MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA
PERTEMUAN KE-4
SISTEM PERS MANIPOL
DALAM pidato
kenegaraan 17 Agustus 1959, Presiden Soekarno mencanangkan Manifesto Politik
(Manipol) yang dinyatakan sebagai Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Manipol yang dicanangkan Bung Karno itu terdiri dari lima
unsur penting yakni UUD 1945, Sosialisme Indonesia,
Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia.
Kelima unsur penting itu selalu disingkat dengan singkatan USDEK. Manipol-Usdek
telah menjadi pegangan dan landasan ideologis bangsa.
Dengan
pemberlakuan Manipol-Usdek itu media pers nasional pun diharuskan untuk
menyesuaikan kerja jurnalistiknya kepada langkah-langkah atau pemberitaan yang
berpedoman pada Manipol-Usdek tersebut. Media pers yang tidak mengindahkan
kebijakan itu dipandang oleh pemerintah sebagai pers yang melawan arus
perjalanan revolusi bangsa.
Seiring dengan
Manipol-Usdek, pemerintah yang dipimpin Presiden Soekarno itupun menerapkan
sistem demokrasi yang disebut Demokrasi Terpimpin. Media pers yang ada
benar-benar dibawa ke alam Manipol dan Demokrasi Terpimpin. Kalangan pers
seakan tidak lagi punya keberanian dan kemampuan untuk keluar dari rel atau
jalur yang sudah ditetapkan pemerintah.
Berbagai
kebijakan yang diambil pemerintah untuk memperkuat ‘ikatan’ pers terhadap
Manipol dan Demokrasi Terpimpin di antaranya dengan dikeluarkannya Peraturan
Peperti No 10 tentang keharusan semua media pers memiliki izin terbit dan
Peraturan Peperti Nomor 2 Tahun 1961 mengenai keharusan percetakan pers menjadi
alat untuk menyebarluaskan Manipol dan Dekrit Presiden. Kemudian Peraturan
Peperti No 6 Tahun 1961 mengenai ketentuan pers untuk mendukung Demokrasi
Terpimpin.
Pemerintah benar-benar
bertekad sekuat mungkin untuk menghapus sistem Pers Liberal dari bumi Indonesia. Ini
terlihat jelas dari langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dalam
menegakkan kendali dan pengawasannya terhadap media pers yang ada. Dalam
menegakkan tekadnya itu, pemerintah pun tidak segan-segan menempuh langkah
keras kepada media pers yang dinilai tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang
ada. Akibatnya sejumlah media pers yang menolak kebijakan pemerintah itu
diberhentikan penerbitannya.
Dalam konteks kebebasan
pers, maka apa yang terjadi di masa-masa itu adalah kondisi pers yang berada
dalam posisi sulit dan rumit. Pers seakan sulit untuk menemukan alternatif lain
selain menempatkan dirinya untuk berjalan ‘seiring-sejalan’ dan ‘seiya-sekata’
dengan semua kebijakan pemerintah, sekalipun langkah-langkah pemerintah itu
dipandang tidak pada tempatnya. Pers harus ‘tunduk’, harus mau bekerjasama
dengan segala langkah dan kebijakan pemerintah. Bila tidak mau bekerjasama,
sudah dapat dipastikan media pers itu akan ‘ tergulung gelombang revolusi’ yang
besar dan kuat.
Proyek Nasakom
(Nasional, Agama dan Komunis) yang dicanangkan Bung Karno, serta sejumlah
kebijakan politik lainnya telah merubah wajah pers Indonesia ke warna yang tidak
menentu. Terlebih lagi ketika pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan
politik atau peraturan yang telah mewajibkan semua media pers terutama
suratkabar untuk berinduk kepada partai politik maupun organisasi massa yang ada. Keharusan
itu tidak hanya berlaku bagi media pers yang terbit di ibukota Jakarta, tetapi juga media-media pers yang
terbit di daerah.
Keadaan seperti
ini menyebabkan pertentangan atau konflik antar partai politik juga merembet ke
media pers. Karena sudah menginduk ke parpol atau ormas tertentu, dengan
sendirinya media pers itu memiliki beban moral dan keharusan untuk menyuarakan
kepentingan dari parpol atau ormas yang diikutinya. Media pers kembali terjebak
di dalam keadaan yang tidak bisa bersikap netral dan independen. Sehingga yang
terjadi ketika itu munculnya tiga kelompok dominan yang mewarnai wajah pers Indonesia.
Ketiga kelompok dominan itu: kelompok pers nasionalis, kelompok pers agamis
(partai-partai Islam) dan kelompok pers komunis.
Pertentangan
antar media pers menjadi semakin tajam. Menjelang meletusnya pemberontakan
Gerakan Tigapuluh September (G 30 S/PKI) yang dilaksanakan tanggal 30 September
1965, puncak pertentangan semakin mengental antara media pers pendukung Partai
Komunis Indonesia (PKI) dengan media pers yang anti komunis.
Media pers yang
anti PKI ketika itu bergabung dalam kelompok Badan Pendukung Soekarnoisme
(BPS), yang merupakan kelompok perlawanan terhadap ofensif PKI yang dipandang
membahayakan UUD 1945 dan Pancasila. Ketika itu hampir setiap hari, media pers
pendukung PKI dengan yang anti PKI terlibat ‘saling serang’ dan ‘saling cerca’
melalui pemberitaan maupun tajuk rencananya masing-masing.
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar