Minggu, 19 Januari 2014

Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (1): Berawal dari Pertanyaan “Siapa Namamu?”

                                               Ny. Hartini bersama Bung Karno. (ft: rep)


            Kisah Cinta Hartini dengan Bung Karno (1):
         Berawal dari Pertanyaan “Siapa Namamu?”
SUKARNO, proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden pertama Republik Indonesia yang populer dengan panggilan Bung Karno itu, tidak hanya seorang Bapak Bangsa dan negarawan sejati, tapi juga dikenal sebagai seorang “pecinta agung”. Bung Karno adalah seorang pengagum dan pecinta keindahan.  Karena itulah barangkali, kisah-kisah cinta yang menarik selalu mewarnai sepanjang perjalanan hidup Bung Karno. Salah satu kisah cintanya yang menarik dan penuh kesan, adalah kisah cintanya dengan Hartini.
Siapakah gerangan Hartini, perempuan yang berhasil menarik hati Bung Karno itu? Sesungguhnya, tidak ada catatan yang istimewa bagi diri seorang Hartini kecil. Ia lahir dan tumbuh di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Ayahnya bernama Osan, seorang pegawai biasa pada Departemen Kehutanan. Masa kecilnya dihabiskan di Malang. Setamat Sekolah Rakyat (sekarang SD), ia diangkat menjadi anak angkat oleh keluarga Oesman yang tinggal di Bandung.
Di Bandung, Hartini melanjutkan sekolahnya di Sekolah Kepandaian Puteri (SKP). Sejak menjadi siswi SKP, kecantikan Hartini mulai tampak nyata. Apalagi ia selalu tampak luwes bila berdandan dan mengenakan pakaian apa pun. Satu hal lagi, gadis yang selalu murah senyum ini tergolong pintar dalam bergaul. Ia tak pernah memilih-milih dalam berkawan atau bergaul. Karena itulah, ia termasuk gadis yang menonjol di antara sesama kawan-kawan sekolahnya.
Tapi kemudian, pada suatu hari kawan-kawan sebayanya dikejutkan dengan berita Hartini menikah. Banyak teman-temannya yang tak percaya dengan berita itu. Padahal usianya waktu itu masih sangat muda. Apalagi, Hartini tak pernah bercerita tentang lelaki yang menjadi tunangannya, atau lelaki yang dicintai maupun yang dipilih untuk menjadi suaminya itu. Bagi teman-temannya, nama lelaki yang menjadi suami Hartini itu terasa asing. Dan, lelaki yang menikahinya itu bernama Suwondo.
Ia pun kemudian tinggal bersama suaminya di Salatiga. Demikianlah, sejak itu hari-hari Hartini selalu berkutat dengan kesibukan rumahtangganya. Namun, beberapa tahun kemudian, setelah pernikahan itu membuahkan lima orang anak, badai pun melanda keutuhan rumahtangganya. Entah apa penyebabnya. Badai itu ternyata terlalu kencang, hingga perkawinannya dengan Suwondo tak dapat dipertahankan lagi. Mereka bercerai.
Ketika perceraian itu terjadi, usia Hartini masih terbilang muda, 28 tahun. Sekalipun berstatus janda, tapi pesona kecantikannya masih tetap bercahaya. Bahkan, dalam penampilannya sehari-hari, Hartini tak hanya terlihat cantik dan luwes, tapi anggun serta matang. Pesona itu membuat banyak lelaki menaruh perhatian dan kagum kepadanya. Tidak sedikit lelaki yang mencoba mengambil hatinya, tapi Hartini masih tetap bertahan dengan kesendiriannya.
Sampai kemudian, suatu hari ia bertemu dengan seorang lelaki yang terhormat dan terpandang, lelaki yang dikagumi segenap rakyat Indonesia. Lelaki yang kemudian merubah perjalanan hidupnya, dari seorang perempuan biasa menjadi perempuan terpandang, dihormati dan isteri seorang presiden. Lelaki itu bernama Sukarno, Presiden Republik Indonesia.

            Jumpa di Salatiga
Pertemuan pertamanya dengan Bung Karno terjadi pada tahun 1952. Ketika itu, dalam perjalanan menuju Yogyakarta untuk meresmikan Masjid Syuhada, Bung Karno terlebih dulu singgah di Salatiga. Meskipun hanya singgah sebentar, pemerintah dan warga setempat menyambut kedatangan presidennya itu dengan sukacita. Bung Karno dan rombongannya dijamu makan siang. Dan, Hartini termasuk di antara ibu-ibu yang menghindangkan hidangan makan siang untuk Bung Karno tersebut.
Seusai menikmati hidangan makan siang, Bung Karno lalu menyalami semua orang yang hadir. Termasuk para wanita atau ibu-ibu yang menyiapkan hidangan makan siang itu. Kesempatan untuk berjabatan tangan dengan seorang Presiden yang dikaguminya memang sudah lama ditunggu-tunggu. Karenanya, Hartini tidak mensia-siakan kesempatan berharga itu.  Bersama ibu-ibu lainnya, ia pun memanfaatkan kesempatan bertemu dan menjabat tangan Presiden dengan sebaik-baiknya. Dengan gembira dan bahagia mereka, termasuk Hartini, menunggu kesempatan yang berharga itu.
Kegembiraan menggumpal di dada Hartini ketika untuk pertamakalinya ia berjabatan tangan dengan Bung Karno. Berjabatan tangan dengan seorang Presiden yang dihormati dan dikagumi segenap rakyat. Betapa tidak. Kesempatan untuk bertemu, bertatap muka dan bersalaman dengan Presiden bukanlah hal yang mudah. Tidak semua orang bisa mendapatkan kesempatan yang istimewa seperti itu. 
Dalam kegembiraan itu, dada Hartini pun tiba-tiba tergetar dan berdebar, manakala menerima tatapan dan senyuman dari Bung Karno. Tatapan dan senyuman dari seorang lelaki tampan, berwibawa dan dihormati. Dan, debaran di dadanya semakin mengencang, ketika saat bersalaman itu di luar dugaan tiba-tiba Bung Karno menanyakan namanya. “Siapa namamu?” inilah pertanyaan yang singkat dari Bung Karno, sambil tetap menggenggam tangannya.
“Hartini,” jawabnya terbata-bata dan tersipu.
Kekaguman terlihat jelas di wajah Bung Karno saat mendengar jawaban itu. Bung Karno pun kemudian mengembangkan senyumnya. Senyum yang khas. Senyum yang menebarkan pesona.  
Ada perasaan bahagia, gembira dan bangga di dada Hartini, mendapat pertanyaan seperti itu. Mendapat pertanyaan dari seorang Presiden yang tidak saja dihormati dan dicintai rakyatnya, tapi juga disegani di dunia internasional. Hartini pun merasa bahwa tatapan, senyuman dan pertanyaan Bung Karno kepadanya itu seperti mengandung sejumlah arti, makna dan isyarat. Tetapi, sampai pertemuan itu usai, dan Bung Karno melanjutkan perjalanannya menuju Yogyakarta, ia tidak juga menemukan arti, makna dan isyarat di balik semuanya itu.
Itulah pertemuan pertamanya dengan Bung Karno. Meskipun singkat dan hanya sekilas waktu, tapi cukup mengesankan baginya. Pertemuan pertama itu selalu dikenangnya. Jumpa pertama di Salatiga itu selalu mengusik hatinya. Senyum dan tatapan penuh pesona dari Bung Karno itu seakan tak pernah lepas dari ingatannya. Ia pun selalu berharap agar dapat bertemu lagi dengan Bung Karno, sehingga Presiden yang dikaguminya itu akan bertanya banyak hal lagi pada dirinya, tak hanya sekadar bertanya tentang nama. (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar