Pasar
Kembang, Populer di Ranah Prostitusi
PENJUAL
kembang dalam pengertian yang sesunmgguhnya memang sudah tidak ada lagi. Akan
tetapi, sebutan Pasar Kembang hingga hari ini tetap melekat dan tak pernah
hilang di tempat itu serta kawasan sekitarnya.
Tumbuh di
zaman penjajahan Belanda, berkembang di zaman kemerdekaan. Kondisi inilah yang
terjadi di Pasar Kembang. Di era kemerdekaan, terlebih-lebih ketika gerak
pembangunan digalakkan, eksistensi Pasar Kembang semakin kuat. Pasar Kembang
terus mengalami perkembangan pesat.
Di era
kemerdekaan, losmen-losmen, penginapan-penginapan dan hotel-hotel bermunculan
seiring perkembangan kehidupan dan pembangunan di kota
Yogyakarta. Seiring itu pila, tak bisa
dipungkiri, aktivitas pelacuran pun semakin marak dan berkembang seperti tanpa
kendali.
Di awal-awal
masa kemerdekaan sampai awal tahun 50-an, aktivitas pelacuran atau prostitusi
di Yogyakarta tak hanya berkembang subur di
kawasan Pasar Kembang, tapi juga muncul di sejumlah lokasi lainnya. Termasuk
bila malam hari. Aktivitas pelacuran itu juga muncul di sejumlah jalan kota.
Kondisi itu
tentu saja membuat Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kala itu
segera mencari langkah-langkah penanggulangannya. Guna menanggulangi munculnya
praktik-praktik pelacuran di tempat-tempat umum, Pemerintah Daerah DIY kemudian
mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 18 dan 19 tahun 1954 tentang
larangan pelacuran di tempat-tempat umum.
Di dalam pasal
2 Perda tersebut disebutkan, yang dimaksud dengan tempat-tempat umum ialah
jalan-jalan, tanah-tanah lapang, ruangan dan lain sebagainya yang oleh umum
mudah dilihat atau didatangi.
Tetapi
kemudian muncul penafsiran di kalangan masyarakat bahwa Perda tersebut tidak
melarang praktik prostitusi atau pelacuran di dalam kampung maupun kawasan
pemukiman lainnya. Adanya penafsiran semacam itu menyebabkan praktik pelacuran
di Pasar Kembang semakin berkembang pesat. Akibatnya tentu, nama Pasar Kembang
sebagai kawasan prostitusi di Yogyakarta
semakin kental. Dan, nama Pasar Kembang semakin popular di ranah prostitusi.
Dari dulu
hingga kini aktivitas pelacuran di Pasar Kembang tak pernah sepi. Kecuali pada
sekitar tahun 1976 dan 1977, ketika komplek Resosialiasasi WTS Mangunan sudah
beroperasi. Bahkan di awal tahun tujuhpuluhan, di Pasar Kembang terdapat sekitar
300 lebih pekerja seks komersial (PSK) yang mempertaruhkan nasib dan hidupnya.
Sebagian besar
para PSK itu berlindungan di bawah lindungan induk semang atau mucikari. Akan
tetapi tidak sedikit pula di antara mereka yang ‘beroperasi’ sendiri, melakukan
aktivitas pelacuran tanpa perlindungan mucikari, kecuali menjalin kerjasama
dengan ‘calo-calo’ dan pemilik kamar.
Menarik
untuk Disimak
Menarik untuk
menyimak dan mengkaji apa yang terjadi selama bertahun-tahun dalam aktivitas
pelacuran di Pasar Kembang itu. Aktivitas pelacuran yang kemudian melembaga dan
seakan-akan telah menjadi warna dan perilaku sosial di Pasar Kembang itu
ternyata telah menciptakan suatu keterikatan kerja atau keterkaitan
masing-masing pihak yang terlibat dan saling terkait di dalamnya.
Di dalam
melakukan aktivitasnya, para PSK tidak bisa bekerja sendiri. Mereka tetap masih
menggantungkan kelihaian, kecekatan, kemampuan, keberadaan dan kekuasaan para
mucikari dan calo.
Dari saling
ketergantungan itulah kemudian timbul suatu keseimbangan sosial yang ditandai
dengan adanya pembagian kerja, pengakuan akan fungsi masing-masing serta
spesialisasi.
Pembagian
kerja dan fungsi itu terlihat dengan adanya mereka yang berstatus sebagai
pelacur (PSK) atau disebut juga ‘anak asuh’, mucikari yang juga popular dengan
sebutan ‘induk semang’ maupun ‘ibu dan bapak asuh’, calo atau perantara serta
pemilik tempat.
Para pekerja seks komersial atau pelacur-pelacvur di
dalamnya merupakan perempuan-perempuan dalam kategori usia produktif yang
menyediakan dirinya untuk tempat pelampiasan nafsu seks lelaki dengan menerima
imbalan sejumlah uang. Dalam keseimbangan kerja itu, mereka hanya berfungsi
melayani kebutuhan seks ‘tamu’ dan sekaligus menarik imbalannya. (Sutirman Eka Ardhana/bersambung)
Foto: kalifaksi.files
Tidak ada komentar:
Posting Komentar