Satu Suro
Cara Sultan Agung Padukan Islam ke
Religi Jawa
TAHUN baru Hijriyah (Islam) dan
tahun baru Jawa selalu datang bersamaan. Kedatangan tahun baru Hijriyah tentu
saja disambut dan dirayakan oleh segenap umat Islam. Sementara masyarakat Jawa
yang masih kental dengan budaya dan religi Jawa-nya menyambut dan merayakan
kedatangan tahun baru Jawa pada malam tanggal 1 Suro, sebagai awal bulan Jawa.
Tahun baru Jawa yang dikenal dengan sebutan Kalender Sultan Agung,
merupakan perubahan dari kalender Jawa sebelumnya, yakni Kalender Saka.
Kalender Saka merupakan warisan zaman Hindu-Buddha, yang dimulai pada tahun 78
Masehi. Konon. Tahun Jawa dengan Kalender Saka dimulai dari datangnya seorang
tokoh yang bernama Ajisaka di Pulau Jawa. Ajisaka adalah seorang tokoh mitologi
Jawa, yang dipercaya sebagai pencipta huruf Jawa: ha na ca ra ka.
Tetapi ketika Sultan Agung Anyakrakusumo bertahta di Kerajaan Mataram,
tahun Jawa dengan perhitungan atau Kalender Saka itu digantinya dengan
perhitungan tahun Hijriyah (Islam). Sultan Agung memang dikenal sebagai seorang
raja yang keyakinannya terhadap Islam begitu kuat dan kental. Ia berkeinginan
semua hal yang berhubungan dengan perilaku orang Jawa selalu terikat atau dekat
dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Karena itulah, ia kemudian membuat dan menetapkan kalender Jawa yang
baru, yang dimulai pada 1 Suro tahun Alip 1555, atau bertepatan persis dengan 1
Muharram 1043 Hijriyah. Penentuan tahun baru Jawa Kalender Sultan Agung itu
diberlakukan mulai 8 Juloi 1633 Masehi. Dengan penentuan tahun baru Jawa oleh
Sultan Agung itu, maka tahun Jawa Kalender Saka berakhir di tahun 1554.
Tahun baru Jawa yang dimulai pada tanggal 1 Suro 1555 itu merupakan salah
satu karya besar Sultan Agung yang masih bertahan hingga hari ini. Bagi sejarah
perkembangan Islam di Jawa, tahun baru Jawa Kalender Sultan Agung dipandang
sebagai salah satu karya monumental dalam dakwah dan syiar Islam. Kalender Saka
yang dijadikan pegangan masyarakat Jawa sebelumnya, mengikuti sistem perjalanan
matahari mengitari bumi (Syamsiyah). Sedangkan Kalender Sultan Agung mengikuti
sistem perjalanan bulan mengitari bumi (Komariyah)., seperti halnya Kalender
Hijriyah.
Langkah Sultan Agung merubah tahun Jawa yang disamakan dengan tahun
Hijriyah jelas merupakan salah satu cara dakwahnya sebagai seorang raja di
Tanah Jawa dalam menyebarluaskan ajaran Islam. Di samping sebagai upayanya
untuk memperkenalkan lebih dalam lagi beragam pengetahuan tentang Islam ke
dalam sikap, perilaku, budaya dan religi masyarakat Jawa yang ada di masa itu.
Lebih dari itu, dengan Kalender Jawa yang diawali pada 1 Suro, Sultan
Agung ingin memadukan dan mempertemukan tradisi dan religi Jawa dengan
nilai-nilai serta prinsip-prinsip ajaran Islam yang sebelumnya telah dikembangkan
oleh Wali Sanga secara luas di Jawa. Maksudnya tentu, sekalipun orang Jawa
telah banyak yang meyakini Islam sebagai agamanya, tetapi nilai-nilai ajaran
dan budaya Jawa yang adiluhung itu tetap ada di dalam kehidupannya.
Sultan Agung sangat menyadari, selain sebagai raja di Mataram (Jawa),
dirinya juga menyandang gelar sebagai Sayidina Panata Gama Kalifatullah ing
Tanah Jawi. Dengan gelar itu, selain bertanggungjawab terhadap kelangsungan
pemerintahan di Kerajaan Mataram,
ia juga bertanggungjawab terhadap
penyebaran dan perkembangan agama Islam di Jawa. Kebesaran dan kejayaan Islam
di Jawa, juga berada di tangannya. Karena itu ia senantiasa melakukan berbagai
cara dalam mengembangkan syiar Islam kepada masyarakat di Jawa, dan salah satu
di antaranya dengan merubah tahun baru Jawa menjadi sama dengan tahu Hijriyah.
***
(Sutirman Eka Ardhana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar