MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA
PERTEMUAN KE-3
PERS LIBERAL DI IN DONESIA
SETELAH kembali
menjadi negara kesatuan, pers Indonesia
memasuki suatu masa baru yang sebelumnya tidak pernah dialami, yakni masa
berlangsungnya sistem Pers Liberal. Sejak tahun 1950 itulah pers Indonesia
memasuki masa-masa atau suatu keadaan yang oleh banyak pihak serta tokoh-tokoh
pers ketika itu bahkan juga sekarang ini disebut sebagai saat-saat ‘bebas dan
leluasa’.
Sistem Pers
Liberal yang berkembang di masa-masa itu tidak bisa melepaskan diri dari iklim
dan kondisi politik yang sedang berlangsung, terutama seputar persaingan di
antara sesama partai politik dalam berebut menanamkan pengaruhnya di
masyarakat, maupun demi mencapai tujuan menguasai kekuasaan di dalam
pemerintahan.
Di masa-masa ini
hampir semua partai politik, terutama partai-partai politik yang berpengaruh
memiliki suratkabar atau media pers yang digunakan sebagai corong atau
kepanjangan tangan partai dalam menyuarakan kepentingan-kepentingannya kepada
masyarakat luas.
Dalam situasi
sedang menapakkan identitas dan jatidiri itu, kebebasan yang dimiliki sistem
Pers Liberal di tengah-tengah kondisi kerasnya persaingan kepentingan antar
partai politik tersebut ternyata telah menyeret media pers ke arah terjadinya
kerawanan dan kerapuhan persatuan bangsa maupun kestabilan politik.
Suratkabar-suratkabar yang menjadi corong partai politik itu lebih dominan
membela kepentingan partai politiknya sendiri dibanding dengan kepentingan yang
lebih luas dan besar lagi, yakni persatuan dan kesatuan bangsa. Sehingga apa
yang terjadi ketika itu adalah suasana saling serang, saling kecam dan saling
mencerca satu sama lain.
Kebebasan pers
yang ada dan berkembang di awal-awal tahun 1950-an itu ternyata telah
ditafsirkan serta diartikan secara tidak tepat oleh media pers yang ada, karena
kebebasan yang ada diartikan atau diterjemahkan sebagai kebebasan pers untuk
menyuarakan kepentingan partai maupun golongan dalam mencapai sasaran
tujuannya, dan bukan menyuarakan kepentingan yang lebih luas, kepentingan
bangsa dan negara. Terutama tujuan dan sasaran dalam mempengaruhi serta meraih
tempat di dalam pemerintahan.
Akibatnya yang
terjadi, seakan tanpa ada kendali dan rambu-rambu yang menghalangi aktivitas
pers. Pers ketika itu seakan bebas untuk mencerca, bebas mencemooh maupun
mencacimaki pihak-pihak yang menjadi ‘lawan politik’, pemerintah bahkan
pemimpin-pemimpin bangsa yang semestinya berada dalam posisi dihormati.
Selain itu,
akibatnya yang lebih jauh, dalam menyampaikan informasi kepada khlayak pembaca,
banyak media pers yang terperosok atau terperangkap dengan mengedepankan opini
ketimbang fakta. Opini seakan dianggap memikiki nilai yang jauh lebih penting
artinya dibandingkan dengan fakta. Karena dengan mengedepankan opini, maka
‘sasaran tembak’ dari suatu media pers akan lebih mudah mencapai dan menghunjam
ke sasaran tujuannya.
Misalnya, dalam
upaya mempengaruhi sikap dan pandangan masyarakat untuk tidak mempercayai
langkah-langkah kebijakan kabinet atau pemerintah maupun untuk mendiskreditkan
keberadaan tokoh-tokoh tertentu, tanpa terkecuali apakah ia pemimpin
pemerintahan atau bukan. Tidak jarang dalam mencapai tujuannya ada media pers
yang justru menghalalkan fitnah atau berita tanpa fakta yang jelas. Maka tidak
berkelebihan bila kemudian muncul kesimpulan bahwa sistem Pers Liberal ketika
itu telah dimanfaatkan sebagai ajang dan arena saling cerca, saling cemooh,
saling jelek-menjelekkan, saling caci-maki dan saling jatuh-menjatuhkan.
Pada bulan Juni
1954, Persbreidel Ordonantie yang
merupakan peraturan warisan dari pemerintah kolonial Belanda telah dicabut
keberadaannya oleh pemerintah Republik Indonesia. Ordonansi yang
memberikan wewenang atau hak kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk
membreidel penerbitan pers yang sajiannya bisa mengancam dan mengganggu
keamanan di wilayah-wilayah jajahan itu disahkan oleh pemerintah Kerajaan
Belanda pada tahun 1931 dan 1932.
Meskipun
ordonansi yang menghambat kebebasan pers itu dicabut oleh pemerintah, tapi
menurut Edward C. Smith (1969), masalah yang sebenarnya tidak banyak berbeda,
dikarenakan peraturan-peraturan yang baru disusun dan pemerintah tetap akan
mempunyai cukup rasionalisasi untuk menekan pers.
Apa yang terjadi
dan berkembang pada masa-masa sistem Pers Liberal berlangsung di Indonesia pada
periode 1950 hingga 1958 itu merupakan fenomena yang menarik dalam sejarah
perjalanan pers di Indonesia. Meskipun pers telah mendapatkan kebebasan untuk
menyuarakan atau menyampaikan pemberitaannya, namun pemerintah tetap
melaksanakan pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHP)
yang berkaitan dengan ketentuan pelanggaran pers terhadap hukum.
Sehingga ketika
itu tidak sedikit pimpinan-pimpinan media pers yang dihadapkan ke depan
persidangan Pengadilan dengan tuduhan telah melakukan pelanggaran terhadap
ketentuan-ketentuan di dalam KUHP. Akan tetapi dikarenakan kondisi politik yang
belum stabil ketika itu, menyebabkan langkah-langkah tegas pemerintah yang
memproses melalui jalur hukum atau pengadilan terhadap media pers yang
dipandang ‘melakukan kesalahan’ dinilai oleh kalangan pers sebagai ancaman yang
membahayakan eksistensi kebebasan pers. Karenanya banyak media pers yang
bersikap mengabaikan saja ancaman-ancaman pemerintah tersebut, sehingga praktek
saling cacimaki, saling cemooh dan penyebaran fitnah masih saja tetap
berlangsung.
Sistem Pers
Liberal yang berkembang dan menjadi pegangan pers saat itu memang cukup
menggangu kinerja dan kewibawaan pemerintah. Langkah-langkah dan kebijakan
pemerintah sering terganggu atau terganjal oleh sikap ‘tak bersahabat’ dan
apriori media pers. Penerapan pasal-pasal di dalam KUHP yang berkaitan dengan
pemberitaan media pers ternyata tidak banyak membantu usaha-usaha pemerintah
dalam membatasi ruang gerak pers agar tidak leluasa ‘bicara seenaknya’ dan ‘mengumbar
opininya’ sendiri.
Kondisi seperti
itu agaknya dipandang oleh pemerintah sebagai sesuatu yang ‘berbahaya’ dan
tidak menguntungkan. Perilaku pers yang ‘sangat liberal’ itu bila
diterus-teruskan dan tidak segera dibatasi akan bisa menghambat upaya-upaya
keras membangun bangsa dan negara serta menjaga persatuan dan kesatuan, yang
memang sedang dalam tahapan membangun tersebut.
Setelah melalui
berbagai pertimbangan, pemerintah kemudian menyimpulkan perlunya segera diambil
sikap dan langkah-langkah cepat agar kebebasan pers yang dipandang sudah berada
dalam kondisi ‘terlewat batas’ dan ‘berbahaya’ itu tidak semakin berkepanjangan
dan tidak semakin memperkeruh keadaan. Sehingga yang terjadi kemudian, adalah
suatu langkah atau kebijakan yang sebelumnya nyaris tidak sempat terpikirkan
oleh kalangan pers, tiba-tiba telah diambil oleh pemerintah dalam upaya
menegakkan kewibawaan dan kehormatannya.
Pada tahun 1958,
Penguasa Perang Daerah (Peperda) Jakarta Raya mengeluarkan suatu surat keputusan yang sangat mengejutkan kalangan pers
ketika itu, terutama yang berada di Jakarta.
Keputusan mengejutkan itu adalah mengharuskan semua media pers, khususnya media
pers yang terbit di ibukota Jakarta
untuk mempunyai Surat Izin Terbit (SIT).
Peperda Jakarta
Raya itu memberi batas waktu kepada media pers perihal ketentuan memiliki SIT
itu sampai tanggal 1 Oktober 1958. Bila sampai batas waktu yang ditentukan
tersebut, kewajiban atau keharusan memiliki SIT itu tidak dipenuhi oleh media
pers, maka akan diberlakukan larangan terbit. Artinya, media pers yang sejak
tanggal 1 Oktober 1958 belum memiliki Surat Izin Terbit (SIT) tidak akan
mendapatkan hak untuk terbit. Sehingga bila tetap terbit tanpa menggunakan SIT,
maka media pers itu dianggap sebagap media pers yang illegal.
Sehubungan
dengan kebijakan pemberlakuan SIT itu, Peperda Jakarta Raya menegaskan
ancamannya bahwa bila media pers yang tidak memiliki SIT itu tetap memaksakan
diri terbit, maka pihaknya akan mengambil tindakan tegas.
Angan-angan dan
harapan para wartawan atau pengelola media pers untuk tetap terus bertahan
menghirup serta menikmati ‘kenikmatan dan kebebasan’ sistem Pers Liberal yang
mereka pandang ‘sangat menyenangkan’ itupun menjadi musnah, hancur dan pupus.
Impian untuk tetap dapat bersuara ‘lantang dan bebas’ dalam bersikap,
mengkritisi siapapun, atau ‘mencacimaki’ kelompok dan tokoh manapun akhirnya
menjadi musnah. Bahkan kalangan pers ketika itu beranggapan bahwa tanggal 1
Oktober 1958 sebagai tanggal ‘kematian’ dan berakhirnya ‘kejayaan dan
kekuasaan’ Pers Liberal di bumi Indonesia.
Terlebih lagi
setelah itu Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) menindaklanjuti kebijakan yang
telah ditempuh Peperda Jakarta Raya tersebut dengan mengeluarkan keputusan yang
senada yakni menerapkan keharusan memiliki Surat Izin Terbit (SIT) bagi seluruh
media pers di Tanah Air, tanpa terkecuali. Langkah pemberlakuan ketentuan SIT
bagi media pers di seluruh Indonesia
itu dinyatakan Peperti di tahun 1959.
Dengan keputusan
Peperti itu, maka tidak hanya media pers di wilayah ibukota Jakarta saja yang
dikenakan ketentuan keharusan memiliki SIT, tapi semua media pers yang terbit
di seluruh Indonesia juga memiliki keharusan yang sama. Media pers di seluruh
Tanah Air ketika itu memang sempat terkejut dan resah dengan kebijakan yang
dipandang sebagai salah satu bentuk pengekangan serta pengendalian terhadap
kebebasan pers. Tetapi karena kuatnya ‘tangan-tangan kekuasaan’, maka kalangan
pers tidak mempunyai keberanian atau kekuatan untuk menolak dan membendung
kebijakan keharusan memiliki SIT tersebut. Media pers yang ingin tetap bertahan
hidup, ingin tetap terbit, tidak mempunyai alternatif lain selain memenuhi
persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan ketentuan SIT.
Sistem Pers
Liberal ketika itu menjadi semakin tidak berdaya dan memiliki kekuatan lagi,
setelah Presiden Soekarno mengeluarkan keputusan penting yakni mengeluarkan
Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 yang menegaskan diberlakukannya kembali UUD
1945 dan pembubaran Konstituante. Dengan Dekrit Presiden itu maka benar-benar
habislah ‘nyawa’ Pers Liberal yang sempat memarakkan perjalanan pers di Indonesia sejak
awal tahun 1950 itu.
Semenjak
diberlakukannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintah pun kemudian
mengeluarkan sejumlah peraturan dan ketentuan yang semakin ‘mengikat’ pers untuk
senantiasa berpihak kepada kepentingan-kepentingan politik pemerintah.
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar