Sabtu, 21 Maret 2015

Ajaran Idealisme dari Sang Umbu


    

Ajaran Idealisme dari Sang Umbu

DALAM setiap langkah kehidupannya, setiap orang memang perlu mengusung idealisme. Dengan kata lain, setiap orang, siapapun juga, harus senantiasa punya idealisme. Hidup tanpa idealisme, adalah hidup yang hampa. Hidup tanpa idealisme, adalah kehidupan yang tanpa makna. Hidup tanpa idealisme, bagaikan hidup terpanggang di padang kering tandus dan gersang yang luas.
Tapi ingat, jangan hidup dengan idealisme buta. Atau kata sahabat saya, Mayon Sutrisno (almarhum), orang Klaten, yang sempat ‘belajar kehidupan’ di Yogya, kemudian tinggal di Jakarta dan semasa hidupnya telah menulis puisi, cerpen, novel serta sejumlah buku, “Jangan hidup dengan idealisme yang membabi-buta. Idealisme gagah-gagahan. Idealisme yang hanya ingin menunjukkan keangkuhan atau kesombongan diri. Sebab, idealisme yang membabi-buta seperti itu, sama saja dengan idealisme bunuh diri. Karena, suatu ketika nanti idealisme seperti itu akan ‘membunuh’ dan membuat kita tak berdaya. Akan membuat kita dicemooh banyak orang.”
Masih kata Mayon, “Dalam soal idealisme itu, saya kagum kepada Umbu Landu Paranggi, sang penyair yang dijuluki Presiden Malioboro itu. Umbu punya idealisme kesenimanan yang rasanya sulit ditandingi oleh seniman-seniman lainnya. Idealismenya bukan idealisme buta. Tapi idealisme nyata. Idealismenya terkesan bersahaja, tapi penuh makna. Idealismenya penuh misteri. Idealisme itu terlihat jelas dari puisi-puisinya, sikap dan perilakunya, serta dorongan dan perhatiannya yang besar terhadap gerakan berkesenian atau bersastra. Dengan idealisme yang dimilikinya, Umbu layak disebut sebagai Sang Pujangga besar di masa kini.”
Kata-kata yang diucapkan Mayon Sutrisno, dalam suatu obrolan sekitar duapuluh tahun lebih lalu, ketika kami sama-sama bekerja dalam satu media di Jakarta itu, sungguh benar. Dia tidak mengada-ada. Dia tidak sekadar memuja. Umbu memang layak disebut sebagai Sang Pujangga, sebutan paling terhormat, sebutan termulia, teragung, dalam khasanah kesenimanan, dan kepenyairan.
Jauh sebelum itu, jauh sebelum Umbu Landu Paranggi, para pujangga besar terdahulu, telah menanamkan prinsip-prinsip idealisme itu melalui karya-karya besarnya. Coba simak karya-karya besar para pujangga atau pemikir spiritual seperti Ronggowarsito, Yosodipuro I, Yosodipuro II, Sri Paku Buwono III, Sri Paku Buwono IV, Sri Mangkunegoro IV, Ki Padmasusastra. Bahkan karya-karya besar seperti Ramalan Jayabaya, Serat Darmogandhul, sampai Serat Centhini, dan banyak surat lainnya. Dengan menyimak dan memahami isi kandungan di dalam karya-karya besar itu, jelas akan tertemukan bagaimana prinsip-prinsip idealisme itu sudah ditanamkan dan diajarkan oleh para pujangga terdahulu.
Salah satu contoh, Pepali Ki Ageng Selo yang terdapat di dalam Serat Centhini I secara jelas menanamkan tentang prinsip-prinsip idealisme di dalam kehidupan itu. Misalnya, di dalamnya ada peringatan agar kita jangan tinggi hati, jangan sombong, jangan jahat, jangan serakah. Jangan suka mengambil yang bukan haknya, dan jangan suka mengharap pujian. Kemudian diingatkan juga agar jangan suka jahil, jangan berbuat serong, jangan bertebal muka dan jangan suka membangga-banggakan diri.
Pepali Ki Ageng Selo itu juga mengingatkan, agar sebaiknya orang hidup mencari kebaikan dan hal-hal yang bagus serta indah. Tapi kebaikan dan hal-hal yang bagus itu bukan dikarenakan harta benda, bukan karena pakaian, bahkan pula bukan karena wajah. Tapi kebaikan dan hal-hal yang bagus itu adalah bagaimana kita bisa disayangi oleh sesama, disukai dan dikagumi, karena tingkah laku dan pribadi yang menyenangkan.
Kemudian diingatkan juga, agar jangan mendewa-dewakan harta, jangan memuja pakaian yang indah, dan jangan pula mendewa-dewakan kepandaian atau ilmu sendiri. Pendek kata, Pepali Ki Ageng Selo itu mengajarkan kita untuk tidak sombong dan bersikap rendah hati dalam menjalani kehidupan.

Idealisme Umbu
Lantas, bagaimana dengan Umbu Landu Paranggi? Seperti halnya Pepali Ki Ageng Selo di dalam Serat Chenthini I itu, puisi-puisi Umbu juga sarat dengan ajaran kehidupan. Lewat puisi-puisinya Umbu mengajarkan tentang hakekat kehidupan, tentang kesederhanaan, kesahajaan, tentang kecintaan kepada alam, desa, tradisi, saling berbagi, kebersamaan, juga cinta-kasih.
Cobalah simak, salah satu puisi Umbu yang berjudul “Apa Ada Angin di Jakarta” ini. Pada salah satu puisi yang termasuk dalam beberapa puisinya yang semasa di Yogya dulu (tahun 70-an) sering di’poetry singing’kan bersama Deded ER Moerad (alm) dan teman-teman PSK (Persada Studi Klub) ini terlihat jelas, betapa di dalamnya sarat ajakan tentang perlunya kesederhanaan, kesahajaan, dan kecintaan terhadap alam (desa).
Apa Ada Angin di Jakarta

Apa ada angin di Jakarta
Seperti dilepas desa Melati
Apa cintaku bisa lagi cari
Akar bukit Wonosari

Yang diam di dasar jiwaku
Terlontar jauh ke sudut kota
Kenangkanlah jua yang celaka
Orang usiran kota raya

Pulanglah ke desa
Membangun esok hari
Kembali ke huma berhati

Idealisme apa yang diajarkan Umbu Landu Paranggi melalui puisi yang lirik-liriknya penuh makna ini? Sangatlah jelas, Umbu mengingatkan agar kita tidak mudah tergoda dengan daya tarik semu kehidupan di kota-kota besar, seperti halnya Jakarta. Umbu mengingatkan, hidup di desa jauh lebih damai, nyaman dan penuh arti. “Pulanglah ke desa – membangun esok hari – kembali ke huma berhati”, menurut Umbu jauh lebih menyenangkan daripada hidup di kota yang tak jarang justru menjerumuskan ke kehidupan sulit dan pahit.
Mari simak satu lagi puisi Umbu Landu Paranggi yang juga penuh ajaran kehidupan itu. Puisi berjudul “Doa” ini juga termasuk yang di tahun 70-an itu sering di’poetry singing’kan.
Doa

sunyi
bekerjalah
kau
bagi
nyawaku
risau
sunyi bekerjalah
kau bagi
nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau
bagi nyawaku risau
sunyi bekerjalah kau bagi nyawaku
risau
risau nyawaku bagi kau bekerjalah
sunyi
risau nyawaku bagi
kau bekerjalah sunyi
risau nyawaku
bagi kau
bekerjalah sunyi
risau
nyawaku
bagi
kau
bekerjalah
sunyi
Kauku

Puisi ini sesungguhnya mengandung ajaran kehidupan, bahwa sesibuk apapun, segelisah apapun, manusia tetap harus berupaya sekuat mungkin untuk ‘mensunyikan diri’, ‘mensunyikan jiwa’ dan mendekatkan dirinya kepada Sang Maha Pencipta. Karena hanya kepada Sang Maha itulah tempat menyerahkan risau, menyerahkan sunyi, dan kelak tempat mengadu di hari akhir.
Saya ingat, di antara beberapa puisi Umbu yang di’poetry singing’kan semasa di Yogya dulu, puisi “Apa Ada Angin di Jakarta”, “Doa” dan “Sabana” itulah yang senantiasa menggoda dan sangat berkesan.
Puisi adalah nyanyian hati. Puisi adalah simponi kehidupan. Dan, simponi melalui puisi-puisi Umbu Landu Paranggi yang sarat idealisme, penuh ajaran kehidupan itu, sampai hari ini terus bersenandung di dalam jiwa saya. Saya yakin, juga bersenandung di banyak jiwa, yang mengenal dan memahami Umbu, membaca karya-karya puisinya serta mendengarkan lagu puisinya.
(Sutirman Eka Ardhana)

***** Salah satu tulisan saya yang dimuat Majalah Sabana edisi Februari 2015.

1 komentar:

  1. Setahu saya, Umbu telah menjadi ikon bagi masyarakat seniman Jogja masa itu. Saya hanya senang menonton dan membaca, apabila masa kuliah di Jogja (84-89) beliau agaknya sudah pulang kampung atau entah berkarya di mana. Saya cuma berharap akan selalu muncul umbu-umbu lainnya di sudut-sudut keseniaman negara tercinta Indonesia. Salam karya, Bang!

    BalasHapus