Pasar Kembang, Dulu Namanya Balokan
PASAR Kembang punya nama lain, yaitu Balokan. Bahkan, jauh
sebelum nama Pasar Kembang dikenal, nama Balokan sudah lebih dulu populer.
Sebagai nama yang memiliki pengertian khusus, Pasar Kembang memang mempunyai
sejarah panjang dalam keberadaannya sebagai sebagai daerah pemukiman yang
menghadirkan sisi kelam dan buram di Yogya.
Nama Balokan pertama kali diperkenalkan semasa zaman
penjajahan Belanda. Konon, sebutan Balokan itu bermula dari adanya tempat
penimbunan kayu-kayu jati atau ‘balok-balok’ di sebelah Utara Kampung
Sosrowijayan Wetan dan Sosrowijayan Kulon.
Sejak kapan sesunggguhnya aktivitas bisnis seks atau
pelacuran muncul di kawasan ini, sehingga membuat nama Balokan atau Pasar
Kembang selalu disebut-sebut setiap ada yang bertanya di mana geliat serta
desah kehidupan hitam dan kelam itu berada.
Pakar-pakar sejarah dan ilmu sosial lainnya, tampaknya tak
sempat mencatat secara pasti ihwal riwayat awal mula kemunculan aktivitas jasa
pelayanan seks di tengah-tengah kota
Yogya itu. Sampai hari ini masih sulit ditemukan keterangan maupun catatan yang
jelas mengenai siapa yang pada mulanya dulu menjadi penggagas atau pendahulu,
sehingga aktivitas pelacuran bisa berkembang di Pasar Kembang.
Seakan menjadi semacam patokan atau pegangan ‘sejarah’,
bahwa tumbuh dan berkembangnya prostitusi di kawasan ini bersamaan dengan
hadirnya bisnis penginapan. Seperti halnya prostitusi, usaha-usaha penginapan,
baik berupa hotel, losmen, dan penginapan, terus berkembang serta bertahan hingga
sekarang.
Secara kebetulan letak kawasan Pasar Kembang memang sangat
dekat dengan Stasiun Kereta Api Tugu yang dioperasikan mulai 12 Mei 1887.
Tepatnya terletak di sebelah selatan stasiun. Penumpang kereta api yang keluar
dari pintu selatan Stasiun Tugu, akan langsung keluar di Jalan Pasar Kembang.
Nah, di sisi selatan jalan itu sudah, menjuruk masuk ke dalam kampung,
terhampar kawasan Pasar Kembang.
Lokasinya memang sangat strategis. Barangkali dengan
pertimbangan lokasinya yang strategis, dekat stasiun kereta api, penguasa
Belanda memberi kesempatan dan peluang untuk dibangunnya bisnis penginapan di
tempat itu.
Berkembangnya bisnis penginapan telah membawa perkembangan
yang lain pula. Perilaku sosial yang baru pun tumbuh serta berkembang di
kawasan sekitarnya. Mungkin saat itu, para pemilik tempat penginapan merasakan
perlunya tersedia ‘jasa pelayanan khusus’ yang secara langsung maupun tidak
langsung diinginkan oleh sebagian tamu. Jasa pelayanan khusus yang dimaksud
adalah jasa pelayanan seks. Dengan kata-kata lain, untuk menggairahkan suasana
di kawasan penginapan serta menarik tamu-tamu datang menginap, maka diperlukan
sejumlah perempuan, tentunya perempuan-perempuan muda, yang menyediakan dirinya
sebagai pemberi layanan seks.
Barangkali, sejak saat itulah aktivitas seks ataupun pemberian
layanan seks yang dihargai dengan sejumlah uang muncul di kasawan Pasar Kembang
atau Balokan. Lantas, dari hari ke hari Balokan semakin memberikan daya tarik
bagi para perempuan yang tergoda untuk mendapatkan penghasilan dengan jalan
pintas itu. Perempuan-perempuan yang tergoda itupun semakin banyak yang datang.
Ada yang datang
secara sendiri, maupun lewat bujukan atau pengaruh dari para calo yang keliling
keluar masuk desa.
Pada awalnya perempuan-perempuan yang menyediakan dirinya
untuk layanan seks itu menumpang atau menyewa di rumah-rumah penduduk
sekitarnya. Lambat laun, kawasan Balokan itupun berubah menjadi komunitas
prostitusi yang ramai.
Ketika Jepang berkuasa, penimbunan kayu-kayu jati di
sebelah Utara Kampung Sosrowijayan itu berangsur-angsur berkurang, hingga
akhirnya hilang sama sekali. Bekas lokasi penimbunan balok-balok kayu itupun
kemudian berubah menjadi tempat-tempat berjualan.
Lantas, di sebelah selatan jalan, ketika itu terdapat areal
kosong. Lahan kosong ini kemudian dimanfaatkan warga sekitar untuk tempat
berjualan kembang atau bunga-bunga yang dipergunakan untuk kepentingan ziarah
ke makam.
Bisnis penjualan kembang di tempat itu dari hari ke hari
menjadi semakin ramai. Lokasi itupun kemudian terkenal dengan sebutan Pasar
Kembang. Akan tetapi, usaha penjualan kembang itu tidak mampu bertahan lama,
dan tergusur dengan kian berkembangnya bisnis penginapan.
Sekalipun penjual kembang dalam pengertian yang
sesungguhnya sudah tidak ada, tetapi sebutan Pasar Kembang hingga sekarang ini
masih tetap melekat di tempat itu dan kawasan sekitarnya. Dan di dalamnya
memang terdapat bisnis ‘kembang-kembang’ dalam pengertian yang lain.
(sutirman
eka ardhana/bersambung)
Foto: lensaku.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar