***
Yogya, Agusus 2012
BIODATA
Sutirman Eka Ardhana, lahir di Bengkalis, Riau, 27 September 1952. Sejak
1972 menetap di Yogyakarta. Menulis cerpen,
puisi dan novel. Karya-karyanya yang sudah terbit di antaranya novel Surau Tercinta (Navila, 2002), Dendang Penari (Gita Nagari, 2003), Gelisah Cinta (Binar Press, 2005), kumpulan
cerpen “Langit Biru Bengkalis” (Surat Emas Pustaka, 2010), kumpulan
puisi Risau (Pabrik tulisan, 1976), Emas Kawin (Renas, 1979), dan
puisi-puisi terhimpun pada sejumlah antologi puisi di antaranya Tugu, Dermaga I, Dermaga II, Merapi
Gugat, Bangga Aku Jadi Rakyat Indonesia, dllnya. *
*** Dimuat Harian "SUARA KARYA", edisi Sabtu, 18 Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar