Rabu, 05 Maret 2014

Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (5-Habis) Setahun Menunggui Makam Sri Paku Buwono X

              Kisah Kesetiaan Cinta Seorang Selir (5-Habis)
           Setahun Menunggui Makam Sri Paku Buwono X
 SEMENJAK menjadi garwo ampil atau selir, satu hal yang ditakutkan dan tidak diinginkan oleh RAy Laksminto Rumi adalah berpisah dengan Sri Susuhunan Paku Buwono X. Sekalipun dirinya hanyalah seorang garwo ampil, tapi rasa cinta dan kasih serta pengabdiannya kepada Susuhunan tidaklah kalah dengan Permaisuri. Ia sangat mencintai dan mengasihi Sang Raja, yang sekaligus juga suaminya itu. Karena itulah ia sama sekali tidak ingin berpisah atau jauh dari keberadaan Susuhunan.
Namun suatu hari hal yang ditakutkannya itu terjadi. Hal itu bermula ketika suatu pagi Susuhunan tidak keluar dari kamar peraduannya. Padahal, sebagaimana pagi-pagi biasanya, RAy Laksminto Rukmi sudah mempersiapkan segala sesuatu perlengkapan mandi Susuhunan. Bahkan, sejak pagi lagi ia sudah menunggu di dekat kamar mandi, seperti yang dilakukannya setiap pagi.
Ada apa gerangan? Kenapa Sinuwun tidak keluar dari kamarnya? Apakah Sinuwun sakit? Atau apa? Berbagai pertanyaan seperti berkecamuk di hati RAy Laksminto. Tapi mendadak ia ingat dengan apa yang dikatakan Susuhunan saat bertemu terakhir sehari sebelumnya. “Aku tidak mau diganggu selama tujuh hari. Jangan temui aku. Jangan layani aku. Biarkan aku sendiri,” kata-kata ini yang diucapkan Susuhunan kepadanya. Ada apa di balik kata-kata itu?
Berhari-hari Susuhunan berada di kamar peraduannya, ditemani Sang Permaisuri. Berhari-hari itu pula RAy Laksminto Rukmi didera perasaan rindu ingin bertemu, dan ingin memandang wajah Susuhunan. Dan, berhari-hari itu pula hatinya dicekam rasa gelisah serta resah. Serta berhari-hari pula beruntun tanya dalam hatinya tak kunjung terjawabkan. Mengapa? Mengapa Sinuwun tak juga kunjung keluar dari kamarnya? Mengapa hanya Permaisuri yang menungguinya?
Jawaban dari pertanyaan itu baru diperoleh RAy Laksminto ketika pada hari ketujuh ia dipanggil untuk masuk ke dalam kamar Susuhunan. Begitu dipanggil, tanpa membuang waktu barang sedetik pun ia langsung bergegas menuju ke kamar Susuhunan. Begitu terkejut dan terharu hatinya ketika melihat kondisi Susuhunan yang terbaring lemah di atas peraduannya. Sang Raja, yang juga suaminya itu, terbaring sakit. Dalam waktu yang singkat, penyakit itu telah menggerogoti kegagahan tubuh Susuhunan.
Dengan suara pelan Susuhunan menyuruhnya untuk mendekat. Dengan rasa pedih yang dalam, dan air mata yang tertahan, ia mendekat. Ketika itulah, dengan suara lirih Susuhunan berkata kepadanya, “Aku kok sudah dijemput. Waktuku sudah tiba. Tapi, aku belum bisa membalas kebaikanmu. Aku tetap akan menjagamu dan melindungimu selama hidupmu.”
Mendengar kata-kata Susuhunan seperti itu, ingin rasanya RAy Laksminto Rukmi menjerit dan menangis sekeras-kerasnya. Kata-kata yang diucapkan Susuhunan itu penuh dengan isyarat, penuh dengan tanda-tanda. Kata-kata Susuhunan itu sebagai pertanda bahwa hal yang sangat ditakutkannya yakni berpisah dengan Susuhunan akan tiba. Tetes air mata pun mengalir di pipinya. Tapi, dengan suara tertahan, Susuhunan masih sempat meminta agar dirinya tidak menangis.

Susuhunan Wafat
Allah benar-benar menginginkan Susuhunan pulang keharibaan-Nya. Susuhunan wafat. Seluruh penghuni Keraton Surakarta dan segenap rakyatnya berduka. Permaisuri Gusti Kanjeng Ratu Hemas, serta RAy Laksminto Rukmi dan para garwo ampil lainnya berduka. Semua meneteskan air mata. Semua meratap. Semua bersedih. Sang Raja, pemimpin yang disegani dan dihormati itu telah pulang ke kehidupan yang abadi. Akan halnya RAy Laksminto Rukmi, sekalipun kepedihan dalam hatinya tak mampu dilukiskan dengan kata-kata, tapi ia tetap mencoba bertahan tidak menangis. Karena itulah pesan dan permintaan terakhir Susuhunan kepadanya, yakni jangan menangis.
Hampir semua penghuni Keraton Surakarta mengantarkan Susuhunan ke tempat peristirahatannya yang terakhir di komplek pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta. RAy Laksminto berusaha untuk tetap tegar, tetap tabah, ketika melihat jenazah Susuhunan diusung ke tempat pemakaman, meskipun sesungguhnya hatinya sangat berduka, dan tersayat perih.
Semenjak Susuhunan dimakamkan, RAy Laksminto Rukmi menjalani hari-hari dalam kesunyian dan kerinduan. Sekalipun ia berada di dalam lingkungan Keraton, tapi ia merasakan bagai tinggal di tengah-tengah hamparan kesunyian yang panjang dan luas. Hari-harinya pun dibalut rasa rindu yang dalam kepada Susuhunan. Rindu menatap wajahnya. Rindu mendengar kata-kata Susuhunan yang berwibawa. Rindu mendampingi Susuhunan, seperti manakala Susuhunan tak bisa tidur di malam hari.
Tak mampu menahan desakan rasa rindunya, beberapa hari setelah pemakaman, RAy Laksminto Rukmi berangkat lagi ke Imogiri untuk menziarahi makam Susuhunan. Begitu sampai, ia langsung duduk bersimpuh dan bersujud di depan pusara Susuhunan. Ia berdoa sekaligus memasrahkan diri. Seakan-akan ia sedang menanti perintah atau titah dari Susuhunan yang sudah terbaring di pemakaman Imogiri yang sunyi dan teduh itu.
Ketika berada di depan pusara itulah, kembali membayang berbagai peristiwa manis dan penuh kesan yang dialaminya semenjak ia masuk ke dalam kehidupan Keraton. Ia ingat bagaimana Susuhunan selalu memberikan perhatian dan memujinya, manakala menyaksikannya menari bersama para penari Keraton lainnya. Dan, peristiwa paling berkesan dalam hidupnya yaitu saat menerima surat dari Susuhunan yang menetapkan dirinya menjadi salah seorang garwo ampil, itupun kembali membayang.
RAy Laksminto Rukmi terpekur. Ia menyadari betapa besar perhatian yang telah diberikan Susuhunan kepadanya. Namun, ia menyadari belum bisa melakukan apa-apa untuk membalas semua perhatian serta curahan kasih sayang dari Susuhunan itu. Tiba-tiba terbersit keinginannya untuk membalas semua perhatian dan kebaikan itu dengan tinggal atau menunggui makam Susuhunan di Imogoro selama setahun.
Keinginan itu benar-benar dijalankannya. Dengan hati yang bulat, RAy Laksminto Rukmi ingin menunjukkan bakti dan pengabdiannya kepada Susuhunan dengan menunggui makam Susuhunan selama setahun. Betapa mulya hatinya, dan betapa besar kesetiaan cintanya kepada Susuhunan, sehingga ia rela tinggal dalam kesunyian perbukitan Imogiri, menunggui makam Susuhunan Paku Buwono X. 
 (sutirman eka ardhana/kar)

2 komentar:

  1. Bagaimana kelanjutan kisah beliau pak.? Apakah beliau masih hidup sekarang ini? Dimana beliau dimakamkan?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah Meninggal dan Dimakamkan di Sarean Pengging Boyolali, 1 makam dengan R.Ng.Yosodipuro

      Hapus