MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA
PERTEMUAN KE-5
SISTEM PERS PANCASILA
(1)
MATINYA pers komunis setelah gagalnya pengkhianatan G 30
S/PKI itu dengan cepat ditandai semaraknya warna pers yang anti PKI.
Penghujatan, cemooh dan celaan terhadap apa yang telah dilakukan PKI sampai
pada puncak pengkhianatannya tanggal 30 September 1965 mewarnai hampir setiap
hari pemberitaan media pers yang sebelumnya bertahun-tahun berada dalam deraan
teror dan tekanan PKI melalui media-media pers pendukungnya.
Perjalanan pers Indonesia
kembali memasuki babak baru, yang disebut sebagai “masa untuk membela,
mendukung dan melaksanakan Pancasila”. Babak baru ini ditandai dengan
disahkannya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 1966 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pers.
Di dalam
Undang-undang yang disahkan pada tanggal 12 Desember 1966 oleh Presiden
Soekarno itu dinyatakan secara tegas dan jelas Undang-undang tersebut dibuat
dengan pertimbangan antaralain bahwa Pers Nasional harus merupakan pencerminan
yang aktif dan kreatif daripada penghidupan dan kehidupan bangsa berdasarkan
Demokrasi Pancasila; sesuai dengan asas Demokrasi Pancasila, pembinaan pers ada
di tangan pemerintah bersama-sama dengan perwakilan pers; pers merupakan alat
revolusi, alat sosial-kontrol, alat pendidik, alat penyalur dan pembentuk
pendapat umum serta alat penggerak massa; pers Indonesia merupakan pengawal
revolusi yang membawa darma untuk menyelenggarakan Demokrasi Pancasila secara
aktif dan kreatif.
Dalam babak baru
pers Indonesia
pasca matinya pers pendukung komunis itu, mengenai fungsi, kewajiban dan hak
pers telah disebutkan secara jelas pada pasal 2 Bab II UU Nomor 11 Tahun 1966
tersebut. Ayat 1 pasal 2 itu menyebutkan: Pers Nasional adalah alat revolusi
dan merupakan media massa yang bersifat aktif,
kreatif, edukatif, informatoris dan mempunyai fungsi kemasyarakatan pendorong
dan pemupuk daya pikiran kritis dan progresif meliputi segala perwujudan
kehidupan masyarakat Indonesia.
Kemudian ayat 2
pasal 2 UU itu menyebutkan bahwa Pers Nasional berkewajiban: a. Mempertahankan,
membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen; b. Memperjuangkan pelaksanaan Amanat Penderitaan
Rakyat, berlandaskan Demokrasi Pancasila; c. Memperjuangkan kebenaran dan
keadilan atas dasar kebebasan pers; d. Membina persatuan dan kekuatan-kekuatan
progresif revolusioner dalam perjuangan menentang imperialisme, kolonialisme,
neo-kolonialisme, liberalisme, komunisme dan fasisme/diktator; e. Menjadi
penyalur pendapat umum yang konstruktif dan progresif revolusioner. Sedangkan
pasal 3 UU No 11 Tahun 1966 itu menyatakan bahwa pers mempunyai hak kontrol,
kritik dan koreksi yang bersifat korektif dan kosntruktif.
Di dalam pasal 2
Bab II UU No 11 Tahun 1966 itu terlihat dengan jelas ke mana arah dan sasaran
pers Indonesia pasca matinya
pers pendukung komunisme di Indonesia.
Arah dan sasaran pers Indonesia
sudah jelas yakni mempertahankan, membela, mendukung dan melaksanakan Pancasila
serta UUD 1945. Pergantian pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru ketika itu
semakin mempertegas sikap dan langkah nyata pers Indonesia dalam mempertahankan dan
membela eksistensi Pancasila sebagai ideologi negara.
Di awal-awal
kemunculan Orde Baru, pers Indonesia
merasa berada dalam suatu situasi dan suasana yang penuh dengan ‘sukacita
kegembiraan’. Pers Indonesia
ketika itu telah mendapatkan dukungan yang kuat dan nyata dari pemerintah
termasuk di dalamnya kekuatan militer yang memang sedang melaksanakan kerja
besar melakukan penghancuran terhadap kekuatan-kekuatan PKI sampai ke
akar-akarnya.
Dalam
menghancurkan kekuatan-kekuatan PKI tersebut, pers menyatukan langkah dan
geraknya bersama pemerintah. Ketika itu, pers senantiasa memiliki penilaian dan
pandangan yang positif terhadap semua tindakan dan kebijakan yang diambil
pemerintah, termasuk militer, di dalam penghancuran sisa-sisa PKI dan menghapus
jejak-jejak pengaruh ajaran komunisme dari bumi Indonesia. Pers dan pemerintah
saling bahu-membahu dalam ‘kerja besar’ membela serta mempertahankan Pancasila
dan UUD 1945, disamping mengikis habis seluruh pengaruh PKI yang sebelumnya
sempat mendominasi kehidupan politik di Tanah Air.
Masa-masa itu
dapatlah disebut sebagai masa terjalinnya hubungan yang harmonis antara pers
dengan pemerintah. Pers dan pemerintah tampak seiring dan seiya-sekata dalam
berbagai sikap dan kebijakannya. Pers yang sebelumnya merasa hidup terpenjara
dalam sistem Demokrasi Terpimpin merasa telah menemukan pelindung dalam mengekspresikan
kebebasannya. Pers seakan menemukan kembali dunianya yang hilang. Sementara
pemerintah, terutama kalangan militer yang memiliki peran penting dalam
pemerintahan, merasa telah mendapatkan mitra atau kawan seiring yang kuat dalam
membangun pemerintahan yang terbebas dari pengaruh serta ancaman PKI, dan yang
terpenting semakin memperkokoh peran maupun eksistensinya di pemerintahan.
Sejumlah
pengamat dan tokoh pers nasional menyatakan bahwa tahun-tahun di awal kekuasaan
Orde Baru itu merupakan masa-masa yang sangat menggembirakan dan menyenangkan,
atau sering pula disebut sebagai masa-masa ‘bulan madu’ antara pers dan
pemerintah. Dalam masa-masa ‘penuh bahagia’ itu terlihat suatu jalinan hubungan
yang sangat harmonis, tidak terlihat adanya konflik dan perbedaan kepentingan
antara pemerintah dengan pers. Semua terlihat berjalan mulus, lancar dan tanpa
persoalan.
Prinsip-prinsip
yang tertuang di dalam Undang-undang
Nomor 11 Tahun 1966 itu terlihat berjalan mulus tanpa ganjalan dan hambatan. Kesan
yang terlihat sepintas, pers nasional seakan larut dan hanyut dalam keceriaan
serta keharmonisan suasana ‘bulan madu’ tersebut.
Akan tetapi
suasana keharmonisan ‘bulan madu’ antara pers dengan pemerintah itu ternyata
tidak berlangsung lama. Kondisi yang begitu menggembirakan itu hanya sempat
berjalan beberapa tahun saja. Masa-masa ‘bulan madu’ yang penuh kegembiraan dan
menyenangkan itu kemudian terganggu dengan kondisi serta iklim politik yang
berkembang menjelang dan sesudah peristiwa “Malari” 1974 atau dikenal juga
dengan sebutan peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974.
Peristiwa Malari
yang sempat menggegerkan tatanan politik di Tanah Air itu berupa aksi
demonstrasi besar-besaran mahasiswa yang menentang kebijakan-kebijakan
pemerintah di bidang ekonomi, terutama dalam penanganan modal asing yang
dipandang justru telah menyesengsarakan rakyat dan memperburuk keadaan
perekonimian nasional.
Aksi para
mahasiswa itu berbuntut dengan meletusnya kerusuhan massa
yang memporak-porandakan Jakarta.
Ribuan massa mengamuk
menghancurkan dan membakar bangunan-bangunan gedung dan kendaraan-kendaraan
bermotor yang diproduksi Jepang. Ribuan massa
itu seperti mendapat kesempatan dan peluang untuk menumpahkan rasa kecewa dan
sakit hatinya terhadap kondisi perekonomian yang terjadi saat itu.
Menurut
keterangan pemerintah saat itu, peristiwa Malari 1974 telah mengakibatkan
kerugian besar dan kerusakan yang parah di ibukota Jakarta. Berdasarkan inventarisasi
pemerintah, sedikitnya 144 bangunan gedung rusak dan hancur, 807 mobil dan 187
sepedamotor produksi Jepang dibakar dan hancur, 160 kilogram emas hilang
dijarah, 11 orang tewas, 17 orang menderita luka-luka berat dan 120 orang
menderita luka-luka ringan.
Retaknya
hubungan yang semula harmonis antara pers dengan pemerintah ditandai oleh
langkah atau tindakan pemerintah yang mencabut izin terbit sejumlah suratkabar.
Suratkabar yang dibreidel itu antaralain Harian Indonesia Raya, Pedoman, Abadi, Harian Kami, Ekspres,
The Jakarta Times dan Mingguan Mahasiswa Indonesia. Bahkan sekitar
setahun sebelum peristiwa Malari meletus, pemerintah dalam hal ini Panglima
Kopkamtib telah mencabut sementara izin terbit Harian Sinar Harapan.
Sejak peristiwa
Malari 1974, setelah pemerintah melakukan tindakan ‘pembunuhan massal’ terhadap
media pers yang dinilai telah melakukan kebijakan-kebijakan yang bertentangan
dengan sikap dan kebijakan pemerintah itu, hubungan harmonis antara pers dengan
pemerintahan tidak lagi dapat terjalin sebagaimana mestinya.
Andaikata pun
ada pihak-pihak yang merasa menemukan keharmonisan, tetapi sesungguhnya
keharmonisan itu hanyalah keharmonisan yang semua. Yakni, keharmonisan yang
diciptakan secara terpaksa, karena ketiadaan daya untuk menemukan pilihan lain
kecuali ‘menerima’ peran serta campurtangan terhadap keberadaan pers.
Sejak saat itu
pula terbentang garis jarak antara pers dan pemerintah. Sikap saling curiga
antara pers dengan pemerintah pun tidak bisa dihindari kemunculannya. Pers
curiga bahwa pemerintah kembali akan menerapkan kebijakan-kebijakan yang mengekang
terhadap eksistensi kebebasan pers sebagaimana yang sempat dirasakan semasa
sistem Demokrasi Terpimpin. Pers juga mencurigai pemerintah tidak akan
konsisten terhadap UU No 11 Tahun 1966, terutama pasal 4 yang menyebutkan:
“Terhadap Pers Nasional tidak dikenakan sensor dan pembreidelan”.
Kekhawatiran dan
kecurigaan pers terhadap sikap pemerintah itu didasarkan para kenyataan bahwa
ternyata pemerintah telah melakukan tindakan pembreidelan atau pencabutan izin
terbit sejumlah media pers setelah meletusnya peristiwa Malari. Hal itu
dipandang sebagai langkah dan kebijakan pemerintah untuk membatasi atau
mengekebiri kebebasan pers.
Sedangkan
sebaliknya di lingkungan dan jajaran pemerintah telah mencurigai pers akan
melakukan kebijakan-kebijakan pemberitaan yang tidak seirama atau seiring
dengankebijakan pemerintah dalam berbagai sektor pembangunan. Bahkan pemerintah
telah pula mencurigai kebebasan pers yang tanpa kendali, karena hal itu
cenderung bisa mempengaruhi masyarakat untuk tidak berpartisipasi sepenuh hati
terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang dilakukan pemerintah.
Di tengah-tengah
kondisi iklim kecurigaan seperti itulah seorang tokoh pers di Yogyakarta,
M Wonohito, memperkenalkan sistem Pers Pancasila di tahun 1977. Di tahun itu
buku Teknik Jurnalistik Sistem Pers
Pancasila diterbitkan oleh Departemen Penerangan untuk menjadi buku
pegangan dan acuan masyarakat pers Indonesia dalam mempertegas fungsi
serta perannya sebagai pers pembela dan pendukung Pancasila.
Apa yang
dilakukan oleh M Wonohito (1912 – 1984) yang waktu itu adalah Pemimpin Redaksi
Harian Kedaulatan Rakyat dalam
memperkenalkan dan menyebarluaskan sistem Pers Pancasila ternyata tidak
sia-sia. Sistem Pers Pancasila dengan cepat menjadi bahan pembicaraan sekaligus
pegangan masyarakat pers dalam menempatkan dirinya sebagai penyampai informasi
serta penggerak partisipasi masyarakat.
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar