Selasa, 18 Februari 2014

HUKUM DAN ETIKA JURNALISTIK (2- RINGKASAN)



PERTEMUAN 2
SISTEM PERS INDONESIA

1.     Sistem Pers Dunia
DALAM sejarah perjalanan pers dunia, sejak pertama kali diperkenalkan oleh Kaisar Romawi Julius Caesar melalui media Acta Diurna, disusul munculnya koran pertama di Jerman Avisa Relation oder Zeitung pada tahun 1690 hingga sampai hari ini secara umum dikenal empat sistem pers. Keempat sistem pers yang dikenal luas oleh masyarakat dunia itu terdiri: pers otoriter atau otoritarian (authoritarian press), pers liberal (libertarian press), pers komunis – Soviet (Soviet Communist press) dan pers tanggungjawab sosial (social responsibility press).
Pers otoriter merupakan sistem pers yang tertua. Dalam sistem pers otoriter ini, media pers sama sekali tidak memiliki kebebasan bersikap karena senantiasa berada dalam kungkungan atau belenggu kekuasaan. Peran pemerintah atau penguasa sangat besar, kuat dan dominan dalam perkembangan serta kelangsungan kehidupan pers. Dengan kata lain, pers sama sekali tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk mandiri, melainkan benar-benar tunduk dan patuh pada segala keinginan, kebijakan, ketentuan-ketentuan maupun aturan yang datang dari penguasa. Pemerintah atau penguasa bisa menggunakan bermacam-macam dalih dalam mengatur dan mengawasi pers, di antaranya dalih demi menjaga stabilitas dan keamanan negara.
Pers liberal merupakan sistem pers yang mengedepankan kebebasan media pers dalam menyampaikan pemberitaannya tanpa memiliki keterikatan dengan pengaruh dan ancaman rezim penguasa. Sistem pers ini sangat bertolakbelakang dengan pers otoriter.
Dalam sisten pers liberal ini, pemerintah atau penguasa tidak mempunyai peluang untuk ‘campurtangan’ menggunakan media pers sebagai alat penekan maupun penguat kekuasaan. Di dalam sistem ini, tidak dikenal istilah lembaga sensor. Dengan tidak adanya lembaga sensor, maka pemerintah atau penguasa tidak lagi mempunyai kemampuan untuk mengendalikan serta mengontrol ke mana serta bagaimana arah pemberitaan media pers.
Pers komunis merupakan sistem pers yang berkembang dan dianut di negara-negara berideologi komunis, terutama di negara-negara yang dulu tergabung dalam Uni Soviet. Di dalam sistem pers ini, media pers mempunyai kewajiban untuk mematuhi atau tunduk pada semua langkah dan kebijakan partai (partai komunis) sebagai pengendali serta pemegang kekuasaan negara.
Sedangkan pers tanggungjawab sosial merupakan perkembangan dari sistem pers liberal yang dipandang memiliki kebebasan tanpa batas. Sistem pers ltanggungjawab sosial merupakan pilihan jalan keluar dari kekhawatiran bahwa pers liberal memiliki kebebasan yang tidak jarang mengancam berbagai kepentingan di dalam kehidupan masyarakat.
William A. Hachten misalnya, telah mengemukakan adanya lima sistem atau lima konsep pers. Kelima konsep pers itu: konsep otoritarian, konsep Barat, konsep Komunis, konsep revolusioner dan konsep pembangunan.
Dewasa ini pers Indonesia tidak berpedoman dan tidak menggunakan secara terbuka satu pun dari sistem-sistem pers yang diakui masyarakat pers internasional itu. Karena sejak era Orde Baru lalu, pers di Indonesia telah menggunakan sistem Pers Pancasila.
Sejarah peradaban pers di Indonesia dimulai pada tahun 1744 ketika suratkabar pertama terbit di Hindia Belanda (Indonesia) bernama Batavia Nouvelles. Suratkabar ini terbit di Batavia (sekarang Jakarta) yang waktu itu juga sudah menjadi pusat pemerintahan atau kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Meskipun demikian, periodesasi perjalanan pers di Indonesia baru dapat dimulai dari tahun 1907 yang ditandai dengan terbitnya koran Medan Prijaji. Koran Medan Prijaji ini diterbitkan oleh RM Tirtohadisuryo di Bandung, dengan demikian koran ini merupakan media pers pertama di tanah Hindia Belanda yang diterbitkan atau dimiliki oleh pribumi Indonesia.
Karena koran Medan Prijaji tercatat sebagai media pers pertama yang menyuarakan semangat nasionalisme dan kebangsaan Indonesia di tengah-tengah kekuasaan penjajahan Belanda itu, maka sejak tahun 1907 hingga 1945 disebut sebagai periode Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan. Kemudian periode Pers Kemerdekaan berlangsung sejak tahun 1945 hingga 1950. Disusul periode Pers Liberal sepanjang tahun 1950 sampai 1958, lalu dilanjutkan dengan periode Pers Manipol/Demokrasi Terpimpin yang berlangsung sejak 1958 sampai 1966, dan periode Pers Pembangunan (versi Indonesia) yang kemudian berkembang menjadi Pers Pancasila. Periode ini berlangsung dari 1966 sampai sekarang.
2.     Sistem Pers Kebangsaan
Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang  muncul sejak tahun 1907 hingga 1945 itu mempunyai dinamika dan liku-liku perjalanan yang menarik untuk disimak. Sejak tahun 1907 itulah Pers Kebangsaan berusahaan sekuat daya dan tenaga untuk meletakkan eksistensi dan keberadaannya di tengah-tengah cengkeraman kekuasaan penjajahan. Baik penjajahan kolonial Belanda maupun pendidikan balatentara Jepang.
Media Pers Kebangsaan yang muncul hampir bersamaan dengan kelahiran organisasi-organisasi pergerakan kebangsaan di masa itu tidak hanya sekadar tampil sebagai media pers penyampai informasi, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi salah satu alat perjuangan guna mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bagi segenap bangsa Indonesia. Pers bersama kekuatan-kekuatan pergerakan kebangsaan lainnya saling bahu-membahu menggelorakan semangat kebangsaan mewujudkan Indonesia Raya yang terbebas dari cengkeraman tangan-tangan penjajahan.
3.     Pers Liberal di Indonesia
Setelah kembali menjadi negara kesatuan, pers Indonesia memasuki suatu masa baru yang sebelumnya tidak pernah dialami, yakni masa berlangsungnya sistem Pers Liberal. Sejak tahun 1950 itulah pers Indonesia memasuki masa-masa atau suatu keadaan yang oleh banyak pihak serta tokoh-tokoh pers ketika itu bahkan juga sekarang ini disebut sebagai saat-saat ‘bebas dan leluasa’.
Sistem Pers Liberal yang berkembang di masa-masa itu tidak bisa melepaskan diri dari iklim dan kondisi politik yang sedang berlangsung, terutama seputar persaingan di antara sesama partai politik dalam berebut menanamkan pengaruhnya di masyarakat, maupun demi mencapai tujuan menguasai kekuasaan di dalam pemerintahan.
Apa yang terjadi dan berkembang pada masa-masa sistem Pers Liberal berlangsung di Indonesia pada periode 1950 hingga 1958 itu merupakan fenomena yang menarik dalam sejarah perjalanan pers di Indonesia. Meskipun pers telah mendapatkan kebebasan untuk menyuarakan atau menyampaikan pemberitaannya, namun pemerintah tetap melaksanakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP) yang berkaitan dengan ketentuan pelanggaran pers terhadap hukum.
Sehingga ketika itu tidak sedikit pimpinan-pimpinan media pers yang dihadapkan ke depan persidangan Pengadilan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan di dalam KUHP.
Pada tahun 1958, Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya mengeluarkan suatu surat keputusan yang sangat mengejutkan kalangan pers ketika itu, terutama yang berada di Jakarta. Keputusan mengejutkan itu adalah mengharuskan semua media pers, khususnya media pers yang terbit di ibukota Jakarta untuk mempunyai Surat Izin Terbit (SIT).
4.     Sistem Pers Manipol
Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mencanangkan Manifesto Politik (Manipol) yang dinyatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Manipol yang dicanangkan Bung Karno itu terdiri dari lima unsur penting yakni UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia. Kelima unsur penting itu selalu disingkat dengan singkatan USDEK. Manipol-Usdek telah menjadi pegangan dan landasan ideologis bangsa.
Dengan pemberlakuan Manipol-Usdek itu media pers nasional pun diharuskan untuk menyesuaikan kerja jurnalistiknya kepada langkah-langkah atau pemberitaan yang berpedoman pada Manipol-Usdek tersebut. Media pers yang tidak mengindahkan kebijakan itu dipandang oleh pemerintah sebagai pers yang melawan arus perjalanan revolusi bangsa.
Pertentangan antar media pers menjadi semakin tajam. Menjelang meletusnya pemberontakan Gerakan Tigapuluh September (G 30 S/PKI) yang dilaksanakan tanggal 30 September 1965, puncak pertentangan semakin mengental antara media pers pendukung Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan media pers yang anti komunis.
Media pers yang anti PKI ketika itu bergabung dalam kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS), yang merupakan kelompok perlawanan terhadap ofensif PKI yang dipandang membahayakan UUD 1945 dan Pancasila. Ketika itu hampir setiap hari, media pers pendukung PKI dengan yang anti PKI terlibat ‘saling serang’ dan ‘saling cerca’ melalui pemberitaan maupun tajuk rencananya masing-masing.
5.     Sistem Pers Pancasila
            Matinya pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30 S/PKI itu dengan cepat ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI. Penghujatan, cemooh dan celaan terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai pada puncak pengkhianatannya tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap hari pemberitaan media pers yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan teror dan tekanan PKI melalui media-media pers pendukungnya.
Perjalanan pers Indonesia kembali memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam Undang-undang yang disahkan pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden Soekarno itu dinyatakan secara tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat dengan pertimbangan antaralain bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan Demokrasi Pancasila; sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers; pers merupakan alat revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk pendapat umum serta alat penggerak massa; pers Indonesia merupakan pengawal revolusi yang membawa darma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara aktif dan kreatif.
Di awal-awal kemunculan Orde Baru, pers Indonesia merasa berada dalam suatu situasi dan suasana yang penuh dengan ‘sukacita kegembiraan’. Pers Indonesia ketika itu telah mendapatkan dukungan yang kuat dan nyata dari pemerintah termasuk di dalamnya kekuatan militer yang memang sedang melaksanakan kerja besar melakukan penghancuran terhadap kekuatan-kekuatan PKI sampai ke akar-akarnya.
Akan tetapi suasana keharmonisan ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah itu ternyata tidak berlangsung lama. Kondisi yang begitu menggembirakan itu hanya sempat berjalan beberapa tahun saja. Masa-masa ‘bulan madu’ yang penuh kegembiraan dan menyenangkan itu kemudian terganggu dengan kondisi serta iklim politik yang berkembang menjelang dan sesudah peristiwa “Malari” 1974 atau dikenal juga dengan sebutan peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.
Retaknya hubungan yang semula harmonis antara pers dengan pemerintah ditandai oleh langkah atau tindakan pemerintah yang mencabut izin terbit sejumlah suratkabar. Suratkabar yang dibreidel itu antaralain Harian Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian Kami, Ekspres, The Jakarta Times dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Bahkan sekitar setahun sebelum peristiwa Malari meletus, pemerintah dalam hal ini Panglima Kopkamtib telah mencabut sementara izin terbit Harian Sinar Harapan.
Di tengah-tengah kondisi iklim kecurigaan seperti itulah seorang tokoh pers di Yogyakarta, M Wonohito, memperkenalkan sistem Pers Pancasila di tahun 1977. Di tahun itu buku Teknik Jurnalistik Sistem Pers Pancasila diterbitkan oleh Departemen Penerangan untuk menjadi buku pegangan dan acuan masyarakat pers Indonesia dalam mempertegas fungsi serta perannya sebagai pers pembela dan pendukung Pancasila.
Apa yang dilakukan oleh M Wonohito (1912 – 1984) yang waktu itu adalah Pemimpin Redaksi Harian Kedaulatan Rakyat dalam memperkenalkan dan menyebarluaskan sistem Pers Pancasila ternyata tidak sia-sia.
Sejak sistem Pers Pancasila dipertegas eksistensinya oleh Dewan Pers dalam sidang pleno Desember 1984 itu, maka pemahaman mengenai Pers Pancasila semakin memasyarakat dan menjiwai perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Akan tetapi, meskipun kemudian Pers Pancasila dapat memasyarakat dan menjiwai ‘roh’ pers Indonesia, namun pada kenyataan dan realita pelaksanaannya ternyata tidaklah seirama atau sesuai dengan hakekat nilai-nilai serta semangat Pers Pancasila itu sendiri.
Datangnya era reformasi telah membangunkan kesadaran bari bagi pers nasional untuk kembali menemukan jatidirinya sebagai penyebar informasi yang benar dan obyektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif. Pers nasional yang sebelumnya seakan tidak memiliki kemampuan dan tak berdaya untuk melepaskan diri dari pengaruh serta campurtangan pemerintah yang kuat, mendadak menggeliat dan bangkit dari ketidakberdayaannya. Pers mendapatkan angin yang segar. Angin kebebasan, angin kemerdekaan pers.
Reformasi di bidang peraturan mengenai pers itu di antaranya meninjau kembali Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor 01/Per/Men/1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dengan mengeluarkan peraturan baru yakni Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor 01/Per/Menpen/1998 tentang ketentuan-ketentuan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Permenpen baru yang ditandatangani Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah itu telah membuka pintu kemudahan selebar-lebarnya dalam proses perolehan SIUPP.
Di era reformasi, terlebih lagi setelah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers disahkan oleh Presiden BJ Habibie pada 23 September 1999, angin segar kebebasan dan kemerdekaan pers terasa meniup begitu kencang. Pers Pancasila yang selama bertahun-tahun berada dalam jaring pengertian dan kekuasaan pemerintah, telah menemukan nuansa dan semangat baru. Nuansa demokrasi dan kemerdekaan pers membuat wajah pers nasional secara tiba-tiba berubah drastis dan cepat. +++
                                                                                   (sutirman eka ardhana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar