Minggu, 19 Januari 2014

Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (1) Dari Desa, Menjadi Penari di Keraton

                       ket. foto: Sumiatun ketika menjadi penari keraton berada di barisan depan. (foto: kartini/istimewa)




             Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (1) 
          Dari Desa, Menjadi Penari di Keraton
KEHIDUPAN di dalam istana raja-raja di Jawa, dari dulu hingga kini, sarat dengan pesona dan penuh beragam cerita atau kisah yang menarik. Termasuk di dalamnya kisah-kisah tentang cinta, ketulusan kasih sayang, serta tentang pengabdian dan kesetiaan cinta. Di Keraton Kasunanan Surakarta (kini berada dalam wilayah Propinsi Jawa Tengah) misalnya, pernah terukir “kisah cinta yang sejati dan mulia” antara seorang selir bernama Raden Ayu Laksminto Rukmi dengan Sri Susuhunan Paku Buwono X yang berkuasa di Keraton Surakarta pada tahun 1893 sampai 1939.
Kisah cinta yang menarik dan mengesankan ini sesungguhnya pada tahun 1990 sudah pernah dimuat sejumlah media, di antaranya Majalah “Kartini”. Sungguh teramat mengesankan, betapa indah dan romantisnya kisah kesetiaan cinta RAy Laksminto Rukmi terhadap Sri Paku Buwono X. Kisah kesetiaan cinta seperti ini akan tetap abadi dan tak akan lekang sampai kapan pun. Dengan harapan agar kisahnya bisa dijadikan semacam teladan bagi siapa saja yang menghargai kesetiaan dan ketulusan cinta, kisah kesetiaan cinta itu dihadirkan kembali dengan bersumber pada kisah yang pernah ditulis oleh sejumlah media tersebut.
***
Nama kecilnya Sumiatun. Ia lahir sekitar tahun 1900 pada salah satu desa di wilayah Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Ayahnya, Raden Mas Partodiharjo, adalah seorang lurah. Sekali pun hanya seorang lurah, tapi ayahnya masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan Yosodipuro, pujangga kenamaan di Keraton Surakarta. Pujangga Yosodipuro itu adalah eyangnya. Sedangkan pujangga kenamaan lainnya, Ronggowarsito, termasuk salah seorang pakdenya.
Meski terlahir sebagai anak lurah, tapi Sumiatun tetap seorang anak desa yang lugu dan sederhana. Walaupun lugu dan sederhana, namun sejak kecil kecantikannya tak bisa disembunyikan. Dan, sejak kecil pula, wajahnya sudah memancarkan aura dan pesona tersendiri. Hanya orang-orang yang punya daya penglihatan linuwih, yang mampu membaca arti di balik pancaran aura dan pesona di wajahnya itu.
Salah seorang yang mampu membacanya adalah Mbah Gowang, seorang lelaki keturunan Cina yang berprofesi sebagai pedagang keliling. Ketika ia dilahirkan dan warga desa berkumpul di rumahnya, Mbah Gowang yang sedang berkeliling menawarkan dagangannya ikut pula singgah. Seperti tamu-tamu yang lain, Mbah Gowang pun ikut melihat wajahnya yang baru dilahirkan. Sehabis melihat, Mbah Gowang lalu berkata kepada Raden Mas Partodiharjo, “Mulai sekarang sayangilah bayi ini, jangan sia-siakan dirinya. Kelak kalau anak ini sudah besar, dia akan mendapat jodoh seorang raja.” Inilah ramalan Mbah Gowang atas dirinya.

Menjadi Penari Keraton
Ketika usianya mencapai sepuluh tahun, kecantikan Sumiatun semakin nyata. Pada saat itulah ia dititipkan ayahnya kepada salah seorang saudaranya yang menjadi pepatih keputren di Keraton Surakarta. Saudaranya yang mengurus berbagai kepentingan di Keputren itu adalah KRAy Sedahmirah Tasikwulan.  Ayahnya sengaja menitipkan dirinya agar kelak bisa menjadi penari di keraton. Impian untuk menjadi penari keraton itu memang sejak dirinya masih kecil sudah ditanamkan oleh ayahnya.
          Setelah tinggal di lingkungan keraton, impiannya untuk menjadi penari keraton pun terwujud. Sumiatun memang benar-benar berbakat menjadi penari. Dalam waktu relatif singkat, ia sudah menunjukkan kemampuannya yang luar biasa dalam menguasai beragam bentuk tarian yang ada di dalam keraton. Keterampilannya dalam menari, ternyata diam-diam senantiasa diperhatikan oleh Sri Paku Buwono X. Sehingga dalam usianya yang relatif masih sangat muda, belum 17 tahun, ia sudah sering diikutsertakan Sri Paku Buwono X dalam pentas tarian keraton di kota-kota besar lainnya, misalnya menari di Istana Gubernur Jenderal Hindia Belanda di Batavia (Jakarta).
         Ketika ia mengalami menstruasi atau haid yang pertama, perhatian Sri Paku Buwono X kepadanya semakin bertambah. Karena ia tidak muncul saat latihan menari, Sri Susuhunan langsung menanyakannya. Begitu diberitahu bahwa ia sedang haid yang pertama, Susuhunan langsung memerintahkan untuk membuat acara pesta syukuran menyambut datangnya haid pertama Sumiyatun tersebut.
                                                                             (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)

3 komentar:

  1. Terima kasih sekali, pak Eka Ardhana! Saya sangat senang dan ingin sekali mengetahui kisah para penari keraton (misalnya para Bedhaya di kraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Kalau saya tidak keliru, salah satu penari bedhaya di jaman Sultan Hamengku Buwono IX adalah ibunda dari Mas Pandoyo. Akan sangat menarik apabila putera-puteri para penari kerajaan jaman dahulu dapat menceritakan kembali kisah ibu-ibu mereka tatkala menjadi penari di istana, bukan?

    BalasHapus
  2. Mohon maaf, ada sedikit koreksi, maksud saya ibunda dari mas Bambang Paningron.

    BalasHapus