Malioboro
Kehilangan Harmoni Kehidupan
MALIOBORO sempat melegenda
sebagai tempat para seniman mencari inspirasi, berkumpul, dan berdikusi. Tapi
kini tidak ada lagi tempat atau kesempatan bagi para seniman untuk mencari
inspirasi karyanya di Malioboro, seperti yang sempat terjadi di tahun-tahun
50-an, 60-an sampai awal-awal 70-an. Di tahun-tahun itu masih banyak dijumpai
para seniman lukis mencari obyek lukisannya di Malioboro. Dan, bila malam para
pengarang, penyair dan semacamnya, menjadikan Malioboro sebagai tempat bertemu,
berdiskusi dan berbagi cerita.
Sampai akhir tahun 60-an,
Malioboro masih merupakan kawasan yang sejuk dan teduh. Pepohonan rindang yang
daunnya rimbun menghijau masih banyak tumbuh. Sungguh betapa damai dan
menyejukkan berjalan di bawah pepohonan yang dedaunannya menghijau serta
mempesona itu.
Tapi kemudian wajah Malioboro
berubah. Atas nama pembangunan dan penataan wajah kota, wajah Malioboro pun kemudian dirubah.
Pepohonan penyejuk itu ditebang. Malioboro dibersihkan dari pohon-pohon besar
yang semula penuh nuansa pesona itu. Kemajuan teknologi dan perkembangan
perilaku serta sikap hidup warganya telah merubah wajah Malioboro dari kesan
sejuk dan teduh, menjadi padat, riuh dan menyesakkan dada. Pepohonan sejuk dan
menghijau itu telah berganti dengan bangunan kawasan pertokoan yang megah dan
tinggi.
Keadaan yang berubah seperti
itu telah melahirkan beraneka kesan sumbang terhadap Malioboro. Banyak pihak,
tidak hanya warga kota,
tapi juga para pendatang atau wisatawan yang menanamkan kesan bahwa Malioboro
sebagai kawasan padat, semerawut, tidak nyaman, dan kehilangan daya tarik.
Bahkan, tidak sedikit warga
Yogya yang seakan dijangkiti trauma ‘enggan’ ke Malioboro, karena di jalan yang
melegenda itu tak lagi ditemui kedamaian dan kenyamanan. Malioboro tak lagi
memberikan harmoni kehidupan yang indah. Malioboro tidak lagi bisa
menyenandungkan lagu yang merdu dan meresap ke dalam jiwa.
Tinggal Kenangan
Apa yang ada dan terjadi di
Malioboro, merupakan cerminan wajah Yogyakarta
sekarang ini. Sebagai ‘jantung kota’, maka wajah
Malioboro yang lusuh, penuh ketegangan, dan nyaris kehilangan senyuman itu,
telah melekat di wajah Yogyakarta secara
keseluruhan.
Imej Malioboro yang sejuk,
penuh pesona, nyaman dan memiliki beragam daya tarik kini seakan musnah tak
tentu rimbanya. Semuanya hanya tinggal kenangan indah atau nostalgia masa
lalu. Mereka-mereka yang dulu pernah
tinggal di Yogya, dan kini berkunjung kembali tentu akan merasa kecewa bila
ingin merasa atau menemukan suasana Malioboro seperti dulu.
Sampai kapan kondisi
Malioboro seperti itu akan berlangsung? Sampai kapan keruwetan, kepadatan dan
kesemerawutan itu akan menyesakkan dada warga kota, para pengunjung dan wisatawan? Kapan
kita kembali dapat merasakan suasana yang nyaman dan menyenangkan di Malioboro?
Dan, kapan kita akan melihat wajah Yogyakarta
yang sejuk, damai, tenteram, tercermin di Malioboro?
Dalam beberapa tahun
terakhir, Pemerintah Kota Yogyakarta telah mencoba menanam tanaman-tanaman hias
dan penyejuk di Malioboro, tapi hal itu tetap tak mampu mengusir kesan panas,
tak nyaman, dan sumpeg. Dengan kata lain, kesan Malioboro yang sejuk,
nyaman, dan penuh senyum, tetap tak mampu dihadirkan.
(Sutirman Eka Ardhana/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar