MK: PERS INDONESIA – AKDEMI KOMUNIKASI YOGYAKARTA
PERTEMUAN KE-2
SISTEM PERS KEBANGSAAN
Pers Kebangsaan
atau Pers Perjuangan yang muncul sejak
tahun 1907 hingga 1945 itu mempunyai dinamika dan liku-liku perjalanan yang
menarik untuk disimak. Sejak tahun 1907 itulah Pers Kebangsaan berusahaan
sekuat daya dan tenaga untuk meletakkan eksistensi dan keberadaannya di
tengah-tengah cengkeraman kekuasaan penjajahan. Baik penjajahan kolonial
Belanda maupun pendidikan balatentara Jepang.
Media Pers
Kebangsaan yang muncul hampir bersamaan dengan kelahiran organisasi-organisasi
pergerakan kebangsaan di masa itu tidak hanya sekadar tampil sebagai media pers
penyampai informasi, tetapi juga telah berubah bentuk menjadi salah satu alat
perjuangan guna mencapai cita-cita mulia kemerdekaan bagi segenap bangsa Indonesia. Pers
bersama kekuatan-kekuatan pergerakan kebangsaan lainnya saling bahu-membahu
menggelorakan semangat kebangsaan mewujudkan Indonesia Raya yang terbebas dari
cengkeraman tangan-tangan penjajahan.
Lahirnya
organisasi “Boedi Oetomo” di tahun 1908 telah membawa pengaruh yang sangat
besar bagi eksistensi Pers Kebangsaan yang ketika itu sedang melangkah menapak
dan memantapkan diri. Karena seiring dengan itu, kemudian bermunculan sejumlah
media pers yang meramaikan dan menyemarakkan pertumbuhan pers di Nusantara.
Dan, sebagian besar media pers yang muncul itu menyuarakan semangat dan gelora
Pers Kebangsaan yang membara, menyusul langkah yang telah ditempuh koran Medan Prijaji. Beberapa media pers itu
di antaranya Boemipoetera yang terbit
di Jakarta (Batavia) tahun 1909, kemudian di Medan (Sumatera Utara) tahun 1910
terbit pula Pewarta Deli, di tahun
yang sama terbit Neratja di Jakarta. Tahun
1911 di Padang (Sumatera Barat) terbit Al-Moenir,
tahun 1912 di Padang terbit lagi media baru bernama Oetoesan Melajoe. Tahun 1913 di Surabaya terbit Oetoesan Hindia, kemudian disusul pula
di Medan tahun 1916 terbit dua media yakni Soeloeh
Melajoe dan Benih Merdeka.
Media Pers
Kebangsaan dari tahun ke tahun waktu itu semakin berkembang dan tumbuh subur.
Kontrol atau pengawasan dari penguasa penjajah kolonial Belanda yang ketat dan
keras, ternyata tidak menyurutkan langkah tokoh-tokoh Pers Kebangsaan atau Pers
Perjuangan yang notabene juga merupakan tokoh-tokoh perjuang pergerakan itu
dalam membangun dan mengembangkan semangat perjuangan mencapai Indonesia
merdeka melalui media pers.
Media Pers
Kebangsaan yang menyuarakan semangat perjuangan itu terus bermunculan sepanjang
tahun 1920-an hingga 1942. Di antaranya di Medan terbit Matahari Indonesia, Sinar Deli, Pedoman Masyarakat dan Panji Islam, kemudian di Jakarta terbit
pula Bintang Timoer, Pemandangan,
Kebangoenan dan Daoelat Rakjat.
Di kota Bandung
terbit Fikiran Rakjat, di Palembang
ada Obor Rakjat dan di Surabaya terbit Soeara
Oemoem.
Sedang di
Yogyakarta telah lahir sejumlah media pers di antaranya Boeroeh Bergerak (1920), Wasita
(1928), Bintang Mataram (1928), Fajar Asia (1929), Pusara (1931), Garoeda Merapi (1931), Banteng Ra’jat (1932), dan Sinar
Mataram (1934).
Tetapi kemudian
media Pers Kebangsaan yang menyuarakan semangat perjuangan kemerdekaan itu
dilanda ‘badai bencana’ balatentara Jepang yang datang menduduki Indonesia di
tahun 1942 setelah berhasil menyingkirkan kekuasaan kolonial Belanda. Media
Pers Kebangsaan atau Pers Perjuangan yang dibangun dengan susah payah oleh
tokoh-tokoh pers itu kemudian dimatikan oleh pemerintah atau penguasa
pendudukan Jepang melalui peraturan yang disebut Osamu Seiri atau Undang-undang
Pemerintahan Jepang Nomor 16. Tokoh-tokoh Pers Kebangsaan ketika itu tidak lagi
mempunyai kemampuan dan kekuatan untuk melawan ‘tangan besi’ pemerintah
pendudukan militer Jepang, kecuali mematuhi perintah itu dengan menghentikan semua
aktivitas penerbitan pers.
Tetapi kondisi
itu tidak berjalan lama. Ketiadaan saluran informasi membuat pemerintah
pendudukan militer Jepang berpikir ulang lagi tentang kebijakannya yang telah
mematikan atau menutup media pers yang sebelumnya ada. Pemerintah pendudukan
militer Jepang kemudian mempertimbangkan dan menyadari arti pentingnya media
pers bagi keberlangsungan kekuasaan dan pendudukannya di Indonesia
dengan menempuh kebijakan sedikit lunak, yakni mengizinkan terbitnya lagi
beberapa media pers.
Namun dalam
kebijakannya itu, pemerintah pendudukan militer Jepang mengajukan sejumlah
persyaratan yang harus dijalankan yakni tidak lagi menyuarakan semangat
kebangsaan untuk meraih kemerdekaan Indonesia, melainkan harus
mengumandangkan geloran dan semangat kebangkitan “Asia Timur Raya”.
Meski dengan
perasaan terpaksa, tokoh-tokoh pers ketika itu berusaha sebisa mungkin untuk
memanfaatkan peluang dan kebijakan bersyarat yang diberikan pemerintah
pendudukan militer Jepang tersebut. Tokoh-tokoh pers yang ada berharap, meski
berada dalam kontrol dan pengawasan pihak Jepang, setidak-tidaknya masih
terbuka peluang atau kesempatan untuk membangkitkan kembali semangat serta
gelora kebangsaan menuju cita-cita Indonesia merdeka.
Dengan
persyaratan seperti itu kemudian terbitlah beberapa media pers, di antaranya Pemandangan (Jakarta), Ekspres (Surabaya), Soeara
Asia (Surabaya), Tjahaja
(Bandung), Sinar Matahari
(Yogyakarta), Sinar Baroe (Semarang),
Kita Soematra Shimbun (Medan), Palembang Shimbun (Palembang) dan Padang Nippo (Padang).
Hampir
seluruhnya dari suratkabar atau media pers tersebut berada di bawah kontrol dan
pengawasan pemerintah pendudukan militer Jepang. Jadi, sekitar tigasetengah
tahun pendudukan militer Jepang itu dapatlah disebut sistem pers yang berkembang
di Tanah Air kita adalah sistem pers otoritarian (otoriter). Media pers yang
ada sama sekali tidak memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam menyampaikan
sikap serta ekspresi dirinya, karena semuanya berada dalam kendali dan kontrol
penguasa pendudukan Jepang.
Proklami
Kemerdekaan Republik Indonesia yang diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung
Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan sendirinya telah membawa perubahan
besar dan angin baru bagi perjalanan serta perkembangan pers Indonesia. Wajah
pers Indonesia
di masa-masa awal kemerdekaan itupun secara serta merta kemudian berubah
menjadi lebih semarak lagi. Jika sebelumnya (selama pendudukan militer Jepang)
hanya menyuarakan semangat gelora “Asia Timur Raya” serta hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan pendudukan militer Jepang berubah menjadi ajang
mengumandangkan sorak-sorai gelora kemerdekaan.
Setelah
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, media pers yang terbit atau ada ketika
itu seakan saling bahu-membahu mengembangkan pers kemerdekaan dan menyuarakan
semangat persatuan serta kesatuan bangsa. Misalnya Soeara Asia (Surabaya), Tjahaja (Bandung), Berita Indonesia (Jakarta), Kedaulatan
Rakyat yang terbit 27 September 1945 di Yogyakarta (merupakan kelanjutan
dari Sinar Matahari) serta Merdeka yang terbit di Jakarta pada 1
Oktober 1945 dan sejumlah media pers lainnya tampak tidak kunjung berhenti
menggelorakan dan menginformasikan gelora kemerdekaan ke segenap penjuru Tanah
Air. Media pers ketika itu seketika merasa telah menemukan jatidirinya sebagai
pers pembela dan penjaga kemerdekaan.
Akan tetapi
tahun-tahun di awal kemerdekaan bukanlah masa-masa yang mudah bagi rakyat Indonesia.
Hambatan demi hambatan bermunculan di sana-sini. Negeri yang baru saja terbebas
dari cengkeraman penjajahan ini diguncang berbagai persoalan baik yang bersifat
internal maupun eksternal. Tidak hanya konflik-konflik politik antara
partai-partai politik yang ada, tetapi juga ganggung dari Belanda yang ternyata
masih berhasrat besar untuk tetap ingin kembali mencengkeramkan kuku kekuasaan
dan penjajahannya di Indonesia
melalui dua kali agresi yang dilancarkan militernya.
Gegap gempita
semangat kemerdekaan yang dikumandangkan media pers sejak Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu akibatnya tidak sempat berlangsung lama. Karena
apa yang terjadi kemudian adalah munculnya kondisi pers Indonesia yang
disibukkan atau dilelahkan dengan suasana pertentangan dan saling curiga satu
sama lain, sebagai dampai dari iklim politik yang rawan dan tidak stabil saat
itu.
Sejak akhir 1949
telah terjadi sejumlah peristiwa politik yang penting di Indonesia. Di
antaranya diawali dengan pengakuan Kedaulatan Republik Indonesia oleh
Kerajaan Belanda pada tanggal 30 Desember 1949, yang kemudian disusul dengan
diberlakukannya Undang-undang Dasar Republik Indonesia Serikat (RIS) pada
tanggal 1 Januari 1950. Akan tetapi UUD RIS ini tidak juga bisa berusia
panjang, karena RIS kemudian dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1950. Sejak 15
Agustus 1950, Indonesia
kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar