Malioboro,
‘Pasar Besar’ Yogyakarta
PEMERINTAH Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta maupun Pemerintah Kota Yogyakarta sendiri tak mengingkari tentang
beragamnya permasalahan yang sekarang ada di Malioboro. Berbagai fasilitas yang
tersedia di Kawasan Malioboro telah diakui menyebabkan kawasan ini menjadi
salah satu ruang besar yang di dalamnya terdapat beragam jenis kegiatan.
Banyaknya ragam kegiatan yang
diwadahi terutama yang berkait dengan usaha perdagangan, baik skala besar
maupun kecil, dibandingkan dengan luasan atau lahan yang terbatas, menimbulkan
rangkaian permasalahan yang sangat kompleks. Dari pengamatan yang dilakukan,
beberapa masalah yang muncul di Kawasan Malioboro antaralain menyangkut
aksesibilitas, tata ruang, serta ketertiban pengguna kawasan, yang kemudian
menimbulkan ketidaknyamanan .
Kota memang tidak dapat
dipisahkan dari pasar, pertokoan dan pusat perbelanjaan. Bahkan menurut pakar
perkotaan, Bintarto (1977), pasar selalu merupakan ‘titik api’ atau fokus point
dari sesuatu kota.
Malioboro tidak hanya sebuah
jalan dan tak sekadar prasarana transportasi, tapi juga telah menjadi sebuah
pasar. Dan, Malioboro sekarang pantas disebut sebagai ‘pasar besar’, karena
selain memiliki pasar tradisional (Pasar Beringharjo) juga terhampar barang
dagangan pedagang-pedagang kakilima dari utara
sampai ke selatan. Dari selatan Teteg Rel KA sampai kawasan depan Kantor
Pos Besar. Disamping itu terdapat pula berderet-deret toko besar dan sedang,
pusat-pusat perbelanjaan, serta warung-warung lesehan yang menggelar
dagangannya dari sore hingga pagi hari.
Karena itulah, Malioboro
memang telah menjadi ‘titik api’ bagi Yogyakarta.
Dari ‘titik api’ inilah akan tercermin bagaimana wajah Yogyakarta
sesungguhnya serta bagaimana kehiruk-pikukannya dan bagaimana perilaku
masyarakatnya.
Masih menurut Bintarto
(1977), pada waktu dulu pasar merupakan daerah yang terbuka, dimana para petani
dan para pengrajin membawa barang-barangnya, dan melaksanakan perdagangan
secara barter atau tukar barang dengan barang. Kemajuan di bidang transportasi
dan digunakan sistem uang, maka sistem barter ini menjadi sistem jualbeli.
Perkembangan selanjutnya di bidang industri telah membawa perubahan yang besar
untuk pasar ini. Sifat pasar berubah dari daerah terbuka menjadi gedung-gedung
pusat perdagangan yang sedikit banyak tertutup, yang menjual-belikan hasil bumi
dan hasil-hasil industri.
Terus Berkembang
Keadaan seperti itulah yang
terjadi di Malioboro. Dari tahun ke tahun, dari masa ke masa, Malioboro terus
berkembang. Dari pasar yang sangat tradisional sampai ke ‘pasar besar’ sekarang
ini. Kini, Malioboro memang telah berubah menjadi ‘pasar besar’ yang ramai,
padat, dan penuh kehiruk-pikukan. Keramaian, kepadatan dan kehiruk-pikukan itu
memunculkan rasa ketidaknyamanan.
Sebagai sebuah ‘pasar besar’,
berbagai kegiatan niaga dan kegiatan kehidupan lainnya seakan ‘tumpah-ruah’ dan
berjejalan di Malioboro. Seperti tak ada lagi ruang kosong di Malioboro yang
bisa membuat pegunjung atau pengguna prasarananya bisa bernapas lega. Hiruk pikuk pengunjung, deru mesin kendaraan
bermotor, teriakan kernet-kernet bus kota,
ringkik kuda andong, kesibukan pedagang kakilima memburu pembeli, serta suara
sumbang nyanyian pengamen, dan beragam keriuhan lainnya seakan bergumpal
menjadi satu.
Campur-baurnya berbagai
keriuhan dan kesibukan itu mencuatkan kesan bahwa Malioboro bukan lagi kawasan
yang nyaman dan menyenangkan, tapi telah berubah menjadi area yang penuh
keruwetan serta kesemerawutan.
(sutirman eka ardhana/bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar