Malioboro, Wajah Yogya Sesungguhnya
SEBAGAI sebuah kota, Yogyakarta pada 7
Oktober tahun ini genap berusia 256 tahun. Sampai Yogyakarta memasuki usianya
yang ke-257 tahun, Malioboro masih saja tetap menarik diperbincangkan.
Malioboro, inilah nama sebuah jalan atau kawasan yang melegenda di Yogyakarta. Kepopuleran namanya pun tidak kalah dengan
nama Yogyakarta itu sendiri.
Banyak yang berpandangan nama
Malioboro itu identik dengan kebesaran dan keharuman nama yang disandang Yogyakarta. Bahkan ada yang menyatakan, Malioboro adalah
napas dan jantungnya Yogyakarta. Tidak sedikit
pula yang berkata, jika ingin mengetahui bagaimana Yogyakarta datanglah ke
Malioboro, karena Malioboro merupakan cerminan dari wajah Yogyakarta
yang sesungguhnya.
Hingga hari ini, Malioboro
tidak pernah berhenti diperbincangkan. Dari sudut pandang manapun, Malioboro
tetap saja menarik untuk menjadi bahan perbincangan, perdebatan, maupun
diskusi.
Dari sudut budaya misalnya,
Malioboro bagaikan sebuah museum yang di dalamnya sarat dengan literatur
tentang kebudayaan, reliji, sejarah, filsafat kehidupan, pariwisata, maupun
perilaku kehidupan manusia. Dan, ‘literatur-literatur’ itu seakan tak pernah
ada habisnya untuk dibaca. Sedang dari sudut niaga atau bisnis, Malioboro
ibaratkan pasar tradisional yang luas, lengkap, riuh, padat, ruwet dan
semerawut tapi memiliki pesona khas tersendiri.
Hubungan Malioboro
dengan Keraton Yogyakarta pun tidak dapat dipisahkan. Jalan Malioboro (dulu
termasuk Jalan Ahmad Yani) yang membentang dari Selatan ke Utara, dan seakan
membelah kota Yogyakarta
itu, sejak dulu diyakini sebagai garis imajiner. Garis imajiner ini
menghubungkan Keraton Yogyakarta dengan Tugu Yogyakarta
dan Gunung Merapi. Bahkan bila dihubungkan dengan Panggung Krapyak dan Laut
Selatan, maka akan terdapat satu garis lurus dari Selatan (Laut Selatan) sampai
ke Utara (Gunung Merapi). Bagi masyarakat Jawa, bentangan garis imajiner itu
memiliki arti dan nilai filosofis yang tinggi.
Sekarang ini, di tengah-tengah
beragam keriuhannya, Malioboro diakui atau tidak memang memiliki daya tarik
tersendiri, tidak saja bagi warganya, tapi juga bagi para wisatawan, baik
wisatawan asing maupun wisatawan nusantara atau para pendatang lainnya. Sebab,
di kawasan ini, selain terdapat pasar tradisional, toko-toko, pedagang
kakilima, juga sejumlah pusat perbelanjaan. Selain itu masih diwarnai pula
dengan warung-warung lesehan yang menggelar jualannya dari malam hingga pagi
hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar