Minggu, 26 Januari 2014

Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (3-habis) Mau Dinikah, Asalkan Bu Fat Tetap First Lady

                                                       Hartini bersama Bung Karno (ft: rep)


Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (3-habis)
Mau Dinikah, Asalkan Bu Fat Tetap First Lady
SEPUCUK surat cinta yang sederhana dan singkat itu ternyata punya arti yang sangat besar bagi perjalanan hidup Hartini. Surat cinta dari Bung Karno tersebut telah merubah perjalanan hidupnya. Semenjak menerima surat cinta itu, hubungan Hartini dengan Bung Karno pun menjadi semakin dekat, dan kian sulit terpisahkan. Pertemuan-pertemuan berikutnya pun terjadi dalam berbagai kesempatan. Innisiatif pertemuan-pertemuan itu biasanya datang dari Bung Karno. Bila ingin bertemu, lewat berbagai jalur Bung Karno terlebih dulu mengontak ke Hartini.
Misalnya, ketika Bung Karno berada di Semarang, Hartini pun berangkat ke Semarang untuk menemuinya. Selain itu ia juga beberapa kali berangkat ke Jakarta untuk bertemu dengan Bung Karno. Setelah beberapa kali pertemuan itu, Hartini memang tidak bisa lagi membantah kata hatinya yang memang benar-benar telah jatuh hati kepada Sang Presiden. Sehingga ketika Bung Karno mengutarakan keinginan untuk menikahinya, Hartini tak mampu menolak.
Cinta adalah sesuatu yang sangat mendapat tempat berharga di hati Bung Karno. Atas dasar cinta itu pula Bung Karno kemudian menikahi Hartini di tahun 1953. Dan, atas nama cinta pula, Hartini menyatakan kesediaannya untuk menjadi isteri Bung Karno.  Pernikahan itu berlangsung secara sederhana di Istana Cipanas, Bogor, pada 7 Juli 1953. Keputusan Hartini yang bersedia menikah dengan Bung Karno yang sudah beristeri itu bukanlah diambil tanpa pertimbangan dan syarat-syarat tertentu. Sebelum mengatakan setuju dengan ‘lamaran’ Bung Karno, Hartini sudah terlebih dulu memikirkannya berhari-hari, disamping meminta pertimbangan dan restu dari orangtuanya.
Hartini sadar sepenuhnya, bahwa disamping Bung Karno sudah ada seorang first lady, seorang ibu negara, yakni Ibu Fatmawati. Atas pertimbangan itu, Hartini pun telah mengajukan syarat yang harus dipenuhi oleh Bung Karno bila tetap ingin menikahinya. Syaratnya, ia bersedia dinikahi asalkan Bung Karno tidak menceraikan isterinya, Fatmawati. “Biarkan Bu Fatmawati tetap menjadi first lady,” pinta Hartini kepada Bung Karno.  Permintaan itu disanggupi Bung Karno. Sekalipun Fatmawati kecewa dengan perkawinan itu dan kemudian meninggalkan istana, namun kedudukannya sebagai first lady tetap terjaga.
Langkah Hartini untuk menjadi isteri seorang Presiden dan menghuni istana kepresidenan di Bogor tidaklah mudah. Pernikahannya dengan Bung Karno telah disambut dengan protes dan demonstrasi oleh banyak organisasi kaum perempuan waktu itu. Banyak organisasi kaum perempuan yang mencela keputusan Bung Karno menikahi Hartini tersebut. Bahkan Ibu Fatmawati meninggalkan istana sebagai ungkapan rasa kekecewaannya dengan pernikahan itu. Media-media pers oposisi menjadikan pernikahan Hartini dengan Bung Karno  itu sebagai obyek pemberitaan yang tendensius dan menyudutkan. Tapi Bung Karno tidak menyurutkan langkah. Cintanya yang begitu besar kepada Hartini telah dijadikannya sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi segala kecaman dan cacimaki yang tertuju kepadanya.
“Kalau sekiranya demonstrasi ini menentang kebijaksanaan negara, aku segera mengambil tindakan. Akan tetapi ini ditujukan kepadaku pribadi. Sekali pun menyakitkan hati dan menyebabkan kemarahanku, aku tidak berbuat apa-apa. Aku tidak menyuruh mereka supaya tutup mulut, bahkan aku berusaha menahan perasaan supaya tidak melukai hati mereka di hari-hari selanjutnya,” ujar Bung Karno menanggapi aksi protes itu.
Ingin tahu apa alasan Bung Karno menikahi Hartini?
“Dan mengapa aku mengawini Hartini? Alasannya sederhana saja. Alasan pokok yang telah berlaku sejak permulaan zaman yang akan tetap berlaku jauh sesudah aku tidak ada lagi; aku bertemu dengan Hartini. Aku jatuh cinta kepadanya. Dan percintaan kami adalah begitu romantis, sehingga orang dapat menulis sebuah buku tersendiri mengenai hal,” jelas Bung Karno seperti dituturkannya dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” yang ditulis Cindy Adams.

Setia sampai Akhir
Sebagai seorang perempuan Jawa yang sejak kecil telah mendapatkan pelajaran dam pemahaman yang dalam tentang tatanilai serta tatakrama Jawa , khususnya yang berhubungan dengan tatacara bagaimana seorang isteri berbakti kepada suaminya,  Hartini benar-benar mampu menempatkan keberadaannya sebagai isteri seorang Presiden. Kelemah-lembutan, kesabaran dan ketelatenan,merupakan tiga hal yang selalu dikedepankan Hartini dalam hari-harinya mendampingi Bung Karno. Dengan kata lain, setiap kali bersama dengan Bung Karno, ia selalu menunjukkan sikap lemah-lembut, penuh kesabaran serta penuh rasa perhatian yang sungguh-sungguh. Pernikahannya dengan Bung Karno itu telah menghadirkan dua orang ‘buah cinta’ yakni Bayu Soekarnoputra dan Taufan Soekarnoputra.
Sebagai seorang lelaki yang romantis, Bung Karno merupakan tipe lelaki yang sangat suka dimanja dan disayang oleh perempuan. Karena itulah, sikap kelemah-lembutan, kesabaran dan ketelatenan yang ditunjukkan Hartini itu menjadi begitu berkesan di dalam hati Bung Karno. Dan, semua itu semakin mempertebal cinta serta kasih sayang Bung Karno kepada Hartini. Bahkan kepintaran Hartini dalam bergaul dengan siapa saja, telah menyebabkan ia selalu diperkenalkan Bung Karno kepada tamu-tamunya, atau tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana Bogor, tempat Hartini tinggal.
Mencintai dan menjadi isteri seorang Presiden yang tampan dan pengagum keindahan serta kecantikan perempuan bukanlah sesuatu yang mudah. Untuk menjalani hari-hari disamping seorang tokoh seperti Bung Karno, tidak saja dibutuhkan sikap kesabaran yang tinggi, dan keikhlasan yang dalam, juga diperlukan ketegaran jiwa yang besar.  Semua itu dilakukan Hartini dengan jiwa yang ikhlas dan kesetiaan cinta yang besar. Kesetiaan serta perhatian yang besar dari Hartini kepada Bung Karno tak pernah surut barang sejengkal pun.
Hartini tetap mempertahankan kesetiaan cintanya kepada Bung Karno, baik di masa-masa jaya maupun di masa-masa suram. Di masa-masa sulit, di masa-masa Bung Karno mulai ‘diasingkan’ dari percaturan politik, Hartini masih tetap setia bersama Bung Karno. Dan, ia masih tetap setia mencintai Bung Karno, sampai Sang Proklamator itu menghadap ke Al-Khalik pada 21 Juni 1970 setelah menderita sakit beberapa saat.  Cinta dan kesetiaannya kepada Bung Karno itu pun dibawa Hartini sampai akhir hayatnya pada 12 Maret 2002 lalu. (Sutirman Eka Ardhana/ dari berbagai sumber)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar